Saturday, March 1, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (6)


Senin, 13 Januari 2014. Jam 03.20, saya bangun. Sekitar sepuluh menit kemudian Amir memanggil dari tempat duduknya. Saya memang berpesan agar dibangunkan jam 03.30 pagi. Mengapa? Selain berusaha dapat jatah waktu shalat malam, hari ini adalah hari Senin. Kalau tidak ada halangan, biasanya Senin-Kamis adalah waktu jeda makan siang hari. Selain melestarikan ajaran puasa Senin-Kamis, ini juga sekaligus usaha mengendalikan berat badan yang terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir ini.

Tawaran sarapan pagi dari kolega (Rudi, Budi, Wawan) saya tolak halus. “Tadi saya mendahului sarapan roti jam empat pagi,” saya menjelaskan.

Tentu mereka paham. Selain memang puasa Senin-Kamis diajarkan, hati kecil saya ingin berat badan saya berangsur turun: untuk kesehatan, untuk efisiensi baju dan celana, dan untuk kepantasan juga. Tidak pantas rasanya kalau berat badan bertambah atau bertahan selama menjadi “santri” Abraham Samad. Jadi, terlalu kuat alasan saya untuk berpuasa Senin-Kamis.

Sesuai jadwal yang disampaikan Kepala Rutan Arifuddin bahwa Senin boleh dijenguk keluarga, maka selesai mandi dan shalat Dluha, saya meminta tolong Damuri, penjaga pengganti Amir, untuk tanya kepada Arifuddin. Saya khawatir keterputusan informasi dan kabar akan membuat keluarga gelisah.


Rudi, Budi, dan Wawan juga bersiap-siap menemui keluarga. Ternyata, yang dibawa Damuri bukan kabar bagus. Kata Kepala Rutan, keluarga belum bisa menjenguk karena belum ada surat dari penyidik. Tentu saja saya agak kecewa. Maka, sabar menjadi makin penting.

Meskipun dilarang bertemu keluarga, informasi harus sampai. Sekurang-kurangnya mengabarkan kondisi kesehatan. Caranya, saya tulis surat pendek buat Tia.

Bagaimana bisa sampai ke tangan Tia? Saya menitipkan surat itu ke Wawan. Pesan saya, kalau bisa nanti Airin Rachmi Diany (istri Wawan) kontak Saan Mustopa, kemudian Saan bisa antar surat itu ke rumah. Hanya jalur itu yang memungkinkan. Jalur keluarga Rudi dan Budi belum ada yang nyambung dengan keluarga atau teman-teman saya.

Ketika tidak punya pilihan karena belum diizinkan bertemu keluarga, yang bisa saya lakukan adalah berdiam di kamar. Pilihan terbaik adalah menambah rakaat shalat Dluha dan saya lanjutkan dengan shalat Tasbih. Tentu saja durasi shalat Tasbih agak panjang. Subhanallah, tak sampai lima menit setelah selesai shalat Tasbih, Damuri kembali masuk dan membawa kabar baik. Kabar apa? Ternyata saya sudah boleh bertemu keluarga dan penasihat hukum.

Anas dan kawan-kawan bercanda dengan Sutan Bhatoegana.

Segera saya ganti kostum. Sarung berganti celana, baju harus dibalut rompi kebesaran tahanan KPK warna oranye. Baju-baju kotor saya siapkan dan sejurus kemudian bergerak ke ruang posko rutan. Pertemuan tidak boleh dilakukan di tempat tahanan-tahanan lain menerima keluarga. Salah satu alasannya karena saya tidak boleh bertemu dengan Andi Mallarangeng. Alasan lain saya tak tahu. Pokoknya tidak boleh.

Alhamdulillah, walau waktu tinggal tersisa 45 menit dari jatah penjengukan, saya bertemu adik saya, Anna Luthfie, dan beberapa pengacara --Firman Wijaya, Handika Wongso, Indra Nathan, dan Marlon Tobing. Yang paling penting adalah mengabarkan secara langsung kondisi saya. Meskipun tidak bersentuhan dengan jatah makanan dari KPK, Alhamdulillah saya tetap sehat, karena ada tiga kawan yang selalu berbagai ketika waktunya makan. Adik saya dan lawyer tanya, dari mana dan makan apa selama tiga hari ini. Saya jawab sambil berkelakar, “Ada kiriman dari malaikat.” Tenang saja di mana-mana ada malaikat.

Saya ceritakan juga peristiwa pemeriksaan dan penahanan hari Jumat silam. Garis besarnya saja, tidak lengkap dengan teperinci. Saya sampaikan juga bahwa sejak Jumat malam saya diisolasi di kamar dan tidak boleh keluar sama sekali. Bahkan untuk ke kamar Rudi, Budi, dan Wawan yang berada dalam blok yang sama, tetap dilarang keras.

Semua penjaga menyampaikan bahwa mereka hanya menjalankan perintah. Bahkan, pintu harus dikunci. Kalau butuh apa-apa bisa memanggil penjaga, semisal minta air panas untuk minum atau urusan lain. Kepada Anas memang ada perlakuan khusus, mungkin dianggap harus diisolasi dan belum boleh bersosialisasi. Saya bilang ke lawyer, tidak perlu dipersoalkan, karena saya ingin menjalani kebijakan isolasi ini secara alamiah saja.


Keluhan saya satu-satunya terhadap kamar tahanan adalah baunya yang pesing dan menyengat. Memang ada bubuk kopi dan arang hitam yang ditaruh untuk melawan bau itu. Tetapi rupanya kekuatan sang bau terlalu perkasa untuk ditundukkan oleh kekuatan bubuk kopi dan arang. Mirip pertarungan antara kekuasaan vs kaum tertindas.

Hal-hal lain di kamar itu tidak ada keluhan, karena harus disadari bahwa yang saya tempati itu adalah kamar tahanan, bukan kamar pribadi, bukan kamar hotel.

Atas hebatnya kekuatan bau tersebut, saya meminta tolong agar Damuri mau membuka pintu kamar. Kalau pintu kamar dibuka, udara yang agak segar bisa masuk sehingga bau tidak terlalu kuat. Karena semua terpantau CCTV, Damuri ditanya kepala rutan. “Kenapa pintu kamar tidak terkunci? Jangan dibuka-buka pintu kamar Anas!” Begitulah pertanyaan dan arahannya. Damuri lantas menjelaskan bahwa kamar saya bau dan saya meminta agar pintu dibuka. Setelah diberi penjelasan itu, Kepala Rutan membolehkan pintu dibuka sedikit. Tetapi, Damuri diperintahkan untuk memastikan agar Anas tidak keluar-keluar dari kamar. Padahal, sama sekali tidak. Bagaimana bisa keluar kamar jika pintu dikunci dari luar? Isolasi adalah isolasi. Tidak masalah untuk saya jalani, meskipun itu hanya khusus untuk Anas.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

No comments: