Sunday, June 1, 2014

Mencari yang Terbaik

Pasukan Hitler berbaris memasuki kota-kota besar di Eropa pada dekade perang tahun 1940-an (kiri). Pemikir dan filosof Walter Benjamin (kanan).

Membuka kembali lembaran masa lalu yang sarat pengalaman pahit adalah tentatif. Padahal fragmen-fragmen sejarah, memang seharusnya disimpan rapi dalam ingatan dan tidak dihapuskan begitu saja. Ingatan kolektif yang kemudian terbentuk bisa menjadi landasan bagi semua pihak untuk mengambil keputusan sehingga pengalaman pahit masa lalu tidak terulang kembali dan ketidakadilan tidak menjadi abadi. Sejarah adalah titik tolak untuk melangkah ke depan.

Refleksi ini, antara lain, disampaikan pemikir Walter Benjamin (1968) dengan merujuk pada pengalaman pahit ketika menjadi korban kekerasan selama perang berkecamuk di Eropa pada dekade 1940-an.

Untuk konteks Indonesia, refleksi itu selalu relevan, karena sejarah kita penuh dengan cerita kekerasan dan tragedi. Namun, kebenaran tentang kekerasan dan tragedi itu banyak yang masih menjadi misteri.

Refleksi itu juga selalu relevan karena dalam perjalanan bangsa, kita sering menghadapi situasi di mana sebagian orang berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Pada sisi lain, entah mempunyai watak dasar pemaaf atau pelupa, masyarakat kita juga begitu mudah berdamai dengan masa lalu, memaafkan para pelaku dan melupakan kesalahannya.


Pencapresan Prabowo
Pencalonan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto sebagai presiden niscaya akan dikaitkan dengan apa yang telah terjadi menjelang reformasi tahun 1998, ketika sejumlah aktivis diculik, diinterogasi, disiksa, dan sebagian tidak pernah kembali.

Belum jelas dan tegas benar bagaimana dan sejauh mana keterlibatan Prabowo dalam “proyek” kekerasan terhadap para aktivis pro-demokrasi itu. Namun karena pasukan yang dipimpinnya terindikasi terlibat, beberapa pihak meyakini peran Prabowo. Kedatangan orang-orang Prabowo kepada orangtua korban penculikan, beberapa waktu lalu, seolah-olah menegaskan hal itu.

Ingatan dan kontroversi tentang penculikan para aktivis selalu menghantui kiprah figur politik seperti Prabowo. Akan lebih mudah bagi masyarakat, juga mungkin bagi Prabowo, jika lembaga yudikatif, Komnas HAM, dan pemerintah berhasil membuat keputusan resmi yang menegaskan posisi Prabowo dalam tragedi itu, dan mengakhiri spekulasi yang berkembang.

Ingatan akan masa lalu itu menjadi penting dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Kita tentu tidak ingin bangsa Indonesia sekadar asal mencoblos pada pilpres nanti, tetapi benar-benar mencoblos demi hadirnya pemimpin yang berkualitas.

Jenderal AH Nasution (kiri) dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto (kanan).

Legitimasi politik pilpres antara lain ditentukan oleh sejauh mana warga negara mengetahui benar rekam jejak dan masa lalu calon pemimpin mereka. Dengan demikian, warga negara akan memilih pemimpin mereka secara rasional, berdasarkan pengetahuannya tentang plus-minus perihal kualitas pemimpin itu.

Dapat dibayangkan betapa rendahnya legitimasi (kualitas) pilpres jika banyak warga negara yang ketika memilih presidennya tanpa tahu benar bagaimana rekam jejak sosok yang dipilihnya. Sungguh tidak bermutu jika jalan menuju panggung kekuasaan tertinggi eksekutif itu diraih dengan modal lupa sejarah (politik) dan politik uang.

Dalam konteks ini, akan lebih baik bagi capres Prabowo secara terbuka dan transparan menjelaskan posisinya dalam tragedi penculikan aktivis pro-demokrasi di senja Orde Baru kala itu. Apa benar dia terlibat, sejauh mana? Jika tidak terlibat, di mana kedudukan dia sebagai komandan pasukan khusus kala itu? Jika dia terlibat, janji-janji apa yang bisa diberikan agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama?

Pada satu titik, kita sebagai bangsa memang harus berdamai dengan masa lalu, memaafkan pelaku sejarah atas kesalahannya. Namun, berdamai dan memaafkan tidak mungkin dimulai dengan lupa sejarah (politik). Berdamai dan memaafkan harus dimulai dengan “ingat” dan pengakuan secara terbuka tentang apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu.

Poster kampanye pemilihan walikota Surakarta, Ir H Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo.

Mengingat janji
Namun, problem lupa sejarah (politik) tidak hanya relevan dibahas dalam konteks pencapresan Prabowo. Pada gradasi dan kadar keseriusan yang berbeda, capres Joko Widodo (Jokowi) juga menghadapi masalah yang sama.

Jokowi mestinya ingat dan tidak boleh lupa akan janji-janji politik yang dia tebarkan kepada warga Jakarta ketika mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Datang ke Jakarta dengan meninggalkan kedudukannya sebagai walikota Solo, Jokowi berjanji untuk membawa Jakarta menuju perubahan dan perbaikan selama 5 tahun. Jokowi menabur harapan, sehingga banyak orang yang terpikat oleh pesona diri dan keseriusannya. Dan oleh karena itulah Jokowi akhirnya mendapat mandat warga Jakarta untuk menjadi gubernur DKI selama 5 tahun.

Dalam konteks ini, tentu tidak cukup jika Jokowi hanya mengajukan cuti untuk nyapres kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selayaknya dan sudah seharusnya, Jokowi meminta izin terlebih dahulu kepada seluruh warga Jakarta dan meminta maaf kepada mereka karena masih banyak meninggalkan hutang pekerjaan, ditambah banyak absen selama proses pencapresan, dan kemungkinan besar tidak akan pernah bisa mewujudkan janji-janji politik yang telah diucapkannya di kala kampanye pilgub saat itu.

Joko Widodo alias Jokowi dalam pakaian budaya wayang wong (wayang orang).

Dari sudut pandang etika politik, pencalonan Jokowi semestinya tidak meninggalkan preseden buruk. Satu jabatan publik (Walikota Solo) telah ditinggalkan begitu saja demi jabatan publik yang lebih tinggi (Gubernur DKI). Namun jabatan publik yang lebih tinggi (Gubernur DKI) ini pun kemudian ditinggalkannya pula dengan alasan demi jabatan publik yang lebih tinggi lagi (calon Presiden RI).

Bagaimanapun, akan lebih baik jika suatu pengabdian dituntaskan lebih dahulu sesuai komitmen janji politiknya kepada rakyat, sebelum beranjak ke pengabdian berikutnya. Kalaupun prinsip ini diabaikan demi untuk mengejar kemaslahatan publik yang lebih besar, seharusnya tidak dilakukan karena alasan lupa janji politik dan lupa sejarah.

Maka, yang dibutuhkan adalah keterbukaan dan kejujuran untuk mengakui kekurangan diri dan kelemahan diri masing-masing capres, dan dengan rendah hati meminta permakluman dari masyarakat.

Agus Sudibyo,
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS, 30 Mei 2014

No comments: