Pertama, studi sosiologi pembangunan dari Laboratorium Sosiologi FISIP UI bertajuk “Penataan Sektor Informal Menuju Pembangunan yang Inklusif” oleh Paulus Wirutomo, et all (2011). Kedua, studi “causal map” kepemimpinan wali kota tentang daya saing daerah oleh Ita Prihantika dan Sudarsono Hardjosoekarto (2011).
Bersama beberapa studi yang lain, kedua studi ini telah menggambarkan karakter kepemimpinan Jokowi (dan pasangannya Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo), yang sangat visioner, berpikir serba-sistem, dan pro-rakyat: tidak hanya dalam kata, tetapi lebih nyata dalam perbuatan.
Karakter kepemimpinan Jokowi antara lain diwarnai oleh sistem nilai inklusif, pada tataran personal dan tataran kebijakan.
Dalam pembangunan ekonomi, komitmen untuk berpihak pada wong cilik telah dicanangkan sebagai janji politik sejak pencalonannya pada periode pertama. Slogan “PKL adalah utama, dan mal bukan prioritas” merupakan salah satu cermin sistem nilai inklusif, yang berakar pada nilai pribadi, dan berwujud menjadi prinsip kebijakan pemerintah kota.
Banyak pernik kebijakan penataan PKL Kota Solo yang menggambarkan prinsip pembangunan yang inklusif ini. Pentungan diganti dengan buku perda; gusur paksa diganti dengan dialog dan rembug warga.
Penataan dan relokasi dibarengi dengan penyiapan sarana, prasarana, dan dana yang memadai. Bahkan bantuan administrasi, serta promosi usaha juga diberikan sebagai paket kebijakan “memanusiakan” wong cilik.
Karakter pembangunan inklusif seperti ini tidak berarti memusuhi kelas atas. Mal tetap ada dan jaringan waralaba bermodal besar tetap tumbuh. Namun keberpihakan dan perlindungan Jokowi terhadap wong cilik itu sungguh di atas rata-rata yang dilakukan oleh sebagian besar daerah lain.
PKL yang digusur disediakan alternatif tempat usaha. Selain dapat menciptakan keadaan yang membuat para pedagang mau berpindah dan menetap seterusnya di tempat yang baru, hal ini juga diamati oleh Paulus Wirutomo (2012) telah memicu perkembangan “kultural” dan “proses sosial” dalam bentuk perubahan sistem nilai di kalangan para PKL.
Kepemimpinan dan kebijakan Jokowi telah membentuk budaya berorganisasi, partisipasi dalam penataan pasar mereka sendiri, pengembangan mekanisme kontrol sosial, penanaman mentalitas “saudagar”, partisipasi dalam pelatihan, serta akses modal di antara PKL.
Pembangunan ekonomi berbasis wong cilik tersebut juga dibarengi dan sejalan dengan perhatian yang luar biasa pemerintah Kota Solo terhadap pembangunan sosial budaya. Slogan “Mewujudkan Solo sebagai Kota Wisata Berbasis Budaya dan Lingkungan Hidup” dapat dikatakan merupakan perwujudan visi personal Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo yang menjadi prinsip Pemerintahan Kota.
Paulus Wirutomo menyebut pembangunan sosial Kota Solo bersifat luas jangkauannya (broad-base), yang mencakup pembangunan identitas budaya kota, pengembangan partisipasi masyarakat, pembudayaan antikekerasan, serta penyediaan ruang publik (public sphere) untuk merangsang munculnya aktivitas dan kesadaran kewargaan bagi masyarakat, khususnya PKL.
Konservasi budaya dan tradisi masa lalu dikemas dalam konteks kekinian dalam berbagai bentuk dan manifestasi. Salah satu yang sangat menonjol adalah terbitnya jadwal kegiatan (calendar of events) Kota Solo.
Jadwal ini dapat diakses secara sangat luas termasuk melalui laman yang menggambarkan betapa masifnya kegiatan budaya, seni, sosial, dan kepariwisataan. Tidak kurang dari 50 kegiatan dijadwalkan pada 2012, yang berarti hampir setiap minggu terdapat kegiatan kultural dan kepariwisataan.
Padahal sesungguhnya potensi wisata Kota Solo tidaklah selengkap beberapa daerah lain. Pantai tidak punya, gunung dan air terjun milik Kabupaten Karanganyar, pemandian dan wisata agro milik Kabupaten Boyolali, Wonogiri, serta Klaten.
Tak hanya itu, Wisata spiritual milik Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen; bandara ada di Kabupaten Boyolali; serta wisata situs purba ada di Kabupaten Sragen.
Bandingkanlah, misalnya dengan Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki semua potensi wisata: pantai yang sangat indah, gunung dan air terjun yang memesona, kuliner yang maknyus, dan kultural yang aduhai, bahkan ada bandara internasional. Namun Lombok Tengah tidak memiliki kalender kegiatan (calendar of events) yang terencana dan terakses luas.
Profil kepemimpinan visioner Jokowi juga terungkap dalam tesis magister Ita Prihantika (2011), yang bertajuk “Visi Wali Kota tentang Daya Saing Daerah”, di mana penulis bertindak sebagai pembimbing akademik.
Dengan menggunakan metode manual yang dikembangkan oleh Ackerman, et all (1992), dan dilanjutkan dengan simulasi system dyamics dengan metode Number, teridentifikasi tiga variabel penting dalam persepsi Jokowi tentang daya saing daerah, yaitu kebijakan pro-rakyat, lingkungan usaha produktif, serta kualitas infrastruktur dan lingkungan hidup.
Jokowi juga sangat percaya hubungan kausal antara daya saing daerah dengan kesejahteraan sosial dan pendidikan. Tidaklah mengherankan bila perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin di Kota Solo sangatlah menonjol.
Bahkan, seorang mahasiswa program doktor sosiologi yang baru saja menyelesaikan riset lapangan menemukan fakta bahwa sebagian besar tunjangan jabatan Jokowi sebagai wali kota habis untuk membeli buku tulis dan sabun mandi.
Bagasi mobil dinas Jokowi selalu dipenuhi dengan bungkusan berisi buku tulis dan sabun mandi. Setiap ada kesempatan jumpa warganya yang wong cilik, Jokowi selalu memberi tanda mata bungkusan tersebut. Ini adalah salah satu cerminan visi Jokowi tentang kesehatan dan pendidikan warganya.
Sebagai warga DKI, penulis menyambut gembira dengan munculnya pasangan-pasangan balongub yang sangat berkualitas. Semua pasangan berbobot dan kredibel. Kebetulan penulis mengenal semua pasangan yang berlaga, dari cukup dekat sampai sangat dekat.
Rekam jejak personalnya juga sangat lengkap, baik ketika sebagai sejawat di birokrasi maupun sebagai akademikus. Sayang sekali, hanya data tentang Jokowi yang penulis miliki sebagai hasil kajian ilmiah tentang sosiologi pembangunan dan kepemimpinan.
Kriteria umum untuk memilih kepala daerah dan wakilnya adalah pasangan yang dapat melaksanakan mandat konstitusional Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pilihlah pasangan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatan pelayanan umum, dan membangun daya saing daerah.
Untuk Gubernur DKI dan Wakilnya tentu harus dilengkapi dengan kecakapan untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
H Sudarsono H
Dosen FISIP UI, Mantan Dirjen Otda dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri
SINAR HARAPAN, 21 Juli 2012
No comments:
Post a Comment