Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Saturday, May 30, 2009
Blangkon
Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain —dan semua ”pakaian daerah” lain— dikenakan para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas dan pantalon.
Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas I —sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana.
Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para pemuda ”pribumi”.
Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.
Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.
Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan ”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua dasawarsa kemudian: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang ”berkeluget-keluget” —subyek sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité, dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megap-megap oleh putusnya hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut ”sesama”.
Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.
Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.
Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang ”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bangsa” untuk merdeka.
Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal —tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.
Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.
Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.
Dari sini solidaritas lahir dan politik —selamanya sebuah gerak bersama— bangkit.
Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi dan identitas apa pun.
Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo” dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga ”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi.
Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan perlawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari ”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi dunia —seperti semangat yang tersirat dalam lagu Internationale.
Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,” kata Marx.
Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai blangkon dengan wajah yang kalem.
Goenawan Mohamad, MBM TEMPO, 25 Mei 2009
Label:
Blangkon,
Nasionalisme,
STOVIA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment