Namun, sesungguhnya pertelevisian republik ini bukan hanya pecah, tapi juga tak jelas arah. Segala sesuatu bisa terjadi, tanpa ada kontrol sama sekali. Antara lain, setiap orang bisa membuat siaran tersendiri. Caranya mudah. Namanya TV Streaming, streaming television. Belum lagi soal siaran digital. Pada dasarnya, pengelolaan pertelevisian menggunakan cara sederhana, terbuka, dan mempunyai riwayat. Selama ini, pertelevisian seluruh dunia mendasarkan diri pada undang-undang atau ketentuan komunikasi yang berlaku di Amerika Serikat 1934. Undang-undang mengambil pola yang berlaku untuk radio pada tahun 1927.
Dari sinilah muncil badan Federal Communications Commission (FCC), sebuah lembaga yang independen. Walau tidak sama, di sini ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dari lembaga independen inilah segala kebijakan komunikasi, bukan hanya televisi, dirumuskan. Misalnya, adab “preambule” terkemuka yang berbunyi bahwa udara adalah milik bersama, tak bisa dikuasai dan dimiliki perorangan atau kelompok. Tugas pemerintah mengadakan sistem penyiaran bagi seluruh masyarakat, secara cepat, efisien, berskala nasional atau international. Itulah dasar-dasar kelahiran televisi pendidikan, independen, atau di sini lebih dikenal pelayanan publik, TVRI, serta televisi swasta niaga yang bersifat komersial. Namun, sudah sejak awal pembagian atau pembatasan itu tak berlaku sepenuhnya. Semula, TVRI sebagai “the one and only”, satu-satunya lembaga penyiaran yang masuk dalam Departemen Penerangan Orde Baru.
Statusnya kemudian berubah-ubah sampai sekarang. TV dengan izin lokal kemudian menjadi bersiaran nasional seperti SCTV (Surabaya) atau ANTV (Lampung). Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pun bisa menjadi komersial seperti lainnya. Kepelikan lembaga yang kini bernama MNC TV tersebut sampai sekarang masih diributkan.
Dengan keadaan semrawut seperti tergambarkan tadi, segala kemungkinan bisa terjadi. Perubahan dasar, sifat, kepemilikan, bahkan juga pelanggaran masih akan sering bertabrakan.
Ini bisa merepotkan dalam kerja sama dengan institusi lain seperti Lembaga Sensor. Tayangan televisi non-berita perlu surat izin lolos sensor. Ketentuan ini masih berjalan, walau pada kenyataannya tidak berlaku efektif. Ini kadang tidak mengikat karena kekurangan tukang sensor dan kriterianya tidak baku. Selain itu, tak ada jaminan bahwa setelah lolos sensor tak akan ditarik atau diprotes. Repotnya, tayangan yang harus disensor banyak sekali. Ada lebih dari 1.000 acara dalam sebulan. Contoh, sinetron saja dari 10 stasiun siar mencapai 37 jam tayang setiap hari.
Semua ini menggambarkan cara kerja yang tidak sempurna, namun tetap dipertahankan. Tak jelas penanggung jawab akhir, andai terjadi sesuatu. Contoh lain, kerja sama dengan KPI. Secara teori, KPI bisa mengontrol dan merekomendasikan tindakan tertentu. Namun, keberadaannya tertinggal jauh karena pertelevisian sudah menjadi industri. KPI seolah menjadi “nenek cerewet” yang tak perlu didengar.
Contoh nyata yang menyakitkan ketika sebuah acara bertajuk “Empat Mata” dianggap melanggar tata krama, dengan enteng diganti menjadi “Bukan Empat Mata.” Sungguh penghinaan akan tata nilai dan sebuah institusi resmi. Anehnya, acara tersebut berjalan aman sampai sekarang. Baru pada acara yang lain, “YKS,” peringatan KPI dituruti karena hilang dari udara. Boleh saja berganti acara asal tidak “YKS,” menjadi “YKS Baru” atau “Bukan YKS”. Tayangan YKS diprotes karena menyajikan adegan tokoh komedi saat dihipnotis bisa membayangkan wajah Benyamin Sueb (maaf ) sebagai anjing yang lucu. Protes bermunculan dan opini masyarakat menghangat.
Siapa yang lebih kuasa? KPI atau mereka?
Namun, sesungguhnya yang tak terselesaikan adalah jenis acara hipnotis atau sihir dalam tayangan tersebut. Apakah diperbolehkan? Apakah benar seseorang bisa dihipnotis melihat “bakal calon pacar”, atau “merasa diri superman yang mencoba terbang?” Atau ini hanya berlaku pada orang tertentu dalam situasi tertentu juga. Sebab tanpa penjelasan tekstual (yang ditayangkan berjalan), sama saja pembohongan publik yang luar biasa. Dalam kasus ini bukan hanya seniman besar Benyamin yang dilecehkan, tapi seluruh akal sehat pemirsa.
Kemudian, kerja sama dengan khalayak yang namanya pemirsa, pendengar, pemerhati, dan sejenisnya. Tata krama dunia pertelevisian mengandaikan tiga unsur utama berjalan baik: penyelenggara siaran, pemerintah, dan penonton.
Pada zaman Orba, TVRI masih membuat “lembaga pemirsa” meskipun diisi orang-orang pemerintah. Lembaga seperti itu kini tak ada lagi. Maka, wajar bila penyelenggara siaran (biasanya pemilik stasiun) makin leluasa dan rakus karena tak ada ikatan apa pun yang membatasi atau mengatur. Pada saat yang sama, peran pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) justru menambah galau dan kacau dengan Keputusan Menteri tentang Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing secara Teresterial karena bertabrakan dengan peraturan dan undang-undang sebelumnya. Lagi pula, mengapa diberlakukan detik-detik menjelang kabinet sekarang bubar?
Aktivitas mereka sekarang memiliki dasar dan mulia karena memperjuangkan hak-hak penonton. Pokok masalah bukan hanya peraturan menteri yang memang terasa “bau bisnis amis,” tapi juga dan terutama kemungkinan pengadaan penyiaran yang kebablasan.
Saat ini, setiap orang, kelompok, baik pengusaha atau bukan, bisa membuat siaran secara streaming. Sekarang membuat program apa pun bebas luar biasa. Apa saja bisa disiarkan dan dikomunikasikan. Semua itu belum ada tata krama pengaturan dan nilai isinya. Ini mengerikan karena membuka kesempatan setiap orang membuat program dengan paham dan ideologi apa saja. Fenomena “TV dukun” juga sangat mengganggu.
Siaran program pengobatan (alternatif) dikategorikan apa? Siaran, iklan, atau provokasi karena mereka leluasa berkampanye! Pertelevisian terbelah terutama karena tidak ada ketegasan antara hal yang boleh dan hal yang dilarang. KIDP bisa menjadi pijakan menjelaskan kondisi pertelevisian negeri ini. Mereka harus berani berteriak.
Arswendo Atmowiloto,
Budayawan
KORAN JAKARTA, 29 Agustus 2014