Tuesday, March 4, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (8)


Rabu, 15 Januari 2014. Hingga hari ini, Akmal, Nawal, Najih, dan Najma belum bisa ketemu menjenguk saya. Sebaiknya memang tidak usah dulu untuk sementara waktu. Alhamdulillah, mereka diwakili oleh surat masing-masing.

Surat tertutup khusus untuk ayahnya di tahanan. Saya dengar bahkan ibunya pun tidak boleh mengintip apa isi surat-surat itu. Menulis surat adalah perjuangan tersendiri buat anak-anak seusia mereka, terutama Najih dan Najma. Tapi kalau Akmal dan Nawal sudah lumayan kemampuan menulisnya.

Akmal menulis suratnya di selembar kertas merah. Judul depannya “SEPERTI WARNA SURAT INI, ABAH HARUS BERANI!” Isi suratnya meminta saya untuk tetap semangat, tetap tegar, menghadapi apa pun yang terjadi.

Bapaknya harus punya keyakinan yang teguh atas apa pun yang dilakukan orang. Kalau bapaknya tidak apa-apa, Akmal tidak apa-apa. Akmal juga menulis bahwa suratnya adalah pengganti kehadirannya, karena dia tidak bisa menemui dan menemani.

Nawal suka gaya saya ketika datang ke KPK.

Surat Nawal agak berbeda. Di sampul luarnya ditulis “Kalau amplopnya sudah dibuka, tidak boleh diterima. Karena kalau sudah terbuka berarti kurirnya yang salah.” Tersenyum saya membaca tulisan Nawal di amplop surat. Ternyata benar adanya. Surat Nawal ada di dalam amplop rangkap tiga!

Isi suratnya, pada bagian awal menanyakan kabar. Lalu menceritakan bahwa pada tanggal 10 Januari 2014 dia melihat abahnya datang ke KPK. Dia menulis bahwa dia suka gaya saya ketika datang dengan guyonan. Tetapi, protes karena lama menunggu di TV. Nawal menceritakan, ia menunggu berita di TV sambil bikin candaan singkatan: KPK = Komisi Paling Kepo.

Dalam suratnya, Nawal juga protes kenapa kasih hadiah tahun baru ke SBY, tetapi belum ada hadiah untuk Nawal. Sama dengan Akmal, Nawal minta abahnya tetap semangat dan pantang menyerah, sambil terus berdoa dari Yogya.

Tak tega rasanya kalau tidak memberi statement, karena para wartawan sudah menunggu sejak pagi.

Memang, ketika sampai di KPK, saya bikin kelakar ringan. Saya bilang, “Benar informasi yang menyebutkan Anas tidak mau dipanggil KPK. Nama saya Anas, kok dipanggil KPK? Ya, jelas tidak mau. Istri dan anak-anak saya memanggil Abah. Teman-teman ada yang memanggil Mas dan Cak. Jadi, jangan dipanggil KPK,” begitu canda saya.

Mengapa bercanda? Karena, hal-hal yang lebih serius sudah saya sampaikan kepada teman-teman wartawan di Durensawit, sebelum shalat Jumat. Ketika datang ke KPK setelah shalat Jumat, saya merasa tak perlu lagi bikin pernyataan serius. Tetapi, karena wartawan sudah menunggu dari pagi dan jumlahnya sangat banyak, tak tega rasanya kalau tidak memberi statement yang bisa mereka setor ke redaktur masing-masing.

Ya, sudah, bikin guyonan saja, biar ada berita untuk teman-teman wartawan di KPK. Mungkin Akmal dan Nawal menunggu saya lewat berita di TV sama dengan para wartawan yang menunggu sejak pagi.

Surat panggilan memang menyebut jam 10.00 pagi. Tapi karena harus menemui wartawan yang sudah beberapa hari menunggu di Durensawit terlebih dulu, maka saya baru berangkat ke KPK setelah shalat Jumat di Masjid Matraman dan makan siang di Restoran Sederhana, Pasar Rumput, langganan lama yang cukup lama tidak disambangi. Saya bergerak dari Pasar Rumput persis jam 13.30 dan tiba di Gedung KPK sekitar jam 13.45.

Saya bangga, walaupun Najih harus menerima beban tapi dia rela berkorban.

Lain halnya dengan Najih. Isinya singkat saja: “Abah, aku akan support Abah sampai Najih meninggal.” Ditutup dengan, “OK. Cuman ini yang bisa Najih tulis.” Di bawah tertulis: “Your Son, Najih.” Sedangkan Najma lebih singkat lagi: “Abah, semoga berhasil, ya, dan tetap sehat, dari Najma,” lalu ada tanda tangannya. Najih kelas 5 SD dan Najma kelas 3 SD. Suratnya singkat, padat, dan jelas.

Tetapi, Najih punya titipan spesial, yaitu sebuah bantal-guling. Sejak kecil, Najih tak bisa lepas dari bantal-gulingnya. Guling itulah yang dibawa ke mana pun dia pergi, baik ke luar kota atau ke luar negeri. Kalau tanpa guling itu, tidurnya gelisah. Guling itu sejak lama diberi nama “Bambang” untuk menggambarkan kedekatannya dan sudah dianggap semacam “teman”. Hari ini, guling itu diserahkan kepada saya untuk menjadi teman di tahanan.

Saya membayangkan betapa berat dia melepaskan “Bambang”. Tetapi, hari ini, “Bambang” dilepaskan dan diserahkan kepada abahnya. Sungguh saya merasa Najih telah mengorbankan apa yang dianggapnya berharga. Saya pun bertanya-tanya, apakah nanti malam Najih bisa tidur pulas?

Jangan-jangan dia gelisah karena ditinggal “Bambang”-nya. Malah, jadi saya yang gelisah, sambil merasa bangga bahwa Najih rela berkorban. Sudah harus menerima beban, ia masih mau merelakan berpisah dengan “teman tidur”-nya.

(Bersambung)

Sumber:
www.jurnal3.com

No comments: