Monday, June 16, 2014

Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum (2)


Tentang Penerimaan-penerimaan
1. Kepada saya didakwakan menerima Rp. 2.010.000.000,- dari PT Adhi Karya untuk pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat. Uang tersebut diserahkan Teuku Bagus Mohammad Noor, kepada Munadi Herlambang, Indradjaja Manopol dan Ketut Darmawan atas permintaan Muchayat.

Saya ingin sampaikan pada persidangan yang mulia ini. Saya tidak pernah menerima uang dari PT Adhi Karya, tidak pernah meminta uang kepada PT Adhi Karya, tidak pernah menyuruh seseorang untuk meminta atau menerima uang dari PT Adhi Karya dalam rangka pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat atau untuk kepentingan yang lain. Apalagi disebutkan bahwa itu adalah atas permintaan Muchayat. Kalau benar ada seseorang yang meminta, menjadi aneh kalau hal itu dikaitkan dengan saya. Apalagi jika itu tidak benar. Jelas saya tidak dalam posisi untuk meminta atau menyuruh Muchayat untuk meminta dana dari pihak manapun juga, termasuk PT Adhi Karya.

2. Kepada saya didakwakan menerima dari M Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp. 84.515.650.000,- dan USD $ 36.070,- untuk keperluan persiapan Pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat. Jika benar asumsinya, Permai Group adalah kantong dana saya, maka tidak ada yang salah dengan seseorang yang mengambil dana dari kantongnya sendiri. Ada kontradiksi yang serius di dalam dakwaan ini.


Perlu saya jelaskan bahwa:
a. Tidak ada Posko Khusus untuk Relawan Kongres. Pertemuan atau rapat dilakukan berpindah-pindah, tergantung kondisi dan kesempatan. Salah satunya adalah tempat yang dipunyai oleh M Nazaruddin yang kadangkala dipergunakan untuk pertemuan. Nazaruddin menggunakan tempatnya tersebut (Apartemen Senayan City) juga untuk urusan dan kegiatannya sendiri.

b. Pertemuan dengan 513 DPC pada bulan Januari 2010 di Apartemen Senayan City. Pertemuan dengan 430 DPC pada akhir bulan Februari 2010. Pada 2 pertemuan tersebut didakwakan menghabiskan dana 7 milyar rupiah dan 7 milyar rupiah untuk uang saku, uang operasional dan entertainment. Adalah tidak masuk akal ada apartemen dengan kapasitas maksimal 15 orang bisa mengumpulkan sebanyak ratusan orang. Untuk bertemu dengan 150 orang saja, harus dilakukan 15 kali pertemuan. Jika pada bulan Januari ada pertemuan dengan 513 DPC dan Februari dengan 430 DPC, berapa jumlah DPC di seluruh Indonesia? Apakah jumlahnya DPC 513 ditambah 430 berarti 943 DPC?

Perlu kami sampaikan bahwa peserta kongres adalah 530 peserta. Terdiri dari 1 Dewan Pimpinan Pusat, 33 Dewan Pimpinan Daerah dan 496 Dewan Pimpinan Cabang. Jadi kalau ada DPC jumlahnya 513, apalagi 943, tentu data yang disebutkan itu adalah data yang tidak valid.


c. Disebutkan pula bahwa pada 28 Maret 2010 diadakan tandingan Deklarasi Andi Alfian Mallarangeng (AAM) dengan mengumpulkan 446 DPC ditambah dengan 136 DPC yang sebelumnya hadir diacara Deklarasi AAM. Berarti jumlah DPC yang hadir adalah 446 + 136 = 582 DPC. Belum lagi DPC yang tidak hadir. Lalu berapa jumlah DPC seluruhnya? Disebutkan biaya secara gelondongan yang dikeluarkan kurang lebih 11 milyar rupiah.

d. Disebutkan pula bahwa biaya untuk roadshow ke daerah-daerah (tidak disebutkan dengan jelas di daerah mana saja), dan bertemu dengan berapa DPC. Hanya disebutkan secara imajiner bahwa setiap roadshow diberikan uang saku kepada masing-masing DPC, 20 juta rupiah, korwil masing-masing 50 juta rupiah, dan entertainment masing-masing 20 juta rupiah. Dengan tidak jelas disebut diperlukan biaya kurang lebih 15 milyar rupiah.

Perlu saya sampaikan pada persidangan yang mulia ini, bahwa pertemuan dengan DPC-DPC, baik yang di Jakarta maupun di daerah-daerah yang sempat saya lakukan sebagai bakal Calon Ketua Umum, tidak sampai dengan 300 Dewan Pimpinan Cabang, baik yang di Jakarta maupun di daerah-daerah. Kalau berdasarkan Surat Dakwaan ini lebih dari 1.000 DPC yang sudah saya temui untuk dalam rangka pencalonan saya dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.

e. Disebutkan pula, Deklarasi pencalonan saya di Hotel Sultan dihadiri 460 DPC, diberikan uang saku masing-masing 20 juta rupiah, 37 koordinator masing-masing 50 juta dan entertainment masing-masing 25 juta rupiah. Ditambah biaya Siaran Live Metro TV, 2 milyar rupiah dan siaran di TV-One dan RCTI sebesar 4,5 milyar rupiah. Total menghabiskan dana kurang lebih 20 milyar rupiah. Tidak jelas DPC mana, koordinatornya siapa dan sebagainya. Disebutkan saja secara gelondongan bahwa biayanya kurang lebih 20 milyar rupiah. Tanpa perincian yang jelas dan sebagainya.

f. Begitu pula dengan biaya-biaya yang lain, seperti EO (Event Organizer), pembelian handphone, pembuatan iklan, komunikasi media dan lain-lain disebutkan dengan angka-angka gelondongan yang tidak jelas perinciannya.

Nazaruddin (Bendahara), Anas (Ketua Umum) dan Ibas (Sekretaris Jenderal), duduk sebaris ketika masih aktif sebagai politikus Partai Demokrat.

3. Kepada saya didakwakan menerima uang dari M Nazaruddin (Permai Group) sebesar 30 milyar rupiah dan USD, 5.225.000, untuk keperluan pelaksanaan pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat. Dalam kaitan itu disebutkan bahwa saya memerintahkan M Nazaruddin / M Rahmad untuk menyewa 100 kamar transit, memerintahkan untuk memberikan uang saku sebesar USD 2.000 kepada 490 DPC, hampir 100 persen jumlah DPC, sebelum berangkat ke Bandung, sehingga totalnya mencapai USD 980.000. Sesuatu yang datanya tidak jelas.

Demikian juga ketika Kongres sudah dimulai. Didakwakan bahwa masing-masing DPC mendapatkan 30 juta rupiah dan 37 koordinator masing-masing mendapatkan 100 juta rupiah. Pada hari berikutnya, ada 315 DPC mendapatkan USD 5.000 dan kembali lagi USD 5000, pada hari berikutnya, yaitu pada tanggal 22 dan 23 Mei 2010. Demikian pula pada putaran kedua untuk memperebutkan 73 suara DPC dan koordinator diberikan USD, 10 ribu - USD 30 ribu. Dengan demikian jumlahnya adalah 18 milyar rupiah, ditambah USD 1.575.000, ditambah USD 1.575.000 dan ditambah USD 2.300.000.

Semua hal tersebut tidak jelas, kabur dan tidak berdasarkan data yang benar. Jumlah DPC-nya juga berubah-ubah dan tak disebutkan identitasnya. Hal yang sama adalah tentang koordinator, baik jumlahnya maupun uang yang disebutkan telah dibagikan pada para koordinator.

Dakwaan tersebut dibantah sendiri pada contoh-contoh DPC yang disebut menerima dana untuk mendukung. Dari 13 nama yang disebutkan, tidak ada satu pun nama yang menerima uang sebagaimana dijelaskan pada penjelasan tentang penerimaan dan pembagian uang pada pelaksanaan pemilihan Ketua Umum PD. Semuanya mempunyai keterangan yang berbeda-beda. Lalu, kalau yang disebut menerima dana sebanyak 490 orang dan kemudian berubah menjadi 315 orang, siapa lagi nama-nama penerima dana dan berapa jumlahnya. Apakah 13 nama dengan keterangan yang berbeda-beda bisa dianggap mewakili 490 orang atau 315 orang? Angka yang juga sangat misterius. Angka 490 atau 315 adalah angka yang misterius. Apalagi selalu disebutkan bahwa semuanya atas perintah saya. Suatu dakwaan yang tidak berdasar.


4. Didakwakan juga kepada saya penerimaan 1 mobil Harrier sebagai tanda jadi proyek Hambalang dari PT Adhi Karya. Bagaimana ada tanda jadi proyek Hambalang pada bulan September 2009 dan mengapa tanda jadi diberikan melalui M Nazaruddin (Anugerah Group) yang tidak mendapatkan proyek tersebut? Mengapa pula mobil yang saya beli sebelum menjadi Anggota DPR dipaksakan untuk menjadi gratifikasi? Apalagi gratifikasi dari proyek Hambalang yang tidak ada urusan dan kaitan dengan saya. Amat jelas bahwa pengantar dakwaan gratifikasi mobil Harrier itu adalah pertemuan di Restoran China Pacific Place, September 2009 yang saya tidak pernah tahu dan apalagi disebutkan hadir. Ada tidaknya pertemuan itu sendiri, saya tidak tahu. Bagaimana pula saya bisa disebutkan hadir dan berbicara di dalam pertemuan tersebut?

5. Ada pula dakwaan yang menyebutkan saya menerima penerimaan-penerimaan lain, seperti fasilitas survei dari LSI dan fasilitas mobil Toyota Vellfire dari PT Astrindo Internasional. Perlu saya sampaikan bahwa saya tidak pernah memesan survei dan berjanji untuk memberikan pekerjaan survei Pilkada kepada PT LSI. Karena itu adalah sesuatu yang dipaksakan jika saudara Denny JA yang membantu saya dengan caranya sendiri dimasukkan ke dalam gratifikasi. Demikian pula dengan mobil Toyota Vellfire yang dipinjamkan oleh seorang sahabat dan saya gunakan setelah saya mundur dari Anggota DPR, didakwakan sebagai gratifikasi. Tentu hal ini adalah upaya hukum yang berlebih-lebihan.

Sementara itu pada dakwaan kedua disebutkan bahwa saya melakukan perbuatan berupa; “membelanjakan atau membayarkan uang sebesar Rp. 20.880.100.000,- untuk pembelian sebidang tanah dan bangunan seluas 693 m2 di Durensawit, di Jalan Selat Makassar Durensawit, 2 bidang tanah seluas 200 m2 dan 7870 m2 di Jalan DI Panjaitan, Yogyakarta, sebidang tanah seluas 280 m2 di Panggungharjo, Sewon, Bantul dan 389 m2 di Desa Panggungharjo, yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu terdakwa (saya) mengetahui atau patut menduga, uang yang dipergunakan adalah sebagai hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan, yaitu dengan cara melakukan pembayaran atas pembelian tanah dan rumah milik terdakwa (saya) tersebut melalui orang lain, serta diatasnamakan dan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.

Bahwa didakwakan pembelian aset-aset yang disebutkan tadi dibeli dari dana yang dihimpun bersama M Nazaruddin dalam rangka mempersiapkan diri menjadi Presiden RI tahun 2014, melalui Permai Group dan kantong-kantong dana yang diperoleh selama saya menjadi anggota DPR, termasuk dana sisa pemenangan Kongres Partai Demokrat di Bandung yang disimpan di brankas Permai Group.

Dakwaan ini memakai metode "otak-atik gathuk" yang sangat spekulatif. Bagaimana muncul dakwaan TPPU atas aset yang saya beli dan aset yang bapak mertua saya beli, hanya berdasarkan metode mengkait-kaitkan dan mengkira-kira? Mengkait-kaitkan dan mengkira-kira adalah cara yang sangat dipaksakan dan berbasis pada prasangka buruk (suudhan). Sesuatu yang sangat dilarang oleh agama dan tidak bisa dibenarkan secara hukum.

Aparat KPK dan Kepolisian ketika usai menggeledah rumah Anas Urbaningrum di Durensawit.

Perlu saya sampaikan bahwa melakukan penyitaan aset dan kemudian mendakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan cara yang spekulatif sangat berbahaya. Aset-aset tidak hanya bernilai ekonomi, melainkan juga mengandung nilai ruhaniah dan martabat seseorang atau lembaga.

Menyita dan kemudian mendakwa secara spekulatif adalah termasuk perbuatan batil, siapapun yang melakukan dan atas nama kewenangan apapun juga. Perbuatan batil tidak sejalan dengan keadilan, malah bersahabat dekat dengan kezaliman.

Aset-aset saya yang disita dan kemudian didakwa sebagai TPPU, adalah aset-aset yang saya beli dari penghasilan yang halal setelah saya berhenti dari Anggota DPR, tidak terkait dengan posisi dan kewenangan saya di DPR dan tidak ada hubungannya dengan M Nazaruddin atau Permai Group. Apalagi aset-aset milik bapak mertua saya, tidak ada hubungannya dengan hal itu semua, termasuk tidak ada hubungannya dengan saya. Jelas berbeda aset-aset saya dengan aset-aset milik mertua saya.

Apalagi aset-aset yang dibeli oleh mertua saya adalah dimaksudkan untuk pengembangan pondok pesantren dan bahkan sebagian yang disita dan didakwakan itu sudah didirikan fasilitas pondok pesantren. Bagaimana bisa aset-aset milik mertua saya untuk pengembangan pesantren yang dibeli karena kemampuannya sendiri didakwakan sebagai milik saya yang disamarkan? Kalau biasanya pondok pesantren mendapatkan bantuan, dalam kasus ini malah aset-asetnya yang dibeli dengan kemampuan sendiri dicurigai, disita dan kemudian didakwa sebagai bagian dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Masalahnya bukan pada aset punya siapa dan ada kaitan dengan pengembangan pesantren atau tidak, tetapi secara hukum adalah pada penyitaan dan dakwaan yang spekulatif, berdasarkan prasangka buruk dan prakiraan-prakiraan yang tidak berdasar. Hal ini sungguh melukai rasa keadilan dan martabat kemanusiaan.


Dalam kaitan dengan tanah, saya teringat dengan terminologi Jawa: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi.” Makna bebasnya adalah bahwa meskipun hanya sejengkal, karena menyangkut kehormatan, tanah harus dipertahankan dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan dalam tradisi Jawa, disebut “ditohi pati,” meskipun nyawa yang menjadi taruhannya. Tentu maksudnya secara hukum.

Dakwaan terakhir, ketiga, adalah membayarkan uang sejumlah 3 milyar rupiah atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut yang berasal dari Permai Group untuk pengurusan ijin usaha pertambangan (IUP) atas nama PT Arena Kota Jaya, seluas kurang lebih 5.000 - 10.000 ha, di Kutai Timur, yang akan digunakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi (TPK).

Disebutkan bahwa ijin usaha pertambangan (IUP) PT Arena Kota Jaya adalah kekayaan milik saya dan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusannya merupakan hasil dari tindak pidana korupsi (TPK). Karena itulah dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Adalah hal yang mengherankan, sesuatu yang tidak saya lakukan, didakwakan sebagai TPPU kepada saya. Aset yang dimaksud bukan milik saya, saya tidak pernah mengurusnya, tidak pernah pula tahu dan memerintahkan seseorang untuk mengurusnya. Mengapa ada dakwaan TPPU kepada saya? Mengapa bukan kepada M Nazaruddin yang di dalam dakwaan itu dengan jelas disebut memerintahkan Yulianis untuk mengeluarkan dana dari Permai Group?

Nazaruddin, Andi Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum, Trio Politikus Partai Demokrat, yang semuanya kini menjadi tahanan KPK.

Perlu saya sampaikan bahwa sekitar sebulan sebelum KPK mengumumkan saya sebagai tersangka TPPU, M Nazaruddin sudah mengumumkan terlebih dulu kepada beberapa tahanan KPK di lantai 9, gedung KPK. Tentu saja bisa dianalisis, apa peran M Nazaruddin untuk menjadikan saya sebagai tersangka TPPU dengan konstruksi yang dipaksakan, baik pada dakwaan kedua maupun dakwaan ketiga.

Secara umum bisa dikatakan bahwa Surat Dakwaan ini telah disusun dengan sebaik-baiknya oleh tim JPU yang handal. Namun demikian, dengan segala hormat saya merasakan bukan sebagai dakwaan dari tim JPU, melainkan lebih terasa sebagai dakwaan dari M Nazaruddin. Baik dakwaan TPK maupun TPPU, saya lebih merasakannya sebagai dakwaan dari M Nazaruddin.

Ibarat penjahit, tim JPU adalah penjahit yang handal dan berpengalaman. Karena itulah, berhasil memproduksi hasil jahitan yang menarik. Akan tetapi karena jenis dan warna kainnya tidak sama, ukuran kanan dan kiri tidak sama, bahan kainnya ada yang asli ada pula yang palsu, ada bahan yang dibeli di toko resmi dan ada juga yang berasal dari selundupan, maka baju yang dihasilkan adalah baju khusus yang hanya menarik untuk dilihat dari jauh. Tidak menarik kalau dilihat dari dekat, apalagi kalau hendak digunakan.

Sekali lagi, bukan karena kekurangan penjahitnya, tetapi kekurangan atau salah yang membeli bahan karena membelinya di toko penampung bahan-bahan palsu dan selundupan. Beruntung penjahitnya sangat handal dan berpengalaman, sehingga tetap bisa menghasilkan baju baru yang dari jauh terlihat menarik, meski bahan-bahan yang asli hanya sebagian kecil saja.

(Bersambung)
Sumber:
Nota Keberatan (Eksepsi) Anas Urbaningrum,
Disampaikan di Pengadilan Tipikor,

Jakarta, 6 Juni 2014

No comments: