“Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah spiritualitas. Agama menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar ilahiahnya."
Diakui atau tidak, saat ini semua media sedang dirambah budaya populer untuk menyebarkan misi utama mereka, melakukan ‘kolonialisasi kesadaran’. Majid Tehranian menyebut itu dengan istilah ‘tirani kognitif’ atau ‘ilusi-ilusi modernitas’ dalam bahasa Peter L Berger.
Herbert J Gans dalam
Popular Culture and High Culture: An Analysis and Evaluation of Taste menyebut beberapa identitas ‘anak kandung’ budaya populer: berorientasi profit, mendangkalkan nalar, mengundang kesenangan sesaat, dan akhirnya mendorong totalitarianisme dengan mengondisikan jemaah (penonton, audiens, khalayak, dan pembaca) yang pasif. Sudarsono (1993) menyebut serbuan budaya ini dalam jangka panjang bisa lebih berbahaya ketimbang fanatisme agama dan pesona laten komunisme.
Seluruhnya bergerak di wilayah simbolis, kekerasan simbolis. ‘Penjajahannya tidak terasa’ bahkan boleh jadi diterima dengan senang hati karena secara sempurna menawarkan kegembiraan yang tuntas. Itulah yang dikatakan sebagai ‘hegemoni’ oleh Gramsci. “Jati kasilih ku junti” dalam kearifan lokal etnik Sunda.
Dari semua media itu, yang paling kentara adalah televisi. Kotak ajaib (ada juga yang menyebutnya ‘kotak
stupid’) saat ini telah menjadi imam kita. Konsep diri kita sesungguhnya didefinisikan layar kaca. Layar televisi menjadi potret seluruh sejarah pengalaman kita dan sekonyong-konyong televisi sedang menonton kita. Itu serupa dengan metafora yang dibuat Jean Baudrillad.
Televisi tentu tidak beragama, tidak memiliki KTP, tidak juga mengenal gender, bebas nilai. Apa pun yang ditayangkan, yang penting memenuhi hasrat pasar yang diketahui lewat sabda rating.
Budaya PopulerDi dalam televisi budaya populer menemukan habitatnya, memerankan dirinya dihadapan audiens yang nyaris tidak ada lagi yang bisa bersikap kritis (apalagi dalam konteks budaya kita yang tradisi bacanya belum tumbuh, tiba-tiba dipaksa melakukan lompatan dengan memasuki tradisi menonton). Maka, sempurnalah keterpurukan kita. Bukankah dengan berhenti membaca berarti berhenti berpikir. Sebuah tragedi dalam infrastruktur kognitif bangsa ketika Perpustakaan Nasional menduga hanya 1% (dari 250 juta) yang rajin mengunjungi perpustakaan.
Akhirnya, terjadilah defisit nalar, namun surplus kebodohan. Ujungnya, semua menjadi serba tanggung. Di ruang remang-remang seperti ini, kekerasan simbolis dengan mudah menyebar dan beranak-pinak. Ketika tayangan televisi sudah menganeksasi layar bawah sadar kita dan akhirnya menjadi limbo yang tak bermakna, maka budaya, perilaku, sikap, dan keinginan menjadi berwajah homogen yang bergantung pada ‘tokoh’ yang menjadi rujukannya di layar kaca, baik ‘tokoh lokal’ ataupun ‘tokoh luar’.
Di televisi, semua tayangan bermuara pada pusaran
pop culture. Kita catat saja beberapa contoh. (1) Perempuan (dan laki-laki) hadir lebih didominasi tubuh, bukan akal budi baik dalam sinetron, entertainment, terlebih lagi iklan. Stereotipnya body and beauty, bukan
brain.
Feminist Media Studies, seperti dikutip I Subandi Ibrahim (2007), menyebutnya sebagai display yang sengaja diperlihatkan dengan nawaitu untuk dilihat khalayak (laki-laki). Media cetak menyebutnya dengan ‘jurnalisme lheeer’.
Dengan cara seperti itu, makna kefemininan dan maskulinitas secara ontologis dipertaruhkan, minimal dipertanyakan kembali. Kita bahkan ditahbiskan sebagai pengunduh (
downloader) dan pengunggah (
uploader) situs porno peringkat 1 di dunia, padahal pertengahan Januari lalu Indonesia masih menduduki urutan ketiga setelah China dan Turki.
Itu juga barangkali yang menjadi alasan utama SBY membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antipornografi. DPR kita sibuk mengurus rok mini. Di lain sisi, dengan sangat telanjang pikiran kotor dan korup yang ada dalam kepala kita tidak pernah disensor (bukankah korupsi jauh lebih keji ketimbang rok mini?).
(2) Sosial-politik. Ketika aspek ini diangkat ke televisi, nyaris tidak kita temukan pendidikan politik yang mencerahkan kecuali hanya menyisakan drama kekerasan opini, bahkan minggu kemarin ILC dengan primitif tidak mempertontonkan ‘kekuatan logika’, tapi ‘logika kekuatan’ antara penasihat hukum dan aktivis partai. Tayangan politik di media menjadi sebuah drama untuk membangun citra.
Televisi dalam konteks ini menjadi media yang menyembunyikan agenda tirani (
hidden tyranny) sekaligus, kata Hannah Arendt, ruang untuk mempraktikkan kejemawaan akal bulus hasrat berkuasa dengan memproduksi tayangan dan komunikasi yang tidak real. Tempat sikap dan tindakan politik yang belum tentu secara objektif memiliki korespondensi dengan hajat dan kebenaran publik mendapatkan panggung yang meriah dan gempita.
Saat ini kita sering (dipaksa tanpa sadar) melihat televisi berulang kali yang menayangkan argumentasi primitif ketua DPR(D) yang tidak lebih cerdas daripada rakyat yang diwakili. Barangkali betul apa yang disebut Nietzsche bahwa dunia (televisi) menjadi saluran strategis dari auman kerumunan politisi yang lebih mengerikan daripada monster sekalipun. Kebenaran politik dan kebudayaan tidak diacukan lagi kepada alur akal (Descartes), roh (Hegel), ada transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis (Nietzsche), phallogocentrism (Freud), tapi justru kepada ketamakan dan nafsu merasa paling benar sendiri.
(3) Agama. Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah spiritualitas. Agama menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar ilahiahnya. Maka pada gilirannya, yang mencuat ke permukaan ialah sengketa memperebutkan simbol, memburu identitas dianggap lebih penting ketimbang melakukan penghayatan yang tuntas.
Bagaimana kita harus membubuhkan autentisitas makna dari perilaku selebritas yang hari ini sekujur tubuhnya tertutup jilbab, tiga hari kemudian ‘merayakan kebebasan’ sebebas-bebasnya (jilbab dalam konteks budaya populer tidak ada kaitannya dengan kesadaran religi, tapi semata diacukan kepada haluan mode, dan kekhawatiran tidak laku kalau tetap memerankan imaji bintang film bom seks, akurasi membaca keinginan audiens yang pada akhirnya memosisikan busana sebagai ‘identitas’ sekaligus ‘kapitalisasi’). Termasuk, kesulitan menelusuri genealogi religiositas ustadz pop (ustadz solmed) yang sudah kehilangan hakikat makna semantiknya ketika yang diwartakan mobil
Alphard, merek sepatu, parfum, selera berbelanja, ‘pacaran islaminya’ dan hal lainnya yang bagi kiai di pelosok adalah sesuatu yang megah bahkan bisa jadi ‘tak terpikirkan’.
Alhasil, interupsi atas gelombang dahsyat budaya populer yang menumpang globalisasi melalui berbagai media melakukan
counter culture atas fenomena yang mendangkalkan muruah kemanusiaan yang harus tetap dinyalakan jika kita semua tidak ingin celaka.
Budaya lokal dan kearifan perenial juga memiliki fungsi yang strategis untuk tugas profetik seperti ini.
Asep Salahudin,
Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, TasikmalayaHarian
MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2012