Thursday, July 26, 2012

Negara yang Membunuh Rakyatnya


Benarkah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya? Kalau bisa, kapankah suatu negara bisa dikategorikan sebagai ‘kriminal’ keji atau pembunuh atas rakyatnya? Dengan modus apakah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya?

Kranenburg, pakar di bidang politik ketatanegaraan dan penganut teori negara kesejahteraan, menyatakan tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraan yang dimaksudkannya itu meliputi berbagai bidang yang luas dengan berlandaskan kesederajatan.

Kalau suatu negara sampai tidak berusaha maksimal menyejahterakan rakyatnya, negara itu layak dikategorikan melakukan kejahatan bertajuk kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), manakala akibat ketidakseriusan atau pengabaiannya itu, banyak rakyat yang kehilangan (tercerabut) hak keberlanjutan hidupnya.

Banyak cara yang dibuat elemen negara untuk membunuh rakyat. Membunuh seseorang atau sejumlah orang dari rakyat tidak selalu dengan cara langsung seperti mencekik atau menusuk dengan senjata. Caranya bisa melalui kebijakan represi yang bercorak dehumanisasi, menghambat dan menyumbat mengalirnya sumber daya strategis bangsa yang bermaksud mengairi (memenuhi) dan menyejahterakan atau menjaga keberlangsungan hidupnya, minimal dari ranah pemenuhan hak pangan atau kebutuhan ekonomi sehari-harinya.


Apologi yang Salah
Di negeri ini, pola pembunuhan rakyat sudah demikian sering dilakukan negara. Memang banyak elemen negara yang menolak atau tidak mau digolongkan sebagai pembunuh warga (rakyat). Mereka berapologi tangan mereka tetap bersih dari lumuran darah rakyat. Mereka bahkan menyebut diri sebagai kelompok strategis yang bertanggung jawab yang sudah menunjukkan perannya sebagai abdi negara yang mengabdi total pada rakyat.

Apologi itu jelas salah karena praktik pengabaian, pembiaran, dan bahkan
pengkleptokrasian yang dilakukan sejumlah elite negara telah mengakibatkan kemiskinan di berbagai pelosok Tanah Air. Mereka menjadi korban ‘pembunuhan’ yang dilakukan elite negara yang bermental serakah atau yang sibuk mengumpulkan dan menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya.

Dalam ulasan tajuk Media Indonesia (7 Juli 2012) disebutkan, kemiskinan punya dampak begitu mengerikan. Tidak hanya bisa memicu manusia menjadi maling demi menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga mampu mendorong seseorang bunuh diri untuk mengakhiri hidup. Misalnya lantaran tak kuasa menahan impitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor. Tragisnya lagi, janda asal Serang itu tidak bunuh diri sendirian, tetapi mengajak mati buah hatinya, Salman yang baru berumur tiga tahun.

Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa membakar diri bersama dua anaknya. Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya, seorang ibu dan empat anaknya di Malang mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera dirinya.

Pemerintah lebih sering atau selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang. Pemerintah memang berhak terpukau oleh angka-angka yang resmi dirilis BPK ini, tetapi fakta menunjukkan kondisi riilnya bersifat paradoksal. Angka-angka tersebut jauh dari mencerminkan fakta yang ada.


Momentum Sakral
Pengabaian, pembiaran, hingga pengkleptokrasian yang dilakukan (elemen) negara itu memang merupakan rangkaian bentuk pembunuhan yang menimpa rakyat. Kasus bunuh diri tidak boleh sebatas dibaca sebagai eksaminasi moral dan ketauhidan manusia yang bunuh diri, tetapi sebagai eksaminasi moral dan keimanan setiap pemimpinnya, yang masih gagal menjalankan peran kepemimpinan yang ‘menghidupkan’, menyelamatkan, dan menyejahterakan rakyatnya.

Kehadiran bulan Ramadhan sejatinya merupakan momentum menyakralkan peran kepemimpinan elemen negara dalam relasinya dengan rakyat. Di bulan ini, idealnya para pemimpin mencari segala jenis ‘virus’ yang selama ini menyerang dan membunuh rakyat mereka.

Pemimpin kita selama ini memang hanya fasih berucap, bersilat lidah, berkilah, dan bermain-main apologi demi membenarkan atau menahbiskan keberhasilan dirinya, sementara kemaslahatan masyarakat tidak mendapat perhatian yang selayaknya. Komunitas elite itu merupakan deskripsi sosok pemimpin yang tidak berbeda dengan pengkhianat dan ‘penjagal’ hak-hak masyarakat. Mereka tidak benar-benar ‘berpuasa’ dari ketidakadilan struktural atau praktik-praktik yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan.

Mereka itu gemar jadi ‘pengutip’ atau pemalak atas hak-hak orang kecil, menyalahalamatkan atau ‘menyunat’ bantuan operasional sekolah, membengkakkan harga raskin, membuat biaya birokrasi jadi mahal, menjarah bantuan bencana alam, atau berbagai hak dan kepentingan milik masyarakat dikonversi (dirampok) supaya jadi hak pribadi, partai politik, dan kroninya.


Pemimpin negeri ini memperlakukan diri dan kelompoknya jauh melebihi kepentingan riil masyarakat. Syahwat memiliki, merampas, menjarah, dan menguasai dibiarkannya menjadi kekuatan yang mendorong dan menentukan gerak liberal dan serba permisif (het doel heiling de middelen) yang melahirkan berbagai bentuk keprihatinan di berbagai bidang kehidupan fundamental.

Bagaimana bisa dikatakan hati pemimpin negeri ini bersinarkan cahaya cinta pada masyarakat dan ‘berpuasa’, kalau masyarakat yang lokasinya hanya beberapa meter (bertetangga) dari kantor pemerintahan daerah saja dibiarkan tidak terurus sehingga mereka terpaksa berprofesi menjadi pengemis instan?

Komunitas elite yang menyebut diri sebagai pemimpin Indonesia sangat pintar menabur janji atau mengobral pernyataan yang membius dan menyesatkan masyarakat, sehingga menggiring masyarakat agar meyakini atau memercayainya.

Sayangnya, janji itu tidak pernah mereka buktikan dalam kinerja atau dinihilkan dari komitmen struktural mereka. Padahal, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Keadilan (kecintaan) seorang pemimpin lebih utama seribu kali jika dibandingkan dengan ibadah ahli ibadah.”


Selama ini, masyarakat lebih sering mendapatkan kosakata yang tersusun menarik di atas kertas atau melalui pidato-pidato bombastis ketika kampanye, kunjungan kerja, dan pertemuan-pertemuan resmi para pemimpin, yang tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan riil masyarakat.

Bunuh diri yang dijadikan opsi sejumlah orang akibat kemiskinan berlarut yang menimpa mereka merupakan bukti bahwa pemimpin kita belum ‘berpuasa sejati’ dari syahwat memburu kemapanan dan kenyamanan eksklusif kekuasaan. Mereka masih lebih menahbiskan kecintaan pada dirinya sendiri, kroni, dan partainya jika dibandingkan dengan memikirkan kepentingan riil rakyatnya.

Mereka yang bunuh diri itu sebenarnya masih ingin menikmati hidup lebih lama di Bumi Pertiwi ini, tetapi akibat pemimpinnya yang bermental menihilkan komitmen kerakyatan atau tidak ‘memuasakan’ egoisme dan ambisi pribadi dan kelompok eksklusifnya, baginya, melanjutkan hidup di antara hati pemimpin yang sudah tuli tidak ada artinya lagi.

Kalau penguasa kita benar-benar sudah berpuasa sejati seperti yang didoktrinkan Nabi Muhammad, tentulah penguasa itu meneladaninya, seperti sabdanya, “Tempat terbaikku ialah orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah.” Itu berarti setiap pemimpin yang berpuasa berkewajiban menjadikan ‘orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah’ sebagai pembuktian amanat kerakyatan mereka dan bukan menjadikan hak-hak publik (orang kecil) sebagai obyek pengabaian, pereduksian, dan pengkleptokrasian mereka.

M Bashori Muchsin,
Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 20 Juli 2012

No comments: