Sunday, June 15, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (1)


Kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim,
Yang Terhormat para Jaksa Penuntut Umum,
Yang Terhormat para Penasihat Hukum,
Para hadirin yang saya hormati,

Assalamu 'alaikum Wr Wb.
Selamat siang,
Salam sejahtera untuk kita sekalian.

Atas perkenan Majelis Hakim, saya berkesempatan untuk menyampaikan Nota Keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disampaikan pada sidang tanggal 30 Mei 2014 yang lalu. Atas itu semua saya sungguh menyampaikan ucapan terimakasih.

Mengawali Nota Keberatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada para penyidik KPK yang telah menjalankan tugasnya sejak tanggal 22 Februari 2013 untuk sangkaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan 28 Februari 2014 untuk sangkaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Setelah bekerja cukup panjang, 25 orang penyidik untuk sangkaan Tipikor dan 24 orang penyidik untuk sangkaan TPPU telah berhasil menyelesaikan tugas dan menyerahkan berkas perkara pada tanggal 8 Mei 2014.

Saya menghargai kerja keras dari tim besar dan jangka waktu kerja yang cukup lama. Saya juga menghargai karena di dalam proses pemeriksaan yang dilakukan untuk saya langsung oleh PLT Direktur Penyidikan dan oleh Ketua Tim Penyidik sangkaan Tipikor. Sungguh ini adalah kehormatan tersendiri buat saya.

Spanduk besar yang terpampang di gedung KPK, "BERANI JUJUR HEBAT!"

Ucapan terimakasih saya sampaikan juga kepada tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin oleh Dr. Yudi Kristiana dan para anggota berjumlah seluruhnya 12 orang yang telah bekerja keras menyusun Surat Dakwaan. Saya tahu tidak mudah menyusun Surat Dakwaan berdasarkan kesaksian dan bukti-bukti yang ada serta penugasan yang diberikan. Tetapi tim JPU telah berhasil menyusun Surat Dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 22 Mei 2014, serta selanjutnya membacakan pada persidangan tanggal 30 Mei 2014. Kerja keras tim JPU haruslah mendapatkan apresiasi yang tinggi.

Terlepas dari ucapan terimakasih dan apresiasi tersebut, ijinkanlah saya untuk menyampaikan pandangan, penilaian dan sikap yang berupa Nota Keberatan terhadap Surat Dakwaan. Apa yang saya sampaikan di dalam Nota Keberatan ini tidak untuk membatalkan ucapan terimakasih dan tidak untuk mengurangi rasa apresiasi, melainkan dengan sungguh-sungguh justru saya ajukan sebagai bentuk kerjasama untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran. Dengan semangat dan motivasi yang sama, saya yakin tim JPU akan sependapat untuk menemukan kebenaran dan keadilan di dalam proses persidangan ini.

Karena itulah Surat Dakwaan perlu dikaji dan diuji dengan jernih, obyektif dan adil berdasarkan kebenaran logika, fakta, bukti, aturan hukum, ilmu dan bahkan kebenaran hati nurani. Surat Dakwaan tidak sepatutnya disusun dan dipertahankan dari logika kewenangan yang diselenggarakan secara absolut. Sekali lagi, semata-mata karena yang harus ditemukan di dalam persidangan ini adalah kebenaran dan keadilan dalam arti yang sesungguh-sungguhnya dan yang sebenar-benarnya.


Saya membaca dengan seksama seluruh rangkaian Surat Dakwaan. Saya juga mendengarkan dengan seksama ketika Surat Dakwaan dibacakan secara bergantian. Tidak ada kata dan kalimat yang terlewatkan. Saya bisa mengerti kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disusun dan dibacakan. Tetapi saya tidak berhasil untuk mengerti dan memahami apa substansinya. Dalam keawaman dan keterbatasan saya di bidang hukum, mohon maaf, saya dengan kesadaran penuh menyatakan tidak berhasil untuk memahami substansi dakwaan dan dalil-dalil yang menjadi penyangganya.

Sebelum saya menguraikan mengapa substansi dakwaan dan dalil-dalil yang menjadi penyangga argumentasinya tidak bisa dimengerti, perkenankan saya untuk sedikit mengingatkan sebagian peristiwa yang menyertai proses hukum terhadap saya ini dan karena itu tidak bisa dipisahkan darinya.

Bahwa pada tanggal 4 Februari 2013, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga Presiden Republik Indonesia, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera mengambil langkah yang konklusif dan tuntas terhadap masalah hukum yang diberitakan terkait dengan saya. Ada kutipan sedikit: "Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita ingin tahu kalau itu tidak salah." Saya ingin ulangi Yang Mulia: "Kalau memang dinyatakan salah, kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kita ingin tahu kalau itu tidak salah." Artinya saya harus bersalah.


Desakan Pak SBY dilakukan menyusul sebuah rilis survei "khusus", untuk tidak menyebut survei pesanan, yang dengan sigap segera disusul oleh pernyataan-pernyataan yang memojokkan saya, termasuk mendesak saya untuk mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD).

Bahwa pada tanggal 7 Februari 2013, Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), Syarief Hasan, menyatakan sudah mengetahui saya ditetapkan sebagai tersangka dan minta ditunggu saja pengumuman resminya. Pernyataan ini disampaikan Syarief Hasan, setelah selesai rapat dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas.

Bahwa pada tanggal 8 Februari 2013, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Pak SBY melakukan pengambilalihan wewenang dan kepemimpinan Partai Demokrat, serta meminta saya untuk fokus menghadapi masalah hukum di KPK, dan Partai Demokrat siap untuk memberikan bantuan hukum. Pada saat itu saya seolah diposisikan sebagai tersangka, baik dalam point penyelamatan partai maupun pembicaraan empat mata yang saya lakukan dengan Ketua Dewan Pembina atau Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Bahwa pada tanggal 9 Februari 2013, Sprindik saya sebagai tersangka, bocor atau dikeluarkan dan menjadi pemberitaan yang luas di media massa. Bocornya Sprindik tersebut kemudian melahirkan Komite Etik yang kemudian memberikan sanksi kepada beberapa Pimpinan KPK.

Bahwa Sprindik yang sekarang berlaku dan digunakan adalah yang terbit pada tanggal 22 Februari 2013, setelah proses penuh drama dan hiruk-pikuk yang secara luas diketahui oleh masyarakat. Yang khusus dalam Sprindik tersebut adalah bahwa sangkaan kepada saya adalah terkait dengan proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, yang hingga disusun dan dibacakan Surat Dakwaan tidak dijelaskan dengan gamblang apa yang disebut dalam frasa “dan atau proyek-proyek lainnya.


Berbagai peristiwa di internal Partai Demokrat dan dinamika di KPK dalam proses penetapan saya sebagai tersangka ini saya angkat kembali agar persidangan ini tidak melupakan konteks proses yang menyertai dimulainya proses hukum yang kemudian membawa saya sampai pada persidangan ini. Bahwa ada proses yang khas, yang tidak seperti biasanya, yang mengiringi proses hukum tersebut. Tentu hal tersebut tidak bisa dinilai sebagai sebuah kebetulan semata.

Karena itu pula, sesungguhnya saya tidak terlalu terkejut ketika pada bagian awal Surat Dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menggambarkan kenyataan. Kutipannya: "Bahwa pada sekitar  tahun 2005, terdakwa keluar dari Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan selanjutnya berkeinginan untuk tampil menjadi Pimpinan Nasional, yaitu sebagai Presiden RI, sehingga memerlukan kendaraan politik dan biaya yang sangat besar." Sebuah permulaan Surat Dakwaan yang diantarkan dengan kalimat imajiner.

Saya tahu bahwa kalimat tersebut berasal dari keterangan saksi, tetapi materi kesaksiannya adalah imajiner, kalau tidak disebut sebagai fitnah semata. Jika sedikit saja mau mengkonfirmasi kesaksian itu dengan logika, ilmu tentang pilpres dan fakta-fakta, sungguh kalimat pembukaan Surat Dakwaan itu sesungguhnya tidak perlu ada.

Oleh sebab permulaan yang imajiner, maka berikutnya adalah sambung-menyambung kalimat imajiner yang lain dan bersumber dari produsen keterangan yang sama. Kutipan: "Dengan kedudukannya sebagai Ketua DPP Bidang Politik, terdakwa mempunyai pengaruh yang besar untuk mengatur proyek-proyek Pemerintah yang bersumber dari APBN. Pengaruh terdakwa menjadi semakin besar setelah terdakwa mencalonkan diri sebagai Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat dan terpilih menjadi Anggota DPR-RI, periode 2009 – 2014, serta ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI." Sungguh ini sambungan kalimat imajiner yang sangat dahsyat pengaruhnya untuk melandasi konstruksi dakwaan lebih lanjut.


Imajinasi selanjutnya adalah kalimat yang menyebut: "Untuk menghimpun dana guna menyiapkan logistik, terdakwa dan M Nazaruddin, bergabung dalam Anugerah Group, yang kemudian berubah menjadi Permai Group, antara lain PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara dan PT Panahatan, dimana terdakwa menjadi Komisaris PT Panahatan." Hal demikian jelas tidak benar. Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi Komisaris PT Panahatan sebelum mundur pada awal tahun 2009. Selama menjadi Komisaris PT Panahatan, saya tidak pernah mendapatkan laporan tentang keadaan perusahaan dan tidak pernah memperoleh manfaat apapun dari perusahaan tersebut.

Apalagi ketika disebut bahwa saya membentuk kantong-kantong dana yang bersumber dari proyek Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang (Proyek Kemendiknas dan Kemenpora), Munadi Herlambang (Proyek Pemerintah di bidang Konstruksi dan BUMN), dan Mahfud Suroso (Proyek Universitas, gedung Pajak dan Hambalang), hal tersebut tidak berbasiskan data yang benar. Belum lagi disebutkan pula bahwa dalam pengurusan proyek yang dilakukan terdakwa melalui Permai Group, terdakwa mendapatkan fee antara 7 - 22 persen yang disimpan di dalam brankas Permai Group. Mengkaitkan saya dengan fee Permai Group dan brankas-nya adalah spekulasi yang jauh dari kenyataan.

Disebutkan pula bahwa setelah saya menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat, saya keluar dari Permai Group dan bahwa selanjutnya dalam pengurusan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai APBN/APBNP 2010 dari Kemenpora dan Kemendiknas, saya berkoordinasi dengan M Nazaruddin dan Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat. Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak pernah berkoordinasi dengan M Nazaruddin dan Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat untuk mengurus proyek-proyek mitra kerja. Misalnya tuduhan bahwa saya pernah bertemu dengan M Nazaruddin, Mahfud Suroso dan Wafid Muharram di Chatter Box Plaza Senyan untuk membahas proyek Hambalang adalah cerita fiktif belaka.


Demikian pula tentang tuduhan kepada saya yang memerintahkan Ignatius Mulyono, untuk menanyakan pengurusan sertifikat tanah Hambalang ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah keterangan pelintiran. Yang terjadi adalah permintaan M Nazaruddin kepada Ignatius Mulyono, sebagaimana perintah M Nazaruddin kepada Mindo Rosalina Manulang, untuk mengurus sertifikat tanah Hambalang ke BPN yang sudah disampaikan pada persidangan-persidangan terdakwa yang lain. Amat jelas hal ini terkait dengan keinginan M Nazarddin untuk mendapatkan proyek Hambalang, dan bahkan sudah mengeluarkan dana untuk kepentingan itu.

Adalah fiktif belaka, tuduhan bahwa saya meminta M Nazaruddin untuk mundur dari proyek Hambalang. Saya tak pernah meminta siapapun untuk maju atau mundur di proyek Hambalang dan proyek-proyek manapun juga, karena itu bukan menjadi perhatian dan pekerjaan saya.

Jika benar saya meminta M Nazaruddin mundur dari proyek Hambalang dan kemudian M Nazaruddin setuju, tentu M Nazaruddin tidak marah-marah kepada Mindo Rosalina Manulang karena telah gagal mendapatkan proyek Hambalang dan kemudian meminta uang yang telah dikeluarkan Permai Group agar dikembalikan. Kesaksian Mindo Rosalina Manulang pada beberapa persidangan terdakwa yang lain, jelas menyebutkan bahwa M Nazaruddin marah-marah dan meminta uangnya dikembalikan karena mendapatkan informasi tidak mendapatkan proyek tersebut.

(Bersambung)

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

No comments: