Kehidupan rakyat sudah sangat berat sejak abad ke-18 ketika mereka dibebani kewajiban kerja paksa dan membayar upeti kepada para ngabehi. Lebih dari itu, di kawasan daerah makmur di Banyumas selatan, khususnya di sekitar pasar utama Jeruk Legi, rakyat hidup di bawah ancaman menakutkan. Desa-desa mereka selalu dijarah-rayah oleh para perompak dari Bali, Bugis, dan Timor.
Para perompak itu juga menangkap warga desa untuk dikerjapaksakan sebagai awak kapal perompak atau dijual kepada para kapten kapal Inggris di Malaka. Kehidupan desa itu pun tak pernah betul-betul pulih kembali selama belasan tahun kemudian. Dari 12 desa yang penghuninya mencapai 13.000 jiwa itu, hanya tinggal tiga desa yang tetap berpenghuni. Akibat serbuan perompak tersebut, desa itu tak pernah betul-betul pulih kembali. Sejak saat itu dua sersan Hungaria ditempatkan di Nusa Kambangan untuk memberi peringatan tentang adanya serangan para perompak.
Kita diberi kesan, datangnya “perlindungan” pemerintah jajahan itu membuat rakyat menjadi lebih aman karena para perompak tak ada yang datang lagi. Itu gambaran pemikiran kaum penguasa, yang harus memaksimalkan arti dari apa yang telah dilakukannya. Tapi rakyat berpikir lain. Mereka melihat persoalan lebih tajam, lebih jernih: terang saja para perompak tak menjarah rayah desa-desa mereka lagi. Tapi harus dicatat, hal itu bukan terutama karena perlindungan penguasa telah membuat mereka ketakutan, melainkan karena di desa itu memang sudah tak ada lagi barang yang bisa dirampas dengan kekerasan.
Itu catatan sejarawan Peter Carey di dalam buku Kuasa Ramalan yang memfokuskan diri pada Perang Jawa, yang juga dikenang sebagai Pemberontakan Pangeran Diponegoro. Sejarawan itu mengutip pendapat Baker, sebagaimana dapat kita cek kembali dalam buku tersebut di halaman 24. Para budak nafsu yang jahat itu tentu saja sudah mati, tapi penjahat lain yang juga merupakan budak nafsu yang baru telah dilahirkan lagi di dunia ini. Dengan begitu, corak kehidupan seolah tak berubah.
Dan pengetahuan sementara itu tak ada hubungannya dengan tindakan perlindungan terhadap rakyat. Memang betul, sekarang ini para perompak dari Bali, Bugis, Timor tidak lagi menjarah desa-desa lewat jalan laut atau selat atau sungai. Perompak yang dulu berasal hanya dari tiga daerah itu sekarang bertambah banyak. Mereka datang dari etnik mana pun. Dan penjarahan bukan dilakukan di desa-desa, yang sudah tak memiliki apa pun yang pantas dijarah, melainkan di kota, di Senayan, lewat penjarah baru yang status politik resminya mentereng, gagah, dan sah secara hukum, sah secara politik.
Selebihnya penjarah macam itu juga terdapat di jajaran eksekutif. Mereka ahli memainkan peran menjarah rakyat, namun demikian, tak jarang orang-orang ahli ini masih harus bekerja sama dengan kubu Senayan. Mereka berbagi wilayah jarahan dan berbagi tanggung jawab, terutama jika salah satu di antara mereka tertangkap. Tanggung jawab? Ya, mereka yang tertangkap harus dilindungi.
Harus ada kekuatan pendukung yang menyatakan bahwa penjarah yang tertangkap itu bukan penjarah, melainkan orang suci, keturunan rohaniwan, ada hubungan —darah maupun perkawinan— dengan para ahli surga yang “maksum”, yang tak tersentuh dosa. Pernyataan macam itu harus diteriakkan para pendukung setia dan dia sendiri juga harus berani bersumpah, siap digantung, siap diapakan saja kalau terbukti menjarah. Politik harus tangkas mengubah kebusukan menjadi sejenis aroma terapi. Pendek kata mereka itu profesional. Mereka ahli membalikkan fakta, ahli memanipulasi apa saja, termasuk kitab suci, selama masih ada lowongan manipulasi.
Orang-orang itu ibarat pemburu berdarah dingin yang menyandang bedil, bukan untuk memburu binatang buas di rimba raya, melainkan memburu binatang piaraan yang jinak dan tak berdaya. Dengan sendirinya, yang dimaksud buruan jinak tak berdaya itu rakyat. Dan benar, yang namanya rakyat itu memang sudah tak berdaya sejak lama. Mereka, rupanya, sudah dikebiri oleh birokrasi dan para penguasa yang lebih suka melindungi diri sendiri daripada melindungi orang banyak yang bernama rakyat tadi.
Demokratis? Apa gunanya demokratis dalam percaturan politik yang dampak ekonominya nyata-nyata menekan rakyat macam ini? Hanya kedunguan politik tanpa kesadaran moral yang menilai hal itu berguna. Apanya yang berguna kalau harga BBM jadi naik atau tidak, efek ekonominya tetap berat bagi rakyat? Siapa yang tak tahu bahwa diskursus politik kaum elite ini betul-betul sudah membikin harga semua jenis barang telanjur naik dan bahwa kehidupan ekonomi rakyat makin terhimpit? Politisi macam apa mereka bila tak sensitif memahami perkara sederhana ini?
Dari abad ke abad, raja-raja di Jakarta boleh datang dan pergi. Parlemen boleh mengganti anggotanya kapan saja.Tapi kemiskinan rakyat tak pernah pergi dan tak ada pihak yang mampu dan mau membikin kondisi kehidupan macam itu berganti menjadi lebih baik. Dari abad ke abad, hingga hari ini, rakyat dibiarkan hidup tanpa pelindung, tanpa pembela. Dari hari ke hari rakyat seperti pengemis jalanan yang makin sadar bahwa mereka tak punya pemerintah.
Tapi sementara itu mereka tahu, anggaran besar yang dikuasai orang Senayan dan jajaran pemerintahan ibaratnya langsung dijarah-rayah di antara sesama mereka sendiri. Dan kelihatannya tak ada yang betul-betul menaruh rasa peduli terhadap kebusukan ini. Dari abad ke abad, rakyat tak terurus, tertekan, dan melarat, serta tetap menjadi bulan-bulanan.
M Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
Koran SINDO, 2 April 2012
No comments:
Post a Comment