Monday, August 6, 2012

Inflasi Ceramah Ramadhan


Ramadhan adalah bulan ibadah di mana muslim menunaikan ibadah puasa, tarawih, tadarus, iktikaf, dan sedekah. Selain itu, Ramadhan adalah bulan ceramah di mana muslim menyelenggarakan ceramah-ceramah keagamaan di masjid, mushala, perkantoran, radio, dan televisi.

Ceramah Ramadhan adalah tradisi keagamaan yang dikembangkan para pendakwah Islam di Indonesia. Al-Quran memerintahkan agar kaum beriman berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran (QS Al-Asr: 3) dan kasih sayang (QS Al- Balad: 17). Muslim wajib saling mengingatkan agar selamat dan sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam hadis disebutkan: agama adalah nasihat (al-dinu al-nasihat). Ceramah dianjurkan sepanjang masa, bukan khusus di bulan Ramadhan. Intensifikasi dan ekstensifikasi ceramah Ramadhan adalah kreativitas pendakwah Islam untuk menjadikan Ramadhan sebagai momentum peningkatan iman dan takwa.


Miskin Makna
Sangat disayangkan, ceramah Ramadhan justru terasa berlebihan dan miskin makna. Pertama, pengertian tausiah sebatas ceramah. Menurut al-Qurtubi di dalam tafsirnya, kata “tawashau” dalam surah al-‘Asr: 3 berarti “tahabbu”: saling mencintai, menyayangi, berbagi kasih dengan saling mengingatkan, menasihati, dan memberi. Frasa “tawashau bi al-marhamah” di dalam surah al- Balad: 17 berarti kasih sayang (rahmat) kepada makhluk.

Merujuk al-Qurtubi, tawashau harus diimplementasikan dalam bentuk konseling, aksi, dan tindakan yang menyelamatkan sesama manusia. Peringatan dapat berupa sanksi hukum bagi yang bersalah atau advokasi bagi yang lemah. Berwasiat kepada makhluk berarti melestarikan alam semesta, flora dan fauna. Kedua, ceramah dilaksanakan semata-mata sebagai formalitas mengisi waktu kosong, atau syarat-rukun suatu pertemuan.


Di media massa, khususnya televisi, ceramah telah menjadi bagian dari hiburan dan komersialisasi Ramadhan. Ceramah Ramadhan takluk pada budaya pop dan subordinat program komedi yang merajai tayangan media televisi. Para ustadz dan ustadzah dituntut tampil ngepop dan melucu sebagaimana layaknya komedian.Televisi adalah “lahan basah” dan media strategis bagi para ustadz dan ustadzah untuk memopulerkan diri.Tentu saja tidak seluruh ustadz dan ustadzah di televisi larut dalam arus budaya pop dan takluk pada kehendak rating pemirsa.

Tetapi tanpa ketulusan dan komitmen dakwah yang tegas, ceramah agama terasa sangat kering nilai dan miskin makna spiritual. Ketiga, materi ceramah sangat monoton, monolitik, dan repetitif.

Sebabnya antara lain adalah; Pertama, pengurus atau takmir masjid tidak cukup berkualitas dan kreatif mengembangkan topik aktual dan kontekstual. Mereka terlalu sibuk menyusun jadwal ceramah dan penceramah.

Kedua, kualitas penceramah yang “asal comot”: masih taraf belajar atau “langganan tetap”: jam terbang tinggi, mendalami agama dan raja podium tetapi karena keterbatasan waktu, ceramahnya tidak ubahnya seperti album rekaman yang diulang-ulang.


Peningkatan Mutu dan Manajemen
Walaupun terdapat banyak kelemahan, tradisi ceramah Ramadhan tetap penting dikembangkan. Ceramah Ramadhan adalah pendidikan publik yang strategis. Pengembangan ceramah Ramadhan dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, pengkajian yang berbasis teks (text-based) berdasarkan buku atau kitab tertentu. Model ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi pendidikan agama di masjid, pesantren, atau madrasah.

Pengkajian Tafsir al-Misbah oleh Prof Quraisy Shihab di televisi adalah bentuk modern dari model tradisional ini. Alternatif lainnya adalah pengkajian berbasis tema (theme-based). Pengkajian disusun untuk tema tertentu dengan pengkajian yang berkelanjutan. Dengan model ini, umat akan memiliki landasan dan wawasan keberagamaan yang mendalam dan kuat. Kedua, peningkatan kapasitas dan profesionalisme pengurus atau takmir masjid.

Selama ini masjid dikelola dengan manajemen “seikhlasnya”. Praktiknya, para takmir bekerja serabutan, mengerjakan semuanya, sebisanya, seluangnya, dengan imbalan seadanya. Masjid dan komunitasnya perlu mengembangkan pengelolaan dengan lebih profesional sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Konsep ikhlas dan profesional perlu ditafsirkan kembali dalam konteks ketakmiran dan tata kelola masjid yang modern.


Dengan kualitas dan profesionalitas, takmir diharapkan mampu mengelola kegiatan keagamaan dengan lebih baik, kreatif dan inovatif. Ketiga, diperlukan pelaksanaan regulasi yang lebih tegas oleh pihak-pihak berwenang untuk mengawasi siaran-siaran di media massa, khususnya siaran agama di televisi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu lebih tajam menilai dan memastikan agar isi dan penyajian acara agama tidak menyimpang, bertentangan, kontraproduktif, dan justeru merusak umat.

Jika langkah-langkah pembaharuan tidak dilakukan, ceramah Ramadhan tak akan berdampak apa pun dalam kehidupan sosial dan keadaban publik. Ceramah terus menggema, tapi korupsi tetap menggurita, kriminalitas merajalela, dan moral porak-poranda. Saatnya kita berbenah agar ceramah tidak hanya formalitas, rutinitas, seremonial, dan pengisi waktu luang belaka.

Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen IAIN Walisongo, Semarang
Koran SINDO, 4 Agustus 2012

No comments: