Friday, June 20, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (4)


Tentang Aset-aset yang Didakwakan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Adalah tidak benar kalau disebutkan bahwa saya membeli tanah dan bangunan seluas 693 m2, di Jalan Teluk Semangka, Blok C-9, No. 1, Durensawit, Jakarta Timur, melalui Nurachmad Rusdam. Aset tersebut saya beli dan langsung atas nama saya. Saudara Nurachmad Rusdam hanya membantu teknis proses pembelian. Yang bersangkutan adalah orang yang saya percaya untuk membantu proses pembelian dari penjual, saudari Rany Sari Kurniasih. Amat jelas perbedaan antara membeli melalui Nurachmad Rusdam dengan membeli yang secara teknis diurus oleh Nurachmad Rusdam.

Adalah juga tidak benar, jika disebutkan bahwa dana untuk membeli aset tersebut adalah berasal dari sisa dana hasil Kongres, atau dari Permai Group, atau dari apa yang disebut sebagai kantong-kantong dana yang diperoleh selama saya menjadi Anggota DPR.

Apalagi tidak dijelaskan apa yang disebut sebagai kantong dana, bagaimana kantong itu diisi, isinya berapa, isinya dari mana, kapan diisi, siapa yang mengisi, apa isinya, siapa yang memegang kantong dana dan bagaimana kantong-kantong dana tersebut bisa menjadi aset berupa tanah dan bangunan yang saya sungguh-sungguh beli dengan cara yang sah, serta sumber dana yang halal dan tidak melanggar ketentuan hukum.


Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, saya memang tidak mendapatkan gaji dari partai, tetapi bukan berarti tidak mempunyai penghasilan. Adalah naif menilai seorang Ketua Umum Partai Demokrat tidak mempunyai penghasilan dan kemudian mengaitkan pembelian aset pada tanggal 16 Nopember 2010, setelah saya berhenti dari DPR akhir Juli 2010, dengan jumlah gaji dan tunjangan saya selama menjadi Anggota DPR. Perlu digarisbawahi bahwa aset tersebut saya beli pada saat sudah berhenti dari Anggota DPR dan sudah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dari penghasilan yang tidak ada kaitannya dengan posisi saya sebagai Anggota DPR.

Sementara itu aset-aset yang lain yang didakwakan sebagai aset saya, yang disebutkan diatasnamakan pihak lain, baik mertua saya, Attabik Ali, maupun kakak ipar saya, Dinazad, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tidak pernah saya membeli aset sebagaimana yang disebut di dalam dakwaan. Aset-aset tersebut tidak ada kaitannya dengan saya dan tidak dibeli dari uang yang berasal dari saya.

Tanah yang dibeli mertua saya, Attabik Ali, di Jalan Selat Makassar, Durensawit, Jakarta Timur, adalah asetnya sendiri dan dimaksudkan untuk posko kegiatan alumni Pesantren Krapyak di Jakarta. Lokasinya bersebelahan persis dengan aset tanah dan bangunan yang saya miliki. Apakah karena bersebelahan persis lalu layak dituduh sebagai penyamaran aset?

Perlu diketahui bahwa jauh pada tahun-tahun sebelumnya, mertua saya juga membeli tanah di wilayah Depok untuk rencana pengembangan pesantren di Jabodetabek. Adalah bukan hal baru kalau mertua saya mempunyai kemampuan untuk membeli aset-aset yang diorientasikan bagi kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi.

Beberapa aset milik Anas Urbaningrum dan keluarganya yang di sita KPK.

Terhadap tanah yang ada di Yogyakarta, baik tanah mertua saya, Attabik Ali dan kakak ipar saya, Dinazad, yang disebut sebagai bagian dari TPPU, adalah sangat mengejutkan dan sekaligus menyakitkan. Terhadap dakwaan aset saya di Durensawit, yang disebut bagian dari TPPU saja, sangat mengagetkan dan mengejutkan. Apalagi aset-aset yang bukan milik saya dan berada di Yogyakarta, yang saya tidak tahu proses pembeliannya.

Yang saya tahu, adalah informasi umum bahwa tanah tersebut dibeli dalam rangka pengembangan pesantren dan bahkan ada yang sudah didirikan fasilitas pesantren. Adalah terlalu memaksa, mengkaitkan aset mertua saya dan kakak ipar saya yang disebutkan dibeli 20 Juli 2011, 29 Februari 2012 dan 30 Maret 2013, dengan apa yang disebut sebagai sisa dana Kongres Partai Demokrat, Mei 2010, dan kantong-kantong dana.

Bahkan di dalam dakwaan sendiri, terlihat keragu-raguan ketika disebutkan bahwa uang sebesar Rp. 20.880.100.000,- atau sekurang-kurangnya sejumlah tersebut yang digunakan oleh terdakwa untuk membelanjakan dan membayarkan pembelian tanah dan bangunan tersebut, patut diduga sebagai hasil Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bagaimana status patut diduga, digunakan sebagai dasar untuk menyita aset dan mendakwa sebagai TPPU?


Sementara terhadap dakwaan pencucian uang yang terkait dengan Ijin Usaha Pertambangan atas nama PT Arena Kota Jaya di Kutai Timur, yang diperoleh tanggal 26 Maret 2010, yang disebutkan atas perintah M Nazaruddin, agar Permai Group mengeluarkan dana sebesar Rp. 3.000.000.000,- adalah tidak terkait dengan saya. Aset tersebut juga bukan milik saya. Saya juga tidak tahu aset tersebut diurus dengan dana dari mana dan apakah terkait dengan hasil tindak pidana korupsi atau tidak.

Saya tidak tahu dasar apa yang digunakan untuk menyebut aset itu sebagai TPPU yang saya lakukan? Mengapa bukan TPPU oleh M Nazaruddin, yang jelas-jelas disebutkan peran dan perbuatannya di dalam Surat Dakwaan?

Jika hal tersebut dipaksakan kepada saya untuk dikaitkan dengan saya, dan saya dikaitkan dengan Permai Group, maka akan menjadi adil dan benar jika seluruh aset Permai Group disita dan didakwakan sebagai TPPU kepada M Nazaruddin dan siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap aset-asetnya.

(Bersambung)

Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

No comments: