Thursday, December 12, 2024

Obituari Prof Ichlasul Amal


Karena sejumlah teman kesulitan mengakses Obituari Prof Ichlasul Amal yang kutulis di Tempo, terlampir tulisan aslinya. Dilakukan sejumlah penyuntingan oleh redaksi tanpa mengubah inti tulisan. Selamat menyimak, semoga berguna. Matur nuwun.

Rektor Reformasi Itu Berpulang .…

Langit sore di Bulaksumur bermendung tebal tapi hujan tak kunjung turun pada Kamis, 14 November 2024. Barangkali itu penghormatan terakhir bagi Profesor Ichlasul Amal, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1998-2002, yang berpulang pada Kamis pukul 02.40 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta.

Setiba jenazah di Yogyakarta, seusai dibawa ke rumah duka di Sawit Sari dan dishalatkan di Masjid Kampus UGM, upacara penghormatan terakhir bagi almarhum dihelat di Balairung UGM pada pukul 15.40 WIB. Sekitar dua ratusan orang hadir menyampaikan duka, doa dan rasa hormat yang dalam, termasuk para murid, sahabat dan rekan sejawat beliau seperti Sofian Effendi (Rektor UGM 2002-2007) dan Mohtar Mas’oed (Dekan Fisipol UGM 2004-2008).

Mohtar Mas'oed, Ichlasul Amal, dan Sofian Effendi.

Dalam sambutan mewakili keluarga yang disampaikan oleh Titan Hermawan, menantunya, disampaikan bahwa Pak Amal, demikian beliau lazim dipanggil, sebenarnya tergolong sehat untuk usianya yang tahun ini mengancik angka 82. Bahkan, belakangan beliau acap pergi dari Yogya ke Jakarta untuk menjenguk anak dan cucu bermobil, sambil berwisata kuliner sepanjang perjalanan. Lazimnya ia ditemani sopir dan istri tercinta, Ery Haryati, adik kelasnya saat berkuliah di UGM dulu.

Itulah yang terjadi pada Kamis persis sepekan sebelum kepergiannya. Sampai di Jakarta pada sore hari, bahkan beliau menyempatkan diri mengajar secara luring di sebuah kampus di Jakarta pada malam harinya. “Ayah tidak bisa dilarang soal mengajar; ia menikmati berbagi ilmu dan bertemu dengan mahasiswa yang memberikan kebahagiaan tersendiri,” demikian tutur Titan dalam pembicaraan via telepon.

Mungkin karena terlalu capek dengan berbagai kegiatan, pada Ahad siang kondisi kesehatan Pak Amal mulai menurun. Acara makan siang yang sempat diagendakan bersama cucu dan anak pun dibatalkan. Pasangan Amal dan Ery Haryati memiliki dua anak yang tinggal di Jakarta yaitu Amelin Herani dan Akmal Herawan. Satu lagi anak mereka meninggal dunia saat masih remaja akibat Leukemia.

Siang itu juga beliau dilarikan ke RSPI Jakarta. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, pada Rabu Amal boleh pulang untuk dirawat di rumah. Namun Rabu sore sepulang dari rumah sakit kondisi kesehatannya kembali menurun, berlanjut hingga Kamis dini hari saat Amal berpulang ke haribaan yang Maha Kuasa .…


Pria kelahiran Ambulu, Jember, pada 1 Agustus 1942 itu memiliki tempat istimewa dalam perjalanan UGM dan Indonesia. Menempuh pendidikan dari dasar hingga menengah di Jember, Amal muda melanjutkan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) UGM dan lulus program sarjana pada 1961. Langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya, kemudian Amal melanjutkan studi master di Northern Illinois University Amerika Serikat dan lulus pada 1974. Selanjutnya studi doktoral di Monash University, Melbourne, Australia dan lulus pada 1984.

Menulis disertasi di bawah bimbingan Prof. Herbert Feith, sosok legendaris dalam studi ilmu politik dan Indonesia, Amal menulis topik yang saat itu belum banyak dikaji para akademisi: dinamika politik dalam negeri dalam kaitan dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Bisa disebut beliau salah satu pionir dalam studi politik pusat-daerah sebelum kebijakan otonomi daerah diterapkan.

Kariernya di UGM melejit saat Amal diangkat menjadi Direktur Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial pada 1986-1988 berlanjut menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) pada 1988-1994 dan berpuncak sebagai Rektor UGM pada 1998-2002. Menjadi Rektor kampus besar di era turbulensi politik tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghela biduk besar di tengah gelombang pasang reformasi menghempas di Bumi Nusantara.


Sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan mantan Ketua Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) cabang Jogja 1967-1968, pilihannya jelas: berpihak kepada aspirasi kaum muda dan mahasiswa untuk mendukung gerakan reformasi. Seperti ditulis dalam buku 50 Tahun UGM di Seputar Dinamika Politik Bangsa (Sori Siregar dan Dody Mardanus, LP3ES 1999): “Beruntung UGM memiliki Prof Dr Ichlasul Amal. Lelaki kecil dengan nyali besar. Di pengujung rezim Soeharto, di tengah pesona psikologis pergantian milenium yang diharapkan membawa perubahan, dia merupakan figur yang tepat pada saat yang tepat. Dia muncul dengan berani untuk menegakkan demokrasi yang sehat di negeri ini.

Sebagai dosen muda di departemen Sosiologi UGM dan sekaligus jurnalis paruh waktu di tabloid ADIL, saya merupakan salah satu saksinya. Pada 20 Mei 1998 pagi, puluhan ribu mahasiswa, dosen UGM dan masyakarat umum berkumpul di Lapangan Pancasila UGM dipimpin oleh sang rektor, Prof. Ichlasul Amal. Rombongan kemudian melakukan aksi konvoi damai berjalan kaki menuju ke Alun-Alun Utara depan Keraton Yogyakarta dan bergabung dengan ratusan ribu massa lainnya yang datang dari berbagai penjuru.

Di sepanjang jalan menuju Alun-Alun warga menyemut dan menyambut dengan antusias dan menyediakan minuman dan makanan gratis untuk peserta aksi massa. Hari itu aparat polisi dan tentara menepi tidak terlihat mengamankan aksi, digantikan oleh para aktivis Banser Ansor NU, Kokam Muhammadiyah dan sejumlah pengaman sipil yang menyapa ramah mengamankan para peserta aksi damai itu.

Pisowanan Ageng di Alun-alun Lor, keraton Yogyakarta pada bulan Mei 1998.

Pada puncak aksi damai yang disebut sebagai “Pisowanan Ageng” di sepanjang Jalan Malioboro hingga Alun-Alun Utara itu diperkirakan berkumpul satu juta massa. Satu juta massa yang tertib dan damai menyuarakan tuntutan reformasi. Di depan pagelaran Keraton Yogyakarta, massa disambut oleh Sultan HB X dan KGPAA Paku Alam VIII yang kemudian membacakan Maklumat Mendukung Gerakan Reformasi.

Keesokan harinya, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari kursi kepresidenan yang sudah didudukinya selama 32 tahun. Runtuh lah rezim otoriter ‘Orde Baru’. Bagi sejumlah penafsir politik dan budaya, Soeharto tahu ‘wahyu kekuasaannya’ berakhir ketika UGM dan Keraton Yogyakarta bersatu bersama rakyat mendukung gerakan reformasi .…

Reformasi berarti hadirnya peluang politik dan tawaran kursi kekuasaan bagi sejumlah orang. Tapi tidak bagi Amal. Keteguhan dan integritas moral Amal sebagai akademisi dan intelektual teruji; ia menolak tawaran jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diberikan oleh Presiden BJ Habibie, wakil presiden yang menggantikan Soeharto.

Amal memilih teguh dan tegak berpihak kepada cita-cita reformasi dan kepentingan rakyat pada saat cakar kekuasaan mulai mencabik dan memecah gerakan pro-demokrasi.

Rektor UGM, Prof Dr Ichlasul Amal, MA, berorasi di kampus UGM, untuk selanjutnya mengawal para mahasiswa dan insan akademis berjalan kaki menuju Alun-alun Lor, Yogyakarta.

Usai memanggul amanah sebagai Rektor UGM, Amal mendapatkan kepercayaan dari komunitas pers untuk menjadi anggota Dewan Pers dari unsur masyarakat/pakar. Latar belakangnya sebagai aktivis pers mahasiswa, integritasnya sebagai intelektual, dan keteguhannya sebagai aktivis pro-demokrasi non-partisan tampaknya yang menghantarkan dirinya terpilih sebagai Ketua Dewan Pers selama dua periode (2003-2006 dan 2006-2009).

Pada periode 2003-2006, Amal terpilih sebagai anggota Dewan Pers bersama dengan Sulastomo dan Hinca I.P. Panjaitan dari unsur masyarakat/pakar; R.H. Siregar, Santoso, Uni Zulfiani Lubis, dan Sutomo Parastho dari unsur wartawan; sedang unsur pimpinan perusahaan media diwakili Amir Effendi Siregar dan Sabam Leo Batubara. Amal terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2003-2006, dibantu R.H. Siregar sebagai Wakil Ketua.

Sedang pada Dewan Pers periode 2006-2009, Amal kembali terpilih sebagai Ketua didampingi Sabam Leo Batubara sebagai Wakil Ketua. Anggota lainnya adalah Garin Nugroho dan Wikrama Iryans Abidin mewakili masyarakat; Bambang Harymurti, Bekti Nugroho, dan Wina Armada Sukardi mewakili wartawan; serta Abdullah Alamudi, Sabam Leo Batubara, dan Satria Naradha mewakili perusahaan pers (Dewan Pers 2010).

Amal menggantikan Ketua Dewan Pers sebelumnya Atmakusumah Astraatmaja, tokoh pers yang memimpin pada 2000-2003, dan diteruskan oleh Bagir Manan, guru besar ilmu hukum, yang memimpin selama dua periode pada 2010-2017.

Revrisond Baswir, Prof Ichlasul Amal, Sri Sultan HB X dan GKR Hemas di acara unjuk rasa REFORMASI DAMAI, bulan Mei 1998.

Menjadi Ketua Dewan Pers pada periode awal reformasi tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghadapi aneka sengkarut yang muncul sebagai dampak gelombang pasang munculnya ragam penerbitan pers di era liberalisasi media.

Di masa kepemimpinan Amal di Dewan Pers muncul Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan- DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.

Kode Etik Jurnalistik sangat penting kehadirannya di era demokrasi dan sekurangnya memiliki lima fungsi yaitu: (1) Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya; (2) Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang professional; (3) Mendorong persaingan sehat antar-praktisi; (4) Mencegah kecurangan antar-rekan profesi; (5) Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber (Wijaya dan Gischa, 2023).


Bagi Amal, merawat pers yang sehat berarti menjaga marwah demokrasi yang diperjuangkannya sejak belia. Seperti ditulisnya dalam refleksi tentang peranan pers dalam membangun kebangsaan dan demokrasi:

Pers dalam sejarahnya telah turut memperjuangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini pers masih harus turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Pergulatan untuk mewujudkan Bangsa Indonesia yang lebih baik, lebih makmur, dan lebih sejahtera masih harus terus diperjuangkan.” (Dewan Pers 2013).

Rektor Reformasi dan Begawan Pers itu kini telah berpulang. Selamat jalan Guru dan Teladan Kebajikan .…

Bulaksumur, 17 November 2024

Muhammad Najib Azca
Dosen Sosiologi UGM dan Mantan Aktivis Pers Mahasiswa
https://www.facebook.com/najib.azca

Dubes Australia, Richard Woolcott, Prof Ichlasul Amal dan Hamid Basyaib.

Sejarah Mentalitas Ichlasul Amal

Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott, besok akan menghadiri suatu acara budaya di Yogyakarta, dan saya ingin mewawancarainya tentang isu politik yang sedang hangat antara Australia dan Indonesia.

Tapi bagaimana cara terbaik mewawancarainya? Apa saja yang harus saya tanyakan? Pengetahuan saya tentang politik Australia hampir nol; pemahaman tentang sumber-sumber konflik antara Indonesia dan Australia tak kalah besar nolnya.

Saya bingung, tapi merasa penting untuk menginterviu Pak Dubes. Ini juga bagian dari peningkatan gengsi bagi koran “Masa Kini” dalam bersaing dengan koran-koran lokal lain yang sudah mapan.

Maka, di pertengahan 1980-an itu, pukul 9 malam saya mendatangi rumah Dr. Ichlasul Amal, dosen Fisipol UGM, yang belum lama lulus dari Universitas Monash, Melbourne. Ini cara instan untuk mendapatkan bahan-bahan dasar, di tengah kesulitan memperoleh material yang saya butuhkan kala itu —tak mungkin pula saya menyusuri perpustakaan dalam himpitan waktu.


Pak Amal menerima saya dengan senang hati —ia sangat ramah; hampir setiap kalimatnya diiringi senyum di bawah kumisnya yang tak pernah tebal. Dengan bodohnya saya berterus terang bahwa saya tidak bermaksud mewawancarai dirinya, tapi sekadar meminta bahan dan masukan untuk menghadapi Dubes Woolcott besok pagi.

Pak Amal meladeni saya dengan senang hati, walau sebetulnya ia berhak untuk “tersinggung” karena sekadar dimintai bantuan untuk memberi masukan. Pasti itu untuk pertama kalinya ia dimintai bantuan serupa oleh seorang mahasiswa yang bukan mahasiswanya; dan tidak pula diperlakukan sebagai subjek wawancara.

Tapi ia terus melayani permintaan saya dengan ramah; kebaikan hatinya tak memberi tempat sedikit pun bagi dominasi egonya yang pantas ditoleransi seandainya pun muncul.

Dengan bekal dari Pak Amal itulah saya kemudian punya rasa percaya diri yang lumayan ketika berjumpa dengan Dubes Woolcott di MMC, bagian dari studio TVRI Jogja.

Richard Woolcott, Hamid Basyaib dan Prof Ichlasul Amal.

Tentu saya tak sanggup untuk membuat Pak Amal lebih repot dengan memintanya menyusun daftar pertanyaan dan mengucapkannya dalam bahasa Inggris.

Biarlah saya tanggung sendiri prospek suram itu, yaitu mewawancarai diplomat asing dengan bahasa tunggang langgang —dan kondisi “Inggris belepotan” itulah yang kemudian memang terjadi (sampai sekarang saya heran: kenapa mahasiswa awal 20-an tahun itu berani menginterviu seorang diplomat senior Australia).

Samsu Rizal Panggabean dan buku karyanya.

Beberapa tahun kemudian giliran ia yang meminta “bantuan” saya dengan bertanya tentang Samsu Rizal Panggabean, sarjana yang baru lulus dari Fisipol (yang juga merangkap kuliah di IAIN Sunan Kalijaga). Ia bertanya apakah saya kenal Rizal.

Dengan bersemangat saya menceritakan panjang-lebar bahwa Rizal adalah seorang mahasiswa yang sangat pintar, yang bersama kawannya, Taufik Adnan Amal, sudah menulis buku tentang metodologi tafsir Quran menurut Fazlur Rahman.

Pak Amal berkata ia sedang mempertimbangkan untuk mengangkat Rizal sebagai asistennya untuk mata kuliah hubungan internasional. Saya menggebu-gebu mendorongnya untuk tidak ragu menjadikan Rizal sebagai asisten dosen.


Kembali saya berutang budi pada Pak Amal ketika saya mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian Sosial (MPS) di program S2 Ilmu Politik UGM. Kami, 18 mahasiswa —hampir semuanya dosen di universitas masing-masing— diminta untuk menyusun proposal penulisan tesis.

Semua mahasiswa yang mendapat giliran lebih dulu tak ada yang lolos dari kritik Pak Amal. Mereka semua menerima aneka kritik itu, bukan karena mereka takut pada Pak Dosen, tapi karena butir-butir kritik Pak Amal memang tepat dan tajam, meski ia sampaikan dengan lembut dan senyum. Ia memang guru yang sabar —termasuk saat memarahi muridnya.

Saya mengajukan rencana tesis berupa sorotan terhadap Kementerian Sekretariat Negara sebagai superbirokrasi. Waktu itu, rasanya sejak di masa Menteri Sudharmono, Sekretariat Negara adalah sebuah “clearing house” yang sangat efektif untuk mengendalikan seluruh birokrasi pemerintah. Kantornya bersebelahan dengan Bina Graha, ruang kerja Presiden Suharto, dan melalui Setneg ia mengontrol dengan efektif seluruh gerak-gerik semua kementerian.

Departemen apapun yang ingin mengajukan rancangan undang-undang, harus meminta arahan dari Setneg. Setelah draft jadi, harus disetor dulu ke Setneg sebelum diajukan ke forum DPR. Lalu Setneg-lah yang mengajukannya ke Senayan.

Dan ini yang tak kurang pentingnya: semua tender proyek pemerintah yang bernilai di atas Rp 500 juta, wajib dilaporkan dan disetujui oleh Setneg.


Sebagian besar bahan untuk rencana tesis saya merupakan gosip dan rumor. Cukup banyak ilustrasi yang saya ajukan di forum kelas itu untuk mengindikasikan betapa besarnya kekuasaan Presiden Suharto dan keluarganya —yang semuanya juga terkait erat dengan kerja Setneg.

PDI dan PPP bukanlah partai politik, melainkan “Presiden Dan Isteri” dan “Putera-Puteri Presiden”. Tosiba bukan merek barang elektronik Jepang, tapi “Tommy, Sigit, Bambang” —merujuk nama tiga putera Presiden yang sangat sering disebut dalam obrolan gelap para aktifis politik, yang sudah lama jengkel tapi hanya mampu berbisik-bisik tentang desas-desus.

Hampir semua kawan mahasiswa saya mengritik pendekatan yang saya ajukan —mendasarkan tesis pada gosip politik. Mereka bilang, bagaimana mungkin sebuah tesis akademis yang selayaknya “ilmiah” didasarkan pada rumor?

Saya menangkis bahwa rumor politik itu penting sebagai alat untuk turut menjelaskan suatu fenomena politik, demikian menurut teori “histoire des mentalites” dari sejarawan Prancis Fernand Braudel dkk. Bagi Braudel, monumen dan patung —terutama buatan pemerintah— yang bertebaran di seantero negeri juga bermakna penting untuk melihat bagaimana suatu peristiwa dimaknai, bukan hanya dicatat dan dialami.

Putra-putri Presiden Soeharto, Mbak Tutut, Sigit, Bambang, Titiek, Tommy, dan Mamiek.

Bahkan juga grafiti yang dibuat oleh para remaja iseng di tembok bangunan-bangunan publik; slogan-slogan yang mereka ciptakan, kata-kata yang mereka tulis dalam desain kaos oblong, dan sebagainya. Semua itu merupakan celah jendela atau indikator dari apa yang disebut Braudel “sejarah mentalitas.”

Sebagai dosen pengampu, Pak Amal membela posisi akademis saya. “Dalam sistem politik tertutup seperti Indonesia,” katanya, “orang tidak mudah mendapatkan informasi politik yang penting dan relevan. Sering tindakan mencari informasi seperti itu sangat berisiko. Dalam situasi seperti itu, seorang peneliti tidak boleh kehabisan akal dan sah saja untuk memanfaatkan gosip dan rumor sebagai sumber analisisnya. Apalagi jika ada landasan teorinya, seperti dari Fernand Braudel itu .…

Di luar kelas, semua kawan “gemas” dan bersungut-sungut terhadap pembelaan Pak Amal atas proposal riset saya. “Semua mahasiswa yang mengajukan proposal dikritik oleh Pak Amal,” kata mereka, “tapi kamu kok malah dia bela!” Saya hanya tertawa dan menanggapi bahwa itulah kemujuran saya sebagai mahasiswa —meskipun proposal itu hanya untuk latihan, dan saya tidak pernah mewujudkannya menjadi tesis S2 sungguhan.

Keluar dari Gedung Pusat Balairung UGM menuju peristirahatan terakhir.

Pak Amal kemudian menjabat dekan, rektor, kemudian Ketua Dewan Pers. Saya hampir tak pernah lagi berinteraksi dengan dosen yang rendah hati itu.

Pagi ini saya mendengar ia pergi membawa seluruh kebaikannya. Tapi beberapa di antaranya tetap mengendap di palung kenangan saya.

Ada satu teladan yang selalu gagal saya tiru dari Pak Ichlasul Amal: bagaimana mengajukan kritik, setajam apapun, dengan ramah dan senyum.

Hamid Basyaib
Penulis dan Jurnalis Senior
Mabur.co, 14 November 2024
https://mabur.co/sejarah-mentalitas-ichlasul-amal/
https://www.facebook.com/hamid.basyaib

MC Ricklefs dan cover buku Ichlasul Amal.

Ichlasul Amal

Ketika sedang menulis tesis perbandingan pemberontakan Aceh dan Sumatera Barat 1950-60-an di Monash University awal 1990-an, Prof saya MC Ricklefs meminjamkan disertasi Ichlasul Amal untuk saya jadikan bahan. Judulnya adalah ‘Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979.

Dalam konteks urut-urutan, Ichlasul Amal telah menjadi murid Ricklefs sejak 1980-an. Dilihat dari sini, saya yuniornya Ichlasul Amal. Kini, kedua tokoh akademisi ini telah kembali kepada Sang Pencipta.

Disertasi Ichlasul Amal ini sangat berguna bagi saya untuk menyusun kerangka pemikiran. Dari disertasi itulah saya pahami sebuah konsep ‘Java-based political parties’. Yaitu, partai-partai yang hanya berbasis Jawa, seperti PNI, PKI dan NU. Satu-satunya partai nasional pada Pemilu 1955 itu hanya Masyumi —karena wilayah pendukungnya menyebar ke seluruh Indonesia.


Ichlasul Amal pula, dalam disertasinya itu, yang mengatakan betapa tak konklusifnya pemilu pertama pada 1955. Justru hasil pemilu tersebut memicu lebih lanjut pergolakan daerah —yang tanda-tandanya sudah mulai terlihat beberapa tahun sebelum 1955 itu.

Usai kembali dari Australia, saya mendapati disertasi Ichlasul Amal telah diterbitkan UGM Press. Saya membeli karya monumental ini, —seperti terlihat dalam gambar di atas, di Yogyakarta.

Selamat jalan senior. Karyamu akan terus ditelaah para akademisi angkatan berikutnya.

Fachry Ali
Peneliti dan Pemikir Islam
Mabur.co, 15 November, 2024
https://mabur.co/ichlasul-amal/

No comments: