Untuk yang tinggal di Jakarta, menjelang Lebaran selalu ada tukang-tukang lukis kartu pos di depan Kantor Pos pusat di Pasar Baru. Yang punya duit bisa beli kartu Lebaran cetak di toko buku, atau mengirim telegram Lebaran yang disediakan oleh Kantor Pos. Karena harganya cukup mahal (pakai prangko), walaupun hanya setahun sekali, kartu yang dikirim tidak banyak, terbatas pada keluarga, kerabat dan teman dekat (di hati) saja. Sekarang, berkat teknologi ponsel dan internet, kita bisa bermaaf-maafan dengan sebanyak-banyak orang yang kita mau.
Tetapi kalau dulu kita harus nongkrong minimal sejam di tukang lukis kartu (sambil merancang kata-kata yang berbeda-beda untuk tiap alamat), sekarang cukup dengan pencet-pencet, copy-paste dan send, sambil duduk dalam bus Transjakarta (karena kalau duduk di Busway bisa digilas bus Transjakarta atau kendaraan lain yang menyerobot masuk Busway). Celakanya, karena teknik copy-paste itu, kita jadi tidak ingat lagi pernah ngirim apa ke siapa. Istri saya pernah ngirim ucapan ke seseorang (copy-paste) dan menerima balasan dua hari kemudian dengan ucapan yang persis sama dari orang itu juga.
Padahal setiap lebaran seharusnya kita justru mencium tangan atau sungkem kepada orang tua. Setahu saya di Arab sana tidak ada tradisi bermaaf-maafan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari yang lain. Mereka beragama tanpa aksesori, karena awalnya memang mereka tidak banyak mempunyai budaya yang berwarna-warni seperti kita di Indonesia. Orang Arab berpuasa ya berpuasa saja, nanti Idul Ftri ya salat sunah berjamaah, sudah. Titik.
Bahkan di Arab selama bulan puasa kebanyakan orang tidur di siang hari, dan beraktivitas di malam hari. Lain halnya dengan kita. Dari zaman nenek moyang, sebelum Islam masuk, kita sudah punya macam-macam tradisi, yang kemudian diteruskan menjadi tradisi ketika kita sudah ber-Islam. Itulah sebabnya, orang Jawa punya tradisi nyadran, atau berziarah ke makam orang tua sebelum Ramadhan. Di kantor saya di kampus UPI YAI, kami beramai-ramai menyumbang makanan untuk selamatan munggah.
Selain tradisi makan-makan, Ramadhan di Indonesia juga diwarnai dengan tradisi air. Di Riau ada lomba perahu yang dinamakan jalur pacu. Banyak etnik yang mentradisikan keramas menjelang Ramadhan. Maksudnya menyucikan diri, sehingga kita melaksanakan puasa dengan jiwa yang putih bersih bagaikan bayi yang baru lahir. Di Mandailing tradisi itu disebut marpangir, di Minangkabau namanya balimau, di daerah Solo, Yogya, dan sekitarnya namanya padusan. Tentu saja tradisi-tradisi itu tidak ada hubungannya dengan Islam yang asli dari sononye.
Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan Rasulullah tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri (seperti kita-kita: beli kue, pasangi lilin, nyanyi “Happy birthday”, tiup lilinnya, potong kuenya), yang di Indonesia dirayakan sebagai Maulud Nabi malah dijadikan hari libur nasional. Karena itu ada sebagian ulama masa kini yang melarang tradisi-tradisi itu karena dianggap bid’ah (mengada-ada, tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadits). Tetapi kalau semua dianggap bid’ah suasana keberagamaan kita jadi kering.
”Tetapi sekarang Arab pun ikut-ikutan bid’ah. Nabi dulu melempar jumrah dari bawah saja, sekarang bisa dari lantai dua atau lantai tiga. Sa’i juga konon dibuat dua lantai (saya berhaji tahun 1995, jadi tidak tahu persis keadaan sekarang). Bahkan nanti akan ada kereta api cepat Makkah-Madinah. Padahal dulu Rasulullah berhijrah dengan naik unta selama beberapa minggu. Ini kan bid’ah juga? Tetapi semua itu tidak dinamakan bid’ah karena dibuat untuk kepentingan umat, banyak manfaatnya, dan tidak menimbulkan mudharat. Begitu juga sebenarnya tradisi-tradisi adat kita.
Para wali, membawa Islam ke Indonesia dengan jalan damai, lewat jalur budaya. Karena itu banyak kebiasaan-kebiasaan nenek moyang, atau tradisi agama Hindu atau Budha, yang berakulturasi dengan budaya Islam. Orang Kudus makan daging kerbau dalam menyambut puasa, untuk menjaga perasaan umat Hindu yang waktu itu masih banyak. Mengapa makan-makan? Karena orang Indonesia doyan makan (tamu-tamu saya dari luar negeri selalu heran, karena setiap rapat, walau sekecil apapun, selalu ada makanan ‘besar’, minimal lemper dan risoles).
Tradisi-tradisi yang berwarna-warni itu merupakan pengikat emosional antara kita (individu) dengan keluarga dan kerabat (hablun minannas) dan dengan Allah dan Rasul serta Kitab sucinya (hablun minallah).Tetapi kalau sekarang kita mau mengharamkan tradisi yang dianggap bid’ah itu, akan hilanglah ikatan-ikatan batin itu. Maka tetangga sendiri bisa ditipu, orang tua sendiri bisa dibacok, bahkan al-Quran pun bisa dikorup.
Selamat berpuasa, maaf lahir batin.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Koran SINDO, 22 Juli 2012
No comments:
Post a Comment