Sunday, March 9, 2014

Terkikisnya Kesadaran


Hujan kini menjadi monster. Setiap hujan turun, perasaan pun menjadi was-was akan munculnya banjir. Padahal banjir tidak datang tiba-tiba. Banjir datang melalui proses panjang. Para pegiat lingkungan menyebut: banjir itu akibat ulah manusia. Tapi, tetap saja kita hanya memikirkan banjir ketika banjir tiba. Kesadaran kita terhadap “sesuatu” yang menghadang di depan menjadi sangat tipis. Kita baru benar-benar sadar ketika sudah terbentur “sesuatu” itu.

Kalahnya kesadaran, tentu saja, tidak hanya dalam konteks banjir atau bencana. Dalam segala hal, kesadaran kita makin terkikis. Justru yang makin menguat adalah kesadaran terhadap “ke-aku-an” (ego). “Aku” sadar harus berbuat sesuatu demi keuntungan atau kepentingan “aku” sendiri. Kita makin jarang berpikir “aku” sadar harus berbuat sesuatu untuk “mereka” atau “kita” bersama.


Tak sulit untuk mendapat contoh bagaimana orang makin tenggelam dalam dirinya sendiri. Datanglah ke mall (tempat belanja), perhatikanlah orang-orang yang berada di mall itu, baik yang sedang menunggu maupun yang duduk di kafe. Perhatikanlah berapa banyak orang yang sedang berinteraksi dengan orang lain, dan berapa banyak pula yang sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri, entah tenggelam dalam telepon pintar (smartphone), tablet, atau laptop.

Terlepas dari itu, memang ada kenyataan lain yang tak dapat dibantah. Hidup yang padat agenda dan kota yang makin macet mungkin menjadi salah satu penyebab interaksi langsung itu makin menipis. Namun, masalahnya, saat bertatap muka pun, orang lebih suka sibuk sendiri-sendiri. Akibatnya, interaksi yang ada menjadi begitu dingin dan tak mampu membangkitkan emosi tertentu.

Padahal, interaksi sosial semacam itu justru bisa membangunkan kesadaran yang tertidur. Misalnya, ketika seseorang sahabat menceritakan banjir, ada kemungkinan besar kesadaran kita akan terlonjak bahwa banjir itu benar-benar nyata, bukan sekadar peristiwa yang kita tonton di televisi. Sebab, sering kali, apa yang ditayangkan di televisi adalah hiperealitas, yakni sebuah dunia yang melampaui apa yang sesungguhnya terjadi.


Tapi, mengapa kesadaran komunal makin menipis? Barangkali pendapat Ken Wilber, seorang eksponen gerakan psikologi transpersonal di Amerika Serikat, bisa menjadi salah satu jawabannya. Ia mengatakan bahwa kesadaran adalah sesuatu yang tertanam dalam jaringan makna kultural tertentu. Kesadaran tidak hanya berada dalam kepala “aku” (personal) saja, melainkan juga dibentuk oleh kultur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Jadi ketika sebuah kelompok atau entitas makin menjauh dari kesadaran terhadap sesuatu, maka hal itu pun menjadi sikap (pikiran) “aku”.

Dalam konteks bencana, banjir misalnya, ketika secara kultural sedikit sekali atau tidak ada yang peduli secara serius terhadap hal tersebut, maka “aku” pun merasa tidak perlu memikirkannya. Pikiran bawah sadar dengan gampang berbicara: sistem yang seharusnya bekerja saja tidak berjalan dengan baik, buat apa “aku” sibuk memikirkannya?

Lalu, ketika sesuatu terjadi, kita pun ramai-ramai mencari kambing hitam. Bahkan, tak jarang, kita buru-buru melempar tanggung jawab kepada Tuhan. Seolah-olah Tuhan gemar menimpakan bencana kepada manusia.

Dianing Widya,
Novelis
TEMPO.CO, 4 Maret 2014

No comments: