Wednesday, November 6, 2024

Penguasa Indonesia Hanyalah Budak Oligarki


Taipan etnis China, saat ini sudah bisa mengendalikan pemerintah, menguasai Indonesia dalam faktor teknis dan strategis, kepentingan publik di semua lini, dari sektor hulu hingga ke sektor hilir.

Taipan etnis China pada era Orde Lama dan Orde Baru hanya fokus pada bidang ekonomi yang terbatas dan elitis, kini sudah merambah ke semua sektor dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Bisnisnya pun sudah diamankan dengan menggunakan aparat yang ditopang dengan undang-undang untuk mengembangkan gurita bisnisnya. Mereka semakin digdaya baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam hal penyelenggaraan negara.

Kekuatan kapitalistiknya sudah mampu mengatur konstitusi dan demokrasi. Dunia usaha yang mewujud menjadi oligarki, terus terstruktur, sistematik dan masif mengendalikan pemerintah dan negara.


Sumber daya manusia baik pejabat maupun rakyat serta sistem yang menghasilkan produk politik dan hukum, hampir sempurna telah dikuasai etnis China dalam tataran individu, kelompok dan sebagai representasi negara yang menjadikan kekuatan kapitalnya sebagai dasar, cara untuk menguasai Indonesia.

Tak puas dengan menguasai sumber daya alam meliputi minyak, emas, batubara hingga nikel. Mereka sudah merambah retail bisnis kecil seperti Alfamart, Indomaret, dan lain-lain, telah masuk hingga di pelosok pedesaan.

Bisnis bukan hanya terpusat pada industri perkotaan, namun merambah sampai ke pelosok-pelosok desa. Dari laut hingga ke pegunungan, dari sawah hingga ke perkebunan, tak lagi menyisakan kekayaan bagi rakyat Indonesia.

Sangat tragis hampir 80% lahan di Indonesia dikuasai oleh hanya 1% dari seluruh rakyat Indonesia, tak lebih dari 25 orang pengusaha.


Hanya dalam 2 (dua) periode kepemimpinan rezim Jokowi, oligarki korporasi yang dipimpin etnis China seperti 9 (sembilan) Naga telah hampir sempurna menguasai hajat hidup orang banyak.

Ekonomi nasional terkapar dengan beban utang yang menggunung, sementara institusi negara seperti Partai Politik, DPR-MPR, MA, Kejagung, MK, TNI-POLRI hingga KPU, tak lepas dari pengaruh oligarki, sang pemilik modal besar yang sudah terjun ke ranah politik.

Bahkan Pemilu dan Pilpres 2024 sudah direkayasa sedemikian rupa hingga hasilnya sudah santer terdengar meski pesta demokrasi belum dilaksanakan. Bahkan Pemilu, Pilpres 2029 dan 2034 sudah dalam skenario yang sistematis terorganisir untuk bisa menentukan siapa presiden dan pemerintahannya yang akan datang, yang digadang-gadang bisa menjadi boneka dan ternak- ternak oligarki.

Konstitusi dan demokrasi bisa dibeli, bahkan semua politisi, birokrat hingga presiden tak bisa lepas dari keinginan etnis China yang bertransformasi sebagai mafia oligarki. Dan pada akhirnya mereka akan melakukan kolonialisasi dan aneksasi terhadap NKRI.


Serbuan TKA yang disambut karpet merah, jerat utang dan penguasaan ekonomi politik China, memberi tanda SOS bagi keberadaan dan keberlangsungan NKRI. Hal ini jelas menjadi tanda-tanda akan adanya upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan China. Dalam bahasa yang getir, mereka akan mentransformasi dari Indonesia menjadi Indo-China.

Taipan etnis China yang tidak ada kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan RI, bahkan sebagian besar sebagai pengkhianat telah menjadi penguasa yang seolah-olah menjadi pemilik yang sah negeri ini.

Dominasi dan hegemoni etnis China dalam ekonomi politik nasional menjadi cermin bobroknya mentalitas pemimpin dan pejabat di negeri ini.

Perilaku menyimpang berupa korupsi, tradisi suap, dan upaya menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisi dan tujuan meraih jabatan serta kekayaan telah menjadi konspirasi jahat antara taipan oligarki China yang meluas ke semua lini pejabat birokrasi.


Oligarki hitam yang eksploitatif berselingkuh dengan para pejabat bermental bejat. Kekuasaan para pelacur dan pengkhianat-pengkhianat bangsa Indonesia ini, perlahan tapi pasti telah mengancam kedaulatan NKRI yang akan membawa Indonesia ke dalam jurang kehancuran.

Rakyat pribumi dipinggirkan dalam selimut kemiskinan dan hidup menderita, sementara segelintir orang dan kelompok mereka berpesta pora menikmati kekayaan dan fasilitas negara.

Sepatutnya bangsa Indonesia sadar bahwa negerinya diambang kehancuran dalam genggaman negeri tirani China Komunis.

Rakyat harus berani, bangkit dan bersatu untuk melakukan langkah-langkah dan tindakan revolusioner. Akankah rakyat Indonesia memahami dan menyadari substansi realitas penguasa saat ini ?! Bahwa sejatinya penguasa Indonesia saat ini hanyalah budak kapitalis Taipan Oligarki.

Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
FNN, 03 November 2024

Wednesday, October 9, 2024

Anies Tidak Akan Habis


Anies Rasyid Baswedan dianggap banyak pihak akan habis karir politiknya, seiring dengan kekalahan dalam Pemilihan Presiden 2024. Anggapan makin kuat ketika Anies gagal menjadi calon dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Akan tetapi, pandangan itu sangat mungkin salah berdasar rekam jejak hidup Anies selama ini.

Bagaimanapun, Anies telah menjelma menjadi salah satu figur sentral dalam dinamika politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Ketika Anies diberhentikan sebagai Menteri oleh Jokowi yang konon karena alasan tidak mau tersaingi dalam kontestasi Pilpres 2019, karir politiknya justeru menanjak.

Secara tidak terduga, karena pendaftaran pilkada Jakarta hanya berjarak sekitar dua bulan dari purna tugas sebagai Menteri. Tidak ada nama Anies dalam berbagai survei yang telah dilakukan saat itu, bahkan nama Anies belum menjadi wacana pilihan oleh partai politik.


Ternyata, Anies dicalonkan dan kemudian memenangkan kontestasi sebagai Gubernur Jakarta. Hal serupa terulang lagi, Anies yang tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Jakarta, karir politiknya diprakiraan banyak pihak akan redup.

Dia dianggap akan menghilang perlahan dari ajang politik, karena tak punya jabatan publik dan tak menjadi tokoh partai politik. Namun Anies bisa melaju sebagai calon Presiden, meski hasilnya tidak lebih optimal ketimbang saat Pilkada.

Karir politik Anies bisa dikatakan banyak diwarnai berbagai kejadian yang terbilang dramatis. Belakangan terkait dengan Pilkada Jakarta, peluangnya mengikuti kontestasi begitu cepat berubah. Tak seperti sebelumnya, survei kali ini mengunggulkan dirinya, namun pada akhirnya tidak memperoleh dukungan satu partai politik pun.


Anies sempat memperoleh dukungan kuat dari tiga partai yang mengusungnya dalam Pilpres. Namun dukungan tersebut berubah dengan cepat ketika semuanya bergabung dalam koalisi KIM Plus. Peluang Anies pun nyaris nol berdasar aturan sebelum keluar Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Keputusan MK yang nyaris dianulir oleh DPR pun tetap dipakai dalam Pilkada 2024, setelah melalui dinamika tekanan gerakan masyarakat sipil. Gerakan tersebut tidak terkait langsung dengan Anies dan para pendukungnya. Peluang Anies untuk mengikuti kontestasi pun terbuka kembali.

Suasana seolah Anies akan dicalonkan oleh PDIP pun mengemuka di berbagai media termasuk di media sosial. Namun, ternyata PDIP mengajukan calonnya sendiri. Hingga tulisan ini ditulis (Rabu siang, 18 Agustus), peluang Anies diajukan sebagai calon kembali nyaris ke titik nol. Kecuali terjadi perubahan pada koalisi KIM Plus.


Seandainya hingga besok malam, ternyata Anies memang tidak dicalonkan, apakah karir politiknya akan habis? Pandangan ini terlampau dini, dan tidak cukup mengetahui rekam jejak Anies dalam politik. Sejarah hidupnya sejak masa sekolah dan kuliah, kiprahnya sebagai professional, dan saat dia menjalankan amanah jabatan publik, sangatlah cemerlang.

Kebetulan, penulis kenal dan bergaul selama 35 tahun dengan Anies. Anies adalah adik angkatan ketika menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM. Mengenalnya sejak tahun pertama dia kuliah, dan berinteraksi sebagai sesama aktifis. Saya yang jauh lebih senior dan telah menjadi “tokoh” kala itu, sudah merasakan aura “orang hebat” pada dirinya.

Selama berinteraksi saat dia mahasiswa, saya melihat banyak kelebihan pada dirinya. Anies memiliki kemampuan bertutur kata yang santun dan efektif, cepat memahami pandangan orang lain ataupun ide yang tengah dibincangkan, selalu memiliki ide besar yang bisa diutarakannya dengan sangat baik.


Saya menjadi saksi bahwa apa yang diutarakan di depan publik atau orang banyak bersesuaian dengan apa yang dikatakan di lingkungan terbatas atau kehidupan sehari-harinya. Ketika dia tak menyukai seseorang pun akan dikatakan secara hati-hati di lingkungan pribadinya, apalagi di ruang publik. Hal demikian sudah jadi bawaan pribadinya sejak puluhan tahun lampau.

Banyak orang kemudian melihat dan menjadi saksi kemampuan Anies dalam bertindak. Termasuk ketika mengemban amanah jabatan publik. Kemampuan besar dalam berkonsep diimbangi dengan kemampuan administratifnya, yang kemudian diikuti dengan kapasitas kepemimpinan bertindak yang amat mumpuni.

Aspek lain yang nyaris tak terbantahkan adalah aura keramahan kepada tiap orang yang bertemu dengannya. Tidak hanya pada kawan atau bawahan, melainkan juga kepada lawan. Anies adalah figur yang humbel, hangat dan membuat nyaman orang yang berinteraksi.


Terlalu dini, jika mengatakan karir politiknya akan habis. Kondisi saat ini menurut penulis hanya ujian bagi Anies. Jika dia tetap bahkan terus berkembang sebagai dirinya sendiri seperti selama ini, maka soal waktu saja semesta akan kembali berpihak padanya.

Banyak hal yang dapat terjadi dalam dinamika politik dan kehidupan berbangsa bernegara waktu mendatang. Selalu ada “keajaiban” dalam sejarah tiap bangsa. Penulis masih memiliki keyakinan, Anies adalah salah satu faktor penting kehidupan Indonesia saat ini dan di waktu yang akan datang.

Tentu saja, penulis selalu menjadi pendukung Anies bukan karena kenal secara pribadi. Melainkan, harapan besar atas figur hebat sepertinya kelak akan bisa membawa perubahan besar bagi negeri kita. Bukan Anies yang akan habis jika tidak diberi kesempatan, tetapi rakyatlah yang berisiko akan kehilangan kesempatan untuk menjadi bangsa yang maju, makmur dan berkeadilan.

Awalil Rizky
Teman Anies Baswedan
Semarak.Co, 29 Agustus 2024
Sumber: WAGroup PENA JAKARTA SATU (post Rabu 28/8/2024/dharulfitrah)

Monday, September 30, 2024

Obituari: Salam Terakhir Faisal Basri


Tulisan terakhirnya adalah sebuah puisi, “Rumah Indonesia, Rumah Kita”, yang ia tulis pada 9 Desember 2023 dan ia perbarui pada 18 Agustus 2024 dan ia unggah di blog pribadi untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan negaranya.

Ia memilih bentuk puisi, yang mungkin tidak akan pernah dianggap sebagai puisi oleh pengamat sastra, tampaknya karena bentuk itu membuat ia bisa mengekspresikan perasaan terdalamnya. Indonesia di dalam benaknya adalah rumah bersama yang sedang digerogoti rayap, dan ia mengingatkan kita: "Mereka kian menggerogoti segala penjuru rumah kita."

Puisi itu seperti menjadi salam terakhir Faisal Basri. Ia telah menyampaikan semua yang harus ia sampaikan di sepanjang tahun-tahun pengabdiannya sebagai pemikir ekonomi dan aktivis politik. Dan semua argumen rasional, yang ia perkuat dengan ketekunannya menggeluti data, tampaknya tidak cukup untuk memicu perubahan.


Lahir dari keluarga sederhana, menjalani masa kanak-kanak di rumah berpenerangan lampu teplok dan petromaks, dengan orang tua yang harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, Faisal Basri memilih kuliah ekonomi ketimbang masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) atau Akademi Ilmu Statistik, meskipun ia diterima juga di dua perguruan tinggi tersebut setamat SMA.

Orang tuanya menyarankan STAN, sebab mahasiswanya dibiayai negara dan menjadi pegawai negeri setelah lulus, tetapi ia lebih memilih ekonomi. Ia berpikir dengan memahami ekonomi ia bisa membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kecil. Itu keyakinan yang ia pertahankan, dan itu pula yang melandasi kritik-kritiknya kelak terhadap kebijakan ekonomi dan perilaku politik pemerintah.

Belum lama ia masuk kuliah, adiknya meninggal dan tak lama kemudian ayahnya, dan itu membuat ekonomi keluarganya lebih sulit. Ia belum bisa membantu ibunya, tetapi tidak ingin merepotkan, maka ia memutuskan harus mencari uang sendiri untuk menyelesaikan kuliahnya. Lalu segala sesuatu dalam hidupnya digerakkan oleh kebetulan-kebetulan, atau ia menyebutnya kecelakaan, yang membawanya pada kesuntukan akademis dan kemudian aktivisme politik.

Kebetulan pada waktu itu ada eksodus besar-besaran di kalangan staf pengajar FEUI karena mereka dianggap pengkritik dan tidak bisa menjadi pegawai negeri. Ada tempat lowong di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM). Ia masuk sebagai peneliti pada tahun ketiga kuliahnya, 1981, dan mengerjakan urusan-urusan paling bawah di lembaga itu. Di situ ia menjadi akrab dengan data.


Kemudian ia harus mengajar, sebagai dosen pengganti ketika pengajar utama, yang menjadi pejabat pemerintah, tidak punya cukup waktu karena terlalu sibuk. “Perut saya mulas ketika pertama kali mengajar,” katanya. “Saya tidak berani beradu pandang dengan para mahasiswa.

Kebetulan berikutnya mendorong Faisal menjadi direktur LPEM. Pada 1991, ia diangkat menjadi wakil direktur riset, dan tak lama kemudian Darmin Nasution, direktur utama LPEM, ditarik oleh menteri Hartarto sebagai asisten. Posisi direktur utama kosong. Iwan Jaya Azis menolak ketika ditunjuk oleh dekan fakultas ekonomi untuk mengisi jabatan itu. Arsjad Anwar, sang dekan, kemudian meminta Faisal. “Bismillah saja, Sal,” kata Arsjad.

Itu siksaan terberat baginya. Ia baru 32 tahun, belum lama meraih gelar masternya, harus memimpin para doktor, sebagian besar profesor. Ia hanya unggul dalam satu hal dibanding mereka —jam terbang risetnya paling banyak. Dan jam terbang riset itulah yang memberinya amunisi bagi sikap kritisnya terhadap ketidakadilan ekonomi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang ia nilai tidak berpihak kepada masyarakat luas. Ia tidak mungkin diam ketika data di tangannya memperlihatkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45% kekayaan seluruh negeri.

Kegelisahannya terhadap ketimpangan itu membawanya turun ke jalan, dengan tas ransel di punggung, dengan celana warna khaki, dan dengan kemeja biru muda. Dalam penampilan seperti itulah ia diingat orang.


Kebetulan berikutnya terjadi setelah Reformasi 1998. Ia melihat jatuhnya Soeharto sebagai peluang untuk memperbaiki tata kelola negara, untuk mengupayakan kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan warga, untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan tidak mengutamakan kepentingan segelintir elite. Dan untuk itu, ia berpikir tidak bisa hanya berdiri di luar: Untuk menata Indonesia yang baik, katanya, tidak bisa di jalanan terus, harus ada negosiasi politik di parlemen.

Maka, harus ada partai sebagai kendaraan politik yang bisa mengangkut orang-orang kritis ke Senayan. Ia ikut mempersiapkan partai baru, belajar aspek-aspek detail kepartaian dari berbagai negara, terutama ANC dari Afrika Selatan, dan setelah itu lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN). Amien Rais sudah pasti menjadi ketua umum; ia figur sentral selama proses reformasi. Mencari sekjennya lebih sulit. Beberapa orang yang diminta tidak bersedia, dan akhirnya Faisal Basri.

Dalam refleksinya bertahun-tahun kemudian, ia menyebut momen itu sebagai pengorbanan keluarganya yang paling berat. “Saya tidak punya apa-apa,” katanya. “Istri jualan kue, jualan baju, ambil dari Bandung. Sabtu dan Minggu, ketika orang-orang berolahraga, dia jualan di Senayan, sehingga jika saya masuk lagi ke gerakan politik, ibu saya, istri saya, anak-anak saya akan langsung trauma.

Dan ia hanya bertahan tiga tahun sebagai sekjen PAN. Pada 2001 ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap arah partai. Ia berangkat dengan optimisme, sebagaimana para aktivis lain, bahwa PAN bisa menjadi trendsetter —menjadi partai modern, inklusif, menawarkan gagasan-gagasan segar, termasuk membuka wacana tentang federalisme. Bentuk terbaik dari otonomi, menurutnya, adalah federalisme. Dengan sistem itu, setiap daerah memiliki kuasa yang cukup untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya.


Namun PAN menganggap ide tentang federalisme terlalu berbahaya buat partai dan akhirnya mencoret gagasan tersebut dari platform PAN. Partai itu juga kemudian kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi partai yang inklusif dan mengubah asasnya menjadi iman dan taqwa, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Faisal pada saat ia ikut mempersiapkan berdirinya partai itu. Karena fondasinya sudah dirombak, ia berpikir tidak ada gunanya lagi ia ada di dalam partai.

Optimismenya terhadap reformasi sebagai peluang untuk membangun sistem ekonomi dan praktik politik yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas pupus di hadapan fakta bahwa yang terjadi pada 1998 itu hanyalah Presiden Soeharto turun dari kekuasaan, tetapi rezimnya bertahan. Dan kegagalan terbesar reformasi, menurutnya, adalah tidak ada sanksi apa pun terhadap Golkar, yang selama era Orde Baru telah menjadi kendaraan penguasa untuk menciptakan dan mempertahankan sistem yang memungkinkan segelintir elite politik dan ekonomi menguasai negara.

Golkar, menurutnya, telah menjadi alat bagi kepentingan penguasa untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap sumber daya ekonomi nasional dan menciptakan ketimpangan yang sangat tinggi antara kelompok kecil penguasa dan rakyat banyak. Namun, partai ini tidak pernah menghadapi konsekuensi apa pun atas keterlibatannya dalam sistem otoriter Soeharto. Ia tetap bisa ikut pemilu setelah reformasi, dan berhasil melanjutkan pengaruhnya tanpa ada pertanggungjawaban yang berarti atas peran mereka di masa lalu.

Tetap kokohnya Golkar itulah yang ia lihat sebagai faktor utama kenapa reformasi tidak menghasilkan perubahan rezim, dan kondisi Indonesia mengarah ke Orde baru lagi. Golkar tetap menjadi kekuatan besar, dan orang-orangnya tetap berkuasa: Surya Paloh, SBY, Luhut Pandjaitan, Prabowo Subianto.


Dulu namanya konglomerasi, sekarang namanya oligarki,” katanya. “Penguasaan kekayaan alam, sama. Modus operandi, sama; mereka menggunakan cara-cara lama.” Dan, cara-cara lama adalah cara-cara Golkar.

Jadi, meskipun demokrasi elektoral sudah dijalankan, dan itu perkembangan yang bagus bagi Indonesia, tetapi ada masalah besar di dalamnya. Ada banyak partai, tetapi tidak ada perbedaan signifikan di antara partai-partai itu, dan tidak ada satu pun partai yang punya ideologi. Inilah yang ia lihat sebagai masalah besar: “Dengan banyak partai, dan semuanya sama, yang muncul kemudian adalah pragmatisme.

Dan pragmatisme politik itu menenggelamkannya. Ia tetap kritis, tetapi suaranya hilang disapu gelombang percakapan di tengah masyarakat yang lebih menyukai sensasi dan pertengkaran. Ia tetap mengingatkan pemerintah, tetapi politik yang transaksional dan didominasi oleh kepentingan elite, membuatnya tampak sebagai orang baik yang tidak relevan: Sebuah “lonely voice”, seorang idealis yang kurang realistis dalam melihat dinamika politik dan ekonomi Indonesia.

Anak isteri dan keluarga Faisal Basri Batubara di pusara, tempat peristirahatan terakhir.

Tetapi untuk apa realistis jika itu artinya menyerah? Faisal Hasan Basri Batubara tidak mungkin menyerah; ia terlalu mencintai negerinya. Sepekan sebelum ia meninggal pada 5 September 2024, ia berada Medan, menikmati durian di Dairi, dan mengatakan kepada kawan yang mengantarnya ke stasiun kereta yang akan membawanya ke bandara bahwa ia akan datang lagi: Saya akan paparkan data-data kebobrokan ekonomi Indonesia di masa pemerintahan Jokowi kepada para mahasiswa di Medan.

Ia tidak sempat melakukannya.

Mata saya basah oleh seruan di akhir puisinya: “Saatnya kejujuran yang memimpin bangsa ini.” Dan ia menyusun kalimat itu sebagai bait, yang membuatnya terasa seperti seruan yang terbata-bata.

Saatnya
Kejujuran
Yang memimpin
Bangsa ini

Mungkin ia berpikir bahwa puisi masih sanggup menyentuh nurani.

AS Laksana
Sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan Indonesia yang dikenal aktif menulis cerita pendek di berbagai media cetak nasional di Indonesia.

Facebook.Com, 7 September 2024

Saturday, August 17, 2024

Pinokio Jawa


Kisah Pinokio dimulai dari Florence. Di kota di Italia itu lahir Carlo Lorenzini (1826-1890). Tahun 1881, Carlo Lorenzini menulis Pinocchio dengan nama pena Carlo Collodi. Ia membuka paragraf Pinocchio dengan membandingkan raja dengan sebatang kayu. Ini mungkin satire dan kritik politik yang ditujukan kepada raja.

Sebatang kayu itu menjadi Pinokio, yang kisah menariknya berhasil ditransformasikan sebagai karya sastra pertama bagi anak-anak Italia. Inilah kisah terlaris tentang boneka kayu yang hidungnya memanjang setiap kali dia berbohong. Kebohongan adalah karakter Pinokio.

Dari Florence, saya membawa kisah Pinokio ke tanah Jawa. Di sini lahir Pinokio Jawa (Javanese Pinocchio). Ia bermula dari tukang kayu dan berakhir sebagai penguasa tiran populis. Ia mempraktikkan kebohongan dalam politik melalui tampilan kepribadian Jawa yang santun dan merakyat. Mayoritas rakyat pun tertipu oleh kebohongan yang diekspresikan dengan kesantunan dan kebaikan politik yang karikatural.


Dengan mempraktikkan kebohongan dalam realpolitik, Pinokio Jawa menjungkirbalikkan tatanan moral yang dianut sebagai konsensus bersama dalam kehidupan republik. Batas-batas moral yang tegas antara baik dan buruk, benar dan salah, publik dan personal menjadi tunggang-langgang.

Di ujung kekuasaannya, Pinokio Jawa mewariskan kultur kebohongan dalam politik. Tanpa tersisa sedikit pun rasa bersalah dalam hidupnya, ia mempraktikkan kebohongan demi kebohongan dalam politik sebagai strategi permainan kotor untuk kekuasaan.

Dalam realisme politik, tulis Michael Walzer (1973), “Tak ada seorang pun yang berhasil dalam politik tanpa berkotor tangan.” Realpolitik yang dipraktikkan dan dirutinkan selama ini melalui politik kebohongan menempatkan Pinokio Jawa sebagai ikon pembohong terbesar, yang diilustrasikan seniman monolog Butet Kartaredjasa (2024) dalam bentuk “patung Petruk berhidung panjang”.


Pinokio Jawa menjadikan kebohongan politik sebagai bagian sentral dari karakternya. Saya pun kembali teringat Florence sebagai kota kelahiran Niccolò Machiavelli (1469-1527). Dalam risalahnya yang klasik, The Prince (1532), Machiavelli memberikan legitimasi atas keharusan kebohongan dalam realpolitik.

Berbeda dengan genre umum Mirrors for Princes yang berisikan nasihat luhur kepada penguasa agar bertindak ideal sesuai dengan ajaran Kristen, Machiavelli justru menjadikan The Prince sebagai the Bible of realpolitik —meminjam istilah Tim Parks (2009)— untuk memandu penguasa dalam meraih kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan kebohongan.

Nasihat Machiavelli kepada penguasa untuk menjadi pembohong hebat sejalan dengan pandangannya tentang karakter manusia, yakni “manusia pada umumnya tak tahu berterima kasih, plinthat-plinthut, egois, dan serakah”. Semua ini merefleksikan karakter Pinokio Jawa. Ia tak pernah berterima kasih kepada perjuangan partai, Seorang Ibu, dan semua yang berjasa membesarkannya; punya kebiasaan plinthat-plinthut; berorientasi sempit pada kepentingan diri sendiri dan keluarganya; serta bersikap serakah pada kekuasaan.


Dengan karakternya yang Machiavellian, Pinokio Jawa merobohkan tatanan moral dalam republik. Hasilnya adalah situasi sosial dan politik yang kacau, yang diilustrasikan dalam pasemon Jawa sebagai Petruk Dadi Ratu.

Inilah yang menjadi kegelisahan intelektual Benedict R. Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990 : 170): “Di masa modern, lakon Petruk Dadi Ratu telah menjadi pepatah umum untuk menggambarkan kondisi sosial dan politik nyata yang penuh kekacauan, korupsi, dan tontonan jahat.

Kegelisahan Ben Anderson menjadi kenyataan hari-hari ini ketika republik dipimpin bukan dengan keutamaan publik, melainkan dengan kebohongan, korupsi, nepotisme, dan berbagai praktik kejahatan lain. Praktik yang sudah telanjur banal ini diterima luas sebagai kewajaran tanpa terlihat “sikap hidup dengan rasa malu selamanya” —Long Live Shame, meminjam slogan kecil Ben Anderson dalam pidato ulang tahun Tempo ke-28 di Hotel Borobudur, 4 Maret 1999.

Kekuasaan negara jatuh terlampau dalam di tangan seorang Pinokio Jawa dan aliansi jahatnya. Ia menikmati dominasi kekuasaan yang tiranik melalui aliansi jahat, relasi kuasa, dan dukungan rakyat luas.


Sekitar lima abad silam, William Shakespeare (1564-1616) memotret dengan masygul situasi negerinya yang jatuh ke tangan tiran yang justru ditopang oleh rakyat luas yang menerima kebohongan. “Why do large numbers of people knowingly accept being lied to?” katanya (Greenblatt, Tyrant: Shakespeare on Politics, 2019).

Sebagaimana Shakespeare, saya pun masygul saat melihat mayoritas rakyat, terutama kaum intelektual dan “ulamā” yang tersihir oleh fatamorgana duniawi, menerima banalitas kebohongan, nepotisme, dan otoritarianisme Pinokio Jawa sebagai kebiasaan dan kewajaran umum.

Sukidi
Pemikir Kebhinekaan,
Alumni Program Doktor Harvard University

TEMPO, 4 Agustus 2024

Monday, July 15, 2024

Kemenangan Partai Kiri dan Dampaknya bagi Indonesia


Kemenangan pemilu partai sayap kiri di Prancis dan Inggris baru-baru ini bukan hanya fenomena lokal. Tapi juga momen penting dengan potensi berdampak luas bagi demokrasi global. Termasuk lanskap politik Asia Tenggara dan Indonesia. Kemenangan partai kiri di dua negara dengan ekonomi terbesar di Eropa itu menunjukkan pergeseran besar dalam pandangan politik masyarakat ke arah pemerintahan yang lebih adil. Perubahan ini bisa menjadi awal dari gelombang besar penyesuaian politik global menuju ke arah kiri.

Di Prancis, kebangkitan kolektif partai-partai berhaluan kiri di bawah Front Populer Baru (NFP) adalah penolakan yang jelas terhadap kebijakan sentris Presiden Emmanuel Macron dan meningkatnya popularitas ideologi sayap kanan. Peralihan pemilih Prancis ke arah NFP menegaskan kekecewaan yang meningkat terhadap kepemimpinan Macron. Terutama pendekatan pemerintahannya terhadap reformasi ekonomi dan kesejahteraan sosial, yang dianggap banyak orang tidak memenuhi kebutuhan warga sehari-hari. Ini bukan sekadar perubahan, melainkan tuntutan mendesak untuk fokus yang lebih besar pada keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi.


Di seberang Selat Inggris, Partai Buruh di Inggris, di bawah kepemimpinan Sir Keir Starmer, meraih kemenangan yang sama gemilangnya. Hasil pemilu ini dipandang sebagai referendum terhadap tahun-tahun penghematan Partai Konservatif, gejolak terkait Brexit, dan skandal politik yang mengikis kepercayaan publik. Janji Partai Buruh untuk mengembalikan stabilitas dan komitmen untuk mengatasi ketidaksetaraan sistemis serta meningkatkan layanan publik seperti National Health Service (NHS) sangat resonan dengan masyarakat yang lelah dengan kekacauan politik dan ketidakstabilan ekonomi.

Meski berakar pada konteks nasional yang unik, dua hasil pemilu ini memiliki prinsip yang serupa. Mereka mencerminkan kekecewaan yang lebih luas terhadap kebijakan sayap kanan dan sentris yang dianggap menguntungkan elite atau tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar masyarakat luas. Selain itu, kemenangan sayap kiri ini menyoroti reaksi kritis terhadap kebangkitan gerakan nasionalis dan populis, yang juga mendapatkan daya tarik di seluruh Eropa.


Dampak ke ASEAN dan Indonesia
Perkembangan politik ini menawarkan cetak biru dan peringatan bagi kawasan seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kebangkitan kiri di Prancis dan Inggris bisa menginspirasi partai dan gerakan politik di Asia Tenggara untuk memprioritaskan kesetaraan sosial, reformasi ekonomi, dan layanan publik yang lebih kuat. Kesenjangan ekonomi masih menjadi masalah mendesak dan banyak negara masih berjuang menghadapi dampak sosial ekonomi dari pandemi Covid-19.

Selain itu, pemilu Prancis dan Inggris menggarisbawahi potensi ketahanan demokratis. Di kedua negara, sistem pemilu memungkinkan penyelarasan signifikan sebagai tanggapan terhadap sentimen publik, menunjukkan kemampuan beradaptasi dan vitalitas pemerintahan demokratis. Ini sangat relevan bagi negara-negara Asia Tenggara, di mana norma-norma demokratis sering kali mendapat tekanan dan integritas proses pemilu bisa menjadi hal yang diperdebatkan.

Namun, pemilu di Eropa ini juga menjadi peringatan tentang tantangan mengelola koalisi besar dan risiko polarisasi politik. Meskipun NFP berhasil meraih kemenangan di Prancis, ia tetap merupakan koalisi beragam dengan potensi konflik internal terkait prioritas kebijakan dan pendekatan pemerintahan. Ini mencerminkan tantangan di negara-negara seperti Indonesia, di mana koalisi politik sering kali sama kompleksnya dan penuh dengan potensi perselisihan. Termasuk pascapemilu.


Lebih jauh lagi, kebijakan ekonomi yang diusung oleh NFP di Prancis dan Partai Buruh di Inggris, terutama yang berfokus pada peningkatan pengeluaran publik untuk layanan sosial, menghadirkan kompleksitas lain bagi pembuat kebijakan di Asia Tenggara. Meskipun kebijakan semacam itu menarik. Karena fokusnya pada kesejahteraan sosial. Bagi Indonesia, mengadopsi strategi ekonomi serupa butuh keseimbangan dan kehati-hatian. Terutama memastikan bahwa inisiatif yang bertujuan pada keadilan ekonomi itu tidak merusak stabilitas fiskal atau pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara di Asia Tenggara juga akan mengamati dengan cermat reaksi komunitas bisnis dan pasar keuangan terhadap pemerintah sayap kiri ini. Dua kawasan tersebut tahu persis pentingnya menjaga stabilitas ekonomi dan menarik investasi internasional. Jika berhasil, kebijakan ekonomi pemerintah sayap kiri yang baru itu bisa menjadi model untuk reformasi ekonomi progresif di Asia Tenggara. Sebaliknya, dampak ekonomi negatif apa pun bisa menjadi contoh risiko yang terkait dengan perubahan kebijakan semacam itu.


Implikasi Geopolitik
Selain pertimbangan ekonomi, ada implikasi geopolitik. Pergeseran menuju pemerintahan berhaluan kiri di Prancis dan Inggris bisa mempengaruhi lanskap geopolitik global. Mempengaruhi segalanya. Mulai perjanjian perdagangan internasional hingga kebijakan lingkungan. Bagi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, ini bisa berarti navigasi era baru hubungan internasional di mana aliansi tradisional mungkin akan dievaluasi kembali dan prioritas diplomatik serta ekonomi baru akan ditetapkan.

Akhirnya, peran pemerintah ini dalam menangani tantangan global seperti perubahan iklim, migrasi, dan perdagangan internasional bisa menetapkan preseden yang mempengaruhi kebijakan di Asia Tenggara. Sebagai pemain penting di kawasan ini, Indonesia perlu memantau perkembangan tersebut dengan cermat dan siap untuk menyesuaikan kebijakannya agar selaras atau bisa merespons secara tepat pergeseran norma dan kesepakatan global yang difasilitasi oleh pemerintahan baru berhaluan kiri ini.


Kemenangan pemilu sayap kiri di Prancis dan Inggris mewakili lebih dari sekadar pergeseran dalam spektrum politik nasional: mereka menunjukkan kemungkinan kalibrasi ulang tatanan global menuju kebijakan yang menekankan keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan sistem kesejahteraan publik yang kuat.

Bagi Asia Tenggara dan Indonesia, perkembangan ini menawarkan pelajaran berharga tentang ketahanan demokrasi, kompleksitas politik koalisi, dan keseimbangan rumit antara kebijakan ekonomi progresif dan kehati-hatian fiskal. Seiring lanskap politik global yang terus berkembang, efek riak dari pemilu ini kemungkinan akan dirasakan jauh di luar perbatasan Eropa, dan akan mempengaruhi strategi politik dan ekonomi bukan hanya di kawasan regional tapi di seluruh belahan dunia.

Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate
Jawa Pos, 11 Juli 2024

Friday, June 21, 2024

Melawan Hoax dengan Etika Komunikasi


Di era modern yang serba digital, komunikasi telah mengalami perkembangan yang signifikan karena didukung dengan adanya teknologi internet dan media sosial. Kini, internet dan teknologi berhasil memberikan variasi baru terhadap komunikasi interpersonal sebagai teknologi sosial. Hal ini memungkinkan komunikasi yang dulunya hanya sebatas komunikasi tatap muka atau lisan, kini bisa dilakukan meskipun terpisah jarak dan meluas ke platform digital dimana pesan dapat dengan cepat dan mudah disiarkan ke seluruh dunia. Namun, penyebaran pesan dengan cepat dan luas melalui media sosial menghasilkan banyak isu berita yang cenderung palsu dan tidak terverifikasi dahulu sehingga menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan.

Berita palsu mengganggu kelangsungan informasi yang akurat dan terpercaya karena menyebar dengan cepat dan berpotensi memanipulasi opini publik. Mulai dari informasi kesehatan yang palsu hingga teori konspirasi yang tak berdasar. Misinformasi yang banyak membingungkan masyarakat ini pada akhirnya akan semakin melemahkan kepercayaan terhadap sumber informasi yang akurat. Dalam konteks ini, etika komunikasi menjadi sangat penting.


Bagaimana Melawan Hoax dengan Etika Komunikasi?
Yuk, kita simak selengkapnya!

Apa itu Hoax?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berita palsu atau yang lebih dikenal sebagai hoax adalah berita yang bohong. Hoax adalah informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Dalam menghadapi ancaman berita palsu atau hoax di media sosial, etika komunikasi menjadi landasan penting untuk membantu memerangi berita palsu tersebut.

Etika komunikasi memberikan kerangka untuk memandu bagaimana individu yang satu dengan individu lainnya melakukan komunikasi dengan lebih bertanggung jawab dan bermoral. Sebab, perkembangan komunikasi yang pesat saat ini juga memberikan dan disertai dengan tantangan baru, seperti risiko adanya misinformasi, penyebaran hoax, pelanggaran privasi, dan meningkatnya konflik online.

Dengan menerapkan prinsip etika pada semua interaksi online, kita dapat meminimalkan penyebaran berita palsu dan menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih kondusif, kredibel dan dapat dipercaya.


Pentingnya Etika Komunikasi dalam Melawan Hoax
Penyebaran berita palsu mempunyai dampak buruk yang sangat merugikan masyarakat dan khalayak. Informasi palsu yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab berpotensi untuk menyebabkan ketidaksetaraan situasi, mengganggu kenyamanan khalayak, memicu konflik sosial, dan mengakibatkan tidak akuratnya informasi karena adanya misinformasi dan disinformasi.

Hal ini akan memicu kebingungan masyarakat, merusak reputasi individu, serta menimbulkan ketidakpercayaan terhadap informasi yang akurat. Akses yang mudah terhadap informasi yang tidak berdasar dan karena kurangnya mekanisme verifikasi, maka informasi yang salah dapat menyebar dengan cepat di media sosial, menciptakan lingkungan dimana informasi yang tidak dapat dipercaya berkembang dengan sangat pesat.

Etika komunikasi adalah prinsip yang mengatur bagaimana berkomunikasi dengan baik dan bermoral ketika berhadapan dengan orang lain. Etika komunikasi menyangkut tentang pertimbangan bagaimana individu berkomunikasi dengan cara yang bermoral dan bertanggung jawab. Melibatkan pertimbangan nilai-nilai moral tentang kejujuran, integritas, rasa hormat, dan keadilan dalam berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam upaya memerangi ketidaktepatan informasi dan terjadinya misinformasi.


Etika komunikasi perlu ditingkatkan dalam berkomunikasi melalui media sosial. Hal ini mencakup:

Membangun Kepercayaan
Komunikasi yang etis yang mengedepankan etika dapat membangun kepercayaan antara individu dan komunitas. Ketika orang mempercayai satu sama lain, mereka akan lebih cenderung mendengarkan dan mempertimbangkan informasi yang diberikan, termasuk informasi yang bertujuan untuk membantah laporan palsu. Etika komunikasi juga mendorong tanggung jawab dan kejujuran dalam menyampaikan informasi. Dengan menyuarakan kebenaran, individu lebih cenderung untuk memeriksa fakta sebelum menyebarkan informasi, sehingga mengurangi penyebaran hoax.


Meningkatkan Kredibilitas dan Mencegah Informasi Palsu
Hoax sering kali dirancang untuk menimbulkan ketakutan atau kebingungan, dan dengan memverifikasi informasi, setiap orang dapat melindungi diri dari dampak negatif tersebut. Hoax berkontribusi pada penyebaran disinformasi yang bisa merusak pemahaman publik tentang berbagai isu. Etika komunikasi yang baik mengharuskan individu untuk berbagi informasi yang akurat dan terpercaya, yang pada gilirannya membantu membangun masyarakat yang lebih berpengetahuan dan tidak terlalu rentan terhadap manipulasi. Komunikasi etis membantu meningkatkan kesadaran tentang bahaya berita palsu dan pentingnya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.


Strategi Membangun Kepercayaan Melalui Etika Komunikasi

Berikut beberapa strategi membangun kepercayaan melalui etika komunikasi di media sosial.

• Selalu jujur dan transparan dengan mengkomunikasikan informasi secara jelas dan akurat.
• Hindari pernyataan yang menyesatkan atau berlebihan.
• Gunakan sumber terpercaya. Saat berbagi informasi, pastikan sumbernya dapat dipercaya. Hindari menyebarkan informasi dari sumber yang tidak jelas, tidak layak atau tidak dapat diandalkan.
• Verifikasi informasi sebelum dibagikan: Jangan langsung percaya semua yang dilihat di media sosial. Lakukan riset terlebih dahulu untuk memastikan kebenarannya.
• Gunakan bahasa yang sopan dan hormat: Hindari penggunaan bahasa yang kasar, menyinggung, atau provokatif.
• Memverifikasi segala informasi yang akan disebarkan. Pastikan kebenarannya dengan menyertakan sumber terpercaya dan akurat. Jangan menyuarakan segala informasi yang belum jelas dan terverifikasi.


Studi kasus menunjukkan bahwa platform media sosial yang menerapkan kebijakan etika komunikasi yang ketat dan mendidik pengguna tentang pentingnya etika komunikasi mengurangi penyebaran berita palsu dan mengurangi penyebaran berita palsu itu berhasil meningkatkan kepercayaan pengguna.

Platform ini telah menerapkan berbagai langkah, termasuk:
• Individu harus memverifikasi identitasnya sebelum menggunakan platform.
• Menyediakan fitur pelaporan hoax yang mudah diakses.
• Bekerja sama dengan lembaga pengecekan fakta untuk memverifikasi informasi.
• Memberikan pelatihan kepada pengguna tentang cara mendeteksi hoax.
• Hasilnya, platform media sosial secara signifikan mengurangi penyebaran misinformasi dan meningkatkan kepercayaan pengguna.

Stefanie Michelle Sashi Kirana
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Malang
Jawa Pos, 9 Juni 2024

Wednesday, May 15, 2024

Tak Terjebak Ilusi Artificial Intelligence


Mendorong pemahaman artificial intelligence (AI), membangun hubungan dan ketahanan manusia, serta mempercepat aksi terhadap isu perubahan iklim merupakan tema yang akan disampaikan dalam Education World Forum 2024 (Forum Pendidikan Dunia 2024) pada Mei ini. Dalam konteks Indonesia, apakah hal tersebut sudah relevan?

Dari tiga poin itu, AI menjadi salah satu pembicaraan yang sangat mudah kita temukan dalam berbagai artikel di internet, koran, artikel jurnal, seminar-seminar (atau webinar), dan perbincangan keseharian. Bagi dunia pendidikan, AI cukup mengguncang stabilitas, terutama bagi sekolah atau universitas.


Dalam pandangan UNESCO, AI disebut memiliki potensi untuk mengatasi beberapa tantangan terbesar dalam pendidikan, menginovasi praktik pembelajaran dan kemajuan menuju Sustainable Development Goal 4 (SDG4). Meski demikian, UNESCO juga memberi imbauan terhadap ragam risiko dan tantangan, terutama memastikan prinsip-prinsip inklusi dan kesetaraan menjadi pemandu dalam pemanfaatan AI.

Untuk konteks Indonesia, kita tampak masih kekurangan arah dalam memahami tantangan dan dampak pemanfaatan AI dalam pendidikan. Ketika memanfaatkan AI, cenderung dilakukan pada pemahaman personal tiap aktor melalui pembelajaran mandiri di internet. Ketika penulis berdiskusi dengan para guru, ada kekhawatiran anak-anak menelan mentah-mentah informasi yang dihadirkan AI tanpa proses verifikasi.


Kekuatan Verifikasi
Periode keakraban masyarakat Indonesia dengan buku sebagai sumber informasi memang terbilang sangat singkat. Mengapa buku penting? Sebab, untuk mencari informasi di buku dibutuhkan ketekunan untuk membaca lembar demi lembar, mencari argumen kunci, dan menyintesiskan berbagai informasi sehingga didapat jawaban yang utuh berdasar berbagai perspektif.

Hadirnya internet, disusul AI, membuat proses pencarian informasi menjadi lebih cepat lagi. Guna menjamin validasi, tetap diperlukan stock of knowledge memadai untuk menilai informasi yang diberikan AI. Intelektualitas guru dan siswa menjadi peranti utama dalam memverifikasi berbagai informasi yang diperoleh.

Jika kita menelusuri ragam media sosial, dengan mudah ditemukan berbagai video yang mempromosikan tawaran produktivitas ketika menggunakan AI. Dalam konteks akademik: mencari referensi aktual, meringkas artikel, membuat artikel ilmiah atau populer, esai, dan makalah tampak menjadi sangat mudah. Jelas, ada daya tarik yang kuat disajikan oleh video-video itu untuk menunjukkan bahwa siapa pun yang menonton dapat dengan mudah melakukan kerja-kerja akademik tersebut.


Akan tetapi yang sering dilupakan, kemudahan-kemudahan yang ditampilkan dapat membuai dan menjadikan ketergantungan tinggi pada AI. Sebab, AI seolah menawarkan produktivitas bagi para penggunanya. Dalam konteks pendidikan, jika tidak disikapi dengan bijak, ketergantungan itu membuat anak-anak menjadi kurang awas terhadap proses. Sebab, tahapan-tahapan proses itulah yang dengan mudah dikerjakan AI.

Dalam konteks membaca artikel ilmiah misalnya, jika sebelumnya untuk memahami artikel jurnal berbahasa asing dibutuhkan kecakapan berbahasa, pemahaman substansi, dan kemampuan menyintesis, AI dengan mudah mempersingkat waktu untuk memberikan poin-poin kunci yang dipilihnya. Lantas ditampilkan untuk para pembaca. AI juga memberikan ruang kepada pembaca untuk mengelaborasi dengan ragam pertanyaan, yang juga bisa dijawabnya dengan merujuk artikel tersebut.


Tantangan
Jadi, apa yang perlu dilakukan? Teknologi merupakan alat untuk memudahkan manusia, maka kita perlakukan AI seperti itu. Tetapi, dalam proses pendidikan, upaya untuk melatih pikiran anak-anak lebih kritis menjadi tugas besar. Dan, untuk tugas itu tak bisa semata mengandalkan teknologi.

Saat ini ragam pengetahuan dengan mudah ditemukan di internet. Namun tetap, beragam sumber pengetahuan tersebut harus dibaca secara tekun, dikuliti kata per kata, dikritisi, dibandingkan dengan referensi lain, dan kemudian didiskusikan. Pada proses itulah pembelajaran berlangsung dan budaya ilmiah dibangun.

Dalam konteks pembelajaran, budaya ilmiah yang mengandalkan pola pikir kritis dibangun tahap demi tahap. Ada proses pengulangan, pengujian, rasa skeptis, dan proses perenungan. Tak mudah percaya terhadap apa yang dibaca, selalu mencoba membandingkan satu temuan dengan temuan lain, demikianlah scientific method diterapkan. Jangan sampai, seperti yang seorang kolega katakan, hanya semata semua paparan ilmiah diunduh di dalam gawai atau laptop dan kita dapat menggunakan AI, maka kita sudah merasa pintar.

Maka, kembali pada hal-hal fundamental menjadi penting. Ketekunan menelaah, lalu mempertanyakan setiap narasi menjadi hal utama. Karena itu, apa pun yang diproduksi AI, pada tahap awal perlu diragukan kebenarannya, dipertanyakan ulang, dan ditelusuri sumber referensi utamanya. Pada titik ini, peran pendidik menjadi penting untuk membangun kekuatan pikiran anak-anak agar tak mudah terjebak pada jawaban memesona yang diproduksi AI. Jawaban yang tampak seperti kebenaran, tetapi perlu dikurasi lebih ketat akurasinya.


Berpikir kritis, pada akhirnya, tetap menjadi peranti utama yang wajib dimiliki anak-anak. Latihan tersebut ada di ruang pendidikan. Efek latihan itu adalah kemampuan anak-anak kita agar peka terhadap segala hal yang ditawarkan dunia. Sehingga tak mudah terseret arus, terjerumus pada iming-iming beragam berita palsu, pseudosains, ataupun jeratan kata-kata elok yang menyesatkan.

Apalagi, setiap hari kita dibombardir ratusan klip singkat di medsos yang validitasnya perlu diragukan. Jika video-video tersebut mendominasi dan dijadikan rujukan kebenaran, tentu itu sangat berbahaya bagi masyarakat. Pendidikan merupakan aktivitas moral dan politis, untuk mengejar kebaikan bagi umat manusia (Kemmis dan Groves, 2017).

Keduanya juga menekankan bahwa mendidik juga berarti sebagai upaya melawan penderitaan individu, irasionalitas, kesengsaraan, dan ketidakadilan di dunia. Pada titik ini, kembali pada kemanusiaan dan eksistensi diri, tak terjebak pada ilusi AI, menjadi fundamen utama.

Anggi Afriansyah,
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Jawa Pos, 10 Mei 2024

Wednesday, April 24, 2024

Islam, Jalan Hidup Kartini


Raden Ajeng Kartini (1879-1904) secara tidak langsung ikut merintis terjemahan Al-Qurân pertama dalam bahasa Jawa.

Raden Ajeng Kartini, seorang Muslimah pahlawan Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara (Jawa Tengah). Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1962), Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan Jepara pada saat itu sebagai sebuah daerah yang baru saja lepas dari Tanam Paksa (Cultuurstelsel), yang amat mencekik peri-kehidupan masyarakat setempat. Pada masa puncak penerapan Cultuurstelsel, lanjut Pram, para petani Jepara harus menyerahkan sepertiga dari tanah garapannya kepada pihak gubernur jenderal untuk ditanami tanaman-tanaman komoditas ekspor, seperti kopi, karet, cokelat, dan tebu.

RA Kartini berasal dari keluarga priayi yang kental nuansa feodalisme. Sebelum wanita ini lahir, ayahnya yakni Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai wedana di Desa Mayong, Jepara. Saat usia putrinya itu masih bayi, Ario Sosroningrat telah diangkat menjadi bupati Jepara.


Pengangkatan ini berimbas bukan hanya pada lingkungan kerja, tetapi juga keluarga. Ario Sosroningrat menikah lagi dengan seorang perempuan ningrat Madura, Raden Ajeng Moerjam. Alhasil, istri pertamanya yang bernama Ngasirah mengalami turun posisi hingga berstatus bukan istri resmi.

Bukan itu saja ujian yang dialami Ngasirah, perempuan yang dinikahi Ario ketika masih berusia 14 tahun. Ibu kandung Kartini tersebut bahkan mesti memanggil anak-anaknya dengan sapaan ndoro. Itu menandakan rendahnya kedudukan seorang ibunda di hadapan darah dagingnya sendiri.

Bagaimanapun, anak-anaknya tidak pernah mau merendahkan ibu mereka sendiri. Hal itu ditegaskan adik kandung Kartini, Kardinah. Menurutnya, mereka selalu memuliakan Ngasirah, sebagaimana wajarnya anak terhadap orang tua.


Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara, kandung dan tiri. Ia mewarisi darah ulama dari ibu kandungnya. Th Sumartana dalam buku “Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” (1993) mengungkapkan, Ngasirah merupakan putri Kiai Modirono, seorang ulama masyhur asal Desa Telukawur, Jepara.

Di samping mengajarkan agama Islam, kakek Kartini itu juga bekerja sebagai pedagang kopra di Desa Mayong. Adapun Ngasirah sejak masih berusia anak-anak telah mahir mengaji Al-Qurân. Ketika sudah menikah dan jabatan suaminya perlahan-lahan merangkak naik, wanita itu mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa Jawa serta Melayu walaupun tak sempurna.

Berbeda dengan pihak istri pertamanya, Ario Sosroningrat berasal dari keluarga ningrat Jawa yang sangat terbuka pada pendidikan Barat. Kakek Kartini dari pihak bapaknya, Pangeran Ario Tjondronegoro, merupakan bupati Demak. Di rumahnya, tidak jarang mereka menggunakan bahasa Belanda.

Ario Sosroningrat meneruskan kesukaan ayahnya pada gaya pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Bahkan, seorang kakak Kartini yang bernama Kartono dikirimkan ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studi.

Raden Ajeng Kartini berkerudung dan pakai jilbab?

Menurut Th Sumartana, hal itu merupakan tanda bahwa kalangan elite lokal Jawa pada masa itu telah menyadari pentingnya penyesuaian diri dengan budaya dan cakrawala pengetahuan Eropa. Pendidikan Barat pun menjadi gerbang bagi para penguasa pribumi agar mampu memperoleh atau mempertahankan jabatan di struktur birokrasi kolonial.

Sekalipun menyukai pendidikan Barat, ayah Kartini tidak begitu saja melalaikan pendidikan agama. Saat menjadi bupati Jepara, ia mengundang para dai ke kabupatennya untuk mengajarkan Al-Qurân. Untuk anak-anaknya pun, Ario Sosroningrat mendatangkan guru ngaji (ustadz) untuk membimbing mereka.

Bagaimanapun, lanjut Th Sumartana, metode pengajaran agama Islam yang diperoleh Kartini dan saudara-saudaranya tidaklah mendalam. Ustadz yang datang ke rumahnya hanya mengajarkan cara membaca Al-Qurân. Tidak ada pembahasan tentang terjemahan atau makna kitab suci tersebut.

Dalam suratnya kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar pada 6 November 1899, Kartini mencurahkan perasaannya mengenai agama ini: “Tentang ajaran Islam, tidak dapat saya ceritakan, Stella. Agama Islam melarang pemeluknya untuk mempercakapkannya dengan pemeluk agama lain. Dan, sebenarnya saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam.

Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi asli bahasa Belanda.

Belakangan, Kartini mulai membangun pandangan kritis terhadap pendidikan Islam yang diterimanya sejak kanak-kanak. Hal itu berkat kebiasaannya semasa remaja berkorespondensi dengan kawan-kawannya yang orang Belanda. Dalam surat yang sama, Kartini menulis: “Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak memahaminya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Qurân terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apa pun juga. Di sini, tidak ada orang yang tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-Qurân, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.

Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila: mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. [...] Bukankah demikian, Stella?

Cara pandang Kartini yang menilai pengajaran Islam kala itu tidak memadai, menurut Sumartana, menciptakan jarak tertentu baginya terhadap Islam. Gap ini memungkinkan wanita ningrat Jawa tersebut untuk bersikap kritis terhadap agamanya, sebagaimana terbaca dari surat-suratnya untuk Stella Zeehandelaar.


Stella Zeehandelaar berusia lima tahun lebih tua daripada Kartini. Begitu lulus dari sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS), wanita kelahiran Belanda itu bekerja pada Kantor Pos, Telepon dan Telegram di Amsterdam.

Saat berusia 20 tahun, Kartini memasang sebuah iklan di majalah terbitan Belanda, De Hollandsche Lelie. Isinya menjelaskan bahwa dirinya merupakan putri seorang bupati Jepara di Hindia Belanda (Indonesia) dan sedang mencari teman perempuan untuk dapat saling bertukar pikiran melalui surat-menyurat. Kawan yang dicarinya ini harus merupakan orang Belanda dan berusia sebaya dengannya.

Kebetulan, Stella membaca iklan tersebut. Sebagai seorang aktivis feminisme, wanita Belanda itu tertarik dan bersedia untuk menjadi teman korespondensi bagi seorang putri ningrat Jawa. Demikianlah awal pertemanan mereka. Kini, hasil surat menyurat keduanya telah dibukukan dalam berbagai terbitan. Salah satunya adalah On Feminism and Nationalism: Kartini’s Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 (1995).

Mr Jacques Henrij (JH) Abendanon dan istrinya Rosa Abendanon.

Kartini juga memiliki kawan korespondensi lainnya, yakni EC Abendanon, seorang anak pasangan Mr Jacques Henrij (JH) Abendanon dan Rosa Abendanon. Antara tahun 1900 dan 1905, JH Abendanon merupakan menteri pendidikan Hindia Belanda. Sesudah Kartini wafat, pejabat Belanda itu dan istrinya berinisiatif mengumpulkan surat-surat almarhumah dan menghimpunnya ke dalam buku, yang diberi judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang).

Seperti curahan hatinya kepada Stella, Kartini pun mengungkapkan kegelisahan batinnya mengenai praktik pengajaran agama Islam kepada EC Abendanon. Dalam sebuah surat kepada anak JH Abendanon itu tertanggal 15 Agustus 1902, sang putri Jawa sampai-sampai mengaku tidak mau membaca Al-Qurân lagi. Sebab, dirinya toh tidak mengerti arti ayat-ayat kitab suci tersebut dalam bahasa Arab. Pengakuan itu cenderung merupakan ekspresi Kartini yang merasa kecewa karena tidak ada siapapun di sekitarnya yang bersedia menerangkan Al-Qurân kepadanya.

Dan waktu itu, aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qurân, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,
” tulis Kartini kepada Abendanon.

Sumartana berpendapat, sikap Kartini itu sesungguhnya menyasar pada budaya tempatnya berada, bukan Islam sebagai agama yang dianutnya. Wanita ningrat Jawa itu merasa terkungkung oleh lingkungan yang menjalankan ajaran Islam secara taklid sehingga untuk “sekadar” menjelaskan isi kitab suci pun tidak mampu (ketakutan?). Keluh kesah ini diungkapkan Kartini melalui korespondensinya dengan kawan-kawannya yang orang Belanda.

Ayat Al-Quran yang menginspirasi RA Kartini: "mina azh-zhulumaati ila an-nuur".

Faidh al-Rahman
Sesudah wafatnya RA Kartini, surat-suratnya kemudian dikumpulkan oleh Abendanon ke dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Terang). Versi terjemahan bahasa Melayu terbit pada 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Nyai Dahlan dalam artikel “Inspirasi Kartini di Kalangan Muslimat” memandang, metafora “dari kegelapan menuju terang benderang” itu merujuk pada kata-kata yang banyak disebut dalam ayat-ayat Al-Qurân: mina azh-zhulumaati ila an-nuur. Misalnya, surah al-Baqarah ayat ke-257.

Dalam firman-Nya itu, Allah menegaskan bahwa Dia adalah pelindung orang yang beriman. “Dia (Allah) mengeluarkan mereka (orang beriman) dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.” (QS al-Baqarah: 257).

Dalam fase kehidupan RA Kartini, menurut Nyai Dahlan, ada titik yang dari sanalah sang putri Jepara mulai berhijrah. Titik yang dimaksud adalah perjumpaannya dengan KH Shaleh Darat as-Samarani (wafat 1903 M), seorang ulama besar yang mengajar di Semarang (Jawa Tengah).


Cerita pertemuan ini bermula ketika Kartini mengunjungi kediaman pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, yang merupakan seorang bupati Demak. Saat tiba, perempuan ningrat itu mendapati bahwa sedang ada pengajian di rumah sang paman. KH Shaleh Darat hadir sebagai pengisi materi.

Dalam kesempatan itu, ulama tersebut menjelaskan tafsir surah al-Fatihah kepada hadirin yang memadati pendopo rumah Pangeran Ario Hadiningrat. Mendengarnya, Kartini langsung tertarik. Dengan saksama ia menyimak seluruh uraian Kiai Shaleh Darat.

Bagi Kartini, inilah untuk pertama kalinya ia diberi tahu tentang arti dan makna ayat-ayat suci Al-Qurân. Sebelumnya, wanita yang cerdas ini hanya diajarkan untuk sekadar membaca teks Al-Qurân atau menghafalkan beberapa surah pendek, tanpa menyelami kandungan isi kitab suci tersebut.

Untuk pertama kalinya, Kartini merasa terbebas dari kejumudan para pemuka Islam yang selama ini ditemuinya. Usai pengajian, Kartini segera mendekati pamannya agar bersedia memperkenalkannya kepada Kiai Shaleh Darat. Awalnya, Ario Hadiningrat merasa enggan. Namun, keponakannya itu sedikit memaksa sehingga jadilah mereka menemui langsung sang ulama.


Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini setelah memperkenalkan diri.

Mendengar itu, tampak Kiai Shaleh tertegun. Mungkin karena belum memahami alur pertanyaan Kartini. “Mengapa Raden Ajeng bertanya begitu?” selidik ulama ini kemudian.

Kiai, selama hidupku, baru kali ini aku memahami makna surah al-Fatihah. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ungkap Kartini dengan bersemangat.

Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qurân ke dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Qurân pembimbing hidup bahagia bagi manusia?” tanya perempuan itu lagi.


Kiai Shaleh terpana mendengar kata-kata Kartini, yang sopan tetapi begitu kritis. Belum pernah seorang Jawa pun —lebih-lebih dari kalangan perempuan— yang mengajukan pertanyaan sebegitu tajam dan mendalamnya. Ulama ini hanya menggumamkan “Alhamdulillah”. Kemudian, pertanyaan Kartini dijawabnya secara umum, sekadar untuk menghilangkan kegelisahan dari hati perempuan tersebut.

Bagaimanapun, hikmah besar terjadi beberapa waktu sejak pertemuan itu. Tergerak oleh pertanyaan yang diajukan Kartini, Kiai Shaleh mulai merasa yakin akan pentingnya penerjemahan teks Al-Qurân. Ini adalah pekerjaan besar yang belum pernah diambil oleh seorang ulama pun sebelumnya.

Mengapa demikian? Pertama-tama, Al-Qurân merupakan Kalamullah yang hadir dalam bahasa Arab dengan kualitas bahasa yang paripurna. Menerjemahkannya ke dalam bahasa sasaran, semisal bahasa Jawa, tentu bukanlah perkara ringan.

Selain itu, tidak sedikit ulama pada masa itu memandang skeptis tindakan menerjemahkan kitab suci. Ambil contoh teks Injil yang telah diterjemahkan oleh orang-orang sesudah zaman Nabi Isa AS. Naskah asli yang berbahasa Ibrani tidak beredar luas atau bahkan hilang, sedangkan terjemahan dalam bahasa Yunani tersebar luas dan inilah yang justru kemudian dianggap sebagai “Injil sungguhan.” Pada akhirnya, Injil tidak lagi terjaga (corrupted), bahkan hadir dalam banyak versi —bukan hanya banyak bahasa.


Jika pintu terjemahan dibuka, maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan menerjemahkannya ke bahasa masing-masing sehingga akan muncul banyak versi terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan Injil,” demikian kata seorang ulama al-Azhar Mesir, Syekh al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Tentunya, keputusan KH Shaleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qurân ke dalam bahasa Jawa tidak bertujuan menghadirkan “Al-Qurân versi baru.” Tergerak oleh keluhan RA Kartini, ulama besar Semarang itu semata-mata ingin membantu kaum Muslimin Jawa agar lebih memahami isi Kalamullah. Sebab, tidak semua penduduk pulau ini bisa mengerti bahasa Arab.

Tidak sekadar melakukan alih bahasa, Kiai Shaleh Darat juga menulis tafsir Al-Qurân. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya itu yang membahas mulai dari juz pertama hingga juz ke-13 Al-Qurân. Karyanya itu kemudian diberi judul Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur'an, sebuah terjemahan dan tafsir Al-Qurân dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.


Kiai Shaleh lantas memberikan salah satu salinan karyanya itu kepada RA Kartini sebagai hadiah ketika wanita Jawa itu menikah dengan bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat. Kartini begitu terharu saat menerima pemberian tersebut. Buku itu dikatakannya sebagai kado pernikahan yang tak ternilai harganya.

Selama ini, (surah) al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi, sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Rama Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata Kartini.

Kartini mempelajari terjemahan dan tafsir yang dibuat Kiai Shaleh Darat secara sungguh-sungguh. Sayang sekali, sang ulama “hanya” mampu menyelesaikan pekerjaannya hingga surah Ibrahim, tidak sampai an-Nas sebagai surah terakhir dalam Al-Qurân. Sebab, waliyullah asal Semarang itu terlebih dahulu wafat.

Dengan membaca Faidh al-Rahman, Kartini benar-benar terkesan. Dari seluruh firman Allah yang dibahas Kiai Shaleh Darat di sana, ada yang paling menarik perhatiannya, yakni ayat ke-257 dari surah al-Baqarah. Ayat itu menerangkan bahwa Allah membimbing manusia beriman dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, “mina azh-zhulumati ila an-nur.” Bagi Kartini, pengalaman semacam itu telah dialaminya berkat menelaah karya Kiai Shaleh Darat, yang menerangkan makna Al-Qurân kepadanya.


Sejak saat itu, isi korespondensi Kartini dengan kawan-kawan Belandanya berubah nuansa. Tidak lagi dipenuhi pesimisme atau bahkan kekecewaan terhadap kejumudan orang-orang Islam. Warnanya kini menjadi lebih optimistis, terutama mengenai masa depan Islam.

Pandangan Kartini tentang Barat juga berubah. Tak lagi menganggapnya tolok ukur tertinggi peradaban manusia. Perhatikan surat tokoh emansipasi perempuan ini tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah Ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban? Kami sekali-kali tak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa yang kebarat-baratan.

Lalu dalam korespondensi bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, wanita asal Jepara ini menegaskan: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai.

Hasanul Rizqa
Jurnalis Republika Online
https://www.republika.id/posts/52167/islam-jalan-hidup-kartini