Friday, May 23, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (9)


Hampir 30 tahun yang lampau, ketika masih seorang taruna. Prabowo menulis kepada seorang sahabat akrabnya tentang perjuangan meraih kekuasaan. “Sebab dengan memperoleh kekuasaan,” tulisnya menjelaskan, “kita dapat berbuat baik.” Bahwa Prabowo itu ambisius, itu bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa nafsu meraih kekuasaan inilah yang mendorongnya masuk militer, menikah dengan putri presiden dan kemudian di bulan Mei 1998 merakit suatu komplotan untuk melawan musuh-musuhnya.

Akan tetapi, mengapa Prabowo menginginkan kekuasaan? Boleh jadi jawabannya adalah ungkapan kisahnya yang paling mengherankan. Mungkin ia adalah seorang pengatur siasat yang tidak sehebat seseorang yang menjawab pertanyaan yang diajukan semua idealis muda kepada diri sendiri: Apakah kita bekerja di dalam atau di luar sistem yang ingin kita ubah? Prabowo menentukan pilihannya dan berpegang pada keputusan itu. Hidupnya sejak itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.

Nama Subianto adalah pemberian kakeknya, Margono Djojohadikoesoemo untuk mengenang pamannya yang gugur dalam perang kemerdekaan.

Kenangan diri Prabowo adalah ketika kakeknya membawanya ziarah ke makam dua orang pamannya yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial. Ia diberi nama pamannya yang lebih tua: Subianto. “Kakek menanamkan ke dalam diri saya nilai-nilai ksatria prajurit dan patriotisme,” katanya.

Prabowo melihat nilai-nilai ini diuji ketika ayahnya seorang ekonom terhormat terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah presiden Indonesia pertama, Soekarno. Sumitro Djojohadikusumo melarikan diri dari Indonesia pada tahun 1958, yang menjadi masa pengasingannya selama 10 tahun. Keluarga itu terus menerus berpindah-pindah yang ujungnya berakhir di Eropa. Di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana halnya juga kekagumannya pada ide-ide Barat.

Soeharto, jenderal muda yang sedang naik daun gara-gara kudeta PKI tahun 1965 yang gagal.

Pada tahun 1965, Indonesia melihat naiknya seorang jenderal muda bernama Soeharto menyusul kudeta komunis yang gagal. Prabowo pada waktu itu sudah diterima di sebuah perguruan tinggi Amerika, ketika ia memohon kepada ayahnya agar diperbolehkan kembali ke Indonesia. Ketika itu, “banyak peristiwa sedang terjadi.

Prabowo pulang ke tanah airnya tahun 1968 dan langsung menceburkan diri ke dalam situasi yang sedang bergejolak. Ketika Soeharto menggantikan Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa: Apakah mereka bekerja sama dengan rezim militer yang sedang muncul ataukah tetap di luar sambil berusaha mengawasinya? Banyak di antara tokoh-tokoh politik dan bisnis yang menjadi makmur selama pemerintahan Soeharto, karena memilih kerja sama. Namun sebagian besar teman-temannya tetap memilih tinggal di luar.

Tetapi keterpesonaan Prabowo pada militer yang ditanamkan oleh kakeknya sangat mendalam dalam dirinya. “Saya katakan kepada teman-teman, bahwa saya sedang memikirkan untuk masuk jadi militer,” kata Prabowo mengenang. “Mereka menengok kepada saya: Anda serius? Saya jelaskan: Militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita harus berada di dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada suatu hari kita akan berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri kita.” Beberapa teman bersikap mendukung, dan sebagian lainnya tidak. “Salah seorang di antara mereka berkata: Prabowo nanti Anda akan diindoktrinasi. Anda akan menjadi seorang fasis. Kata saya: Tidak, kita harus melakukan modernisasi dari dalam. Kita harus melaksanakan reformasi dari dalam.

Karena menjadi menantu Soeharto, Presiden Orde Baru yang sedang berkuasa, maka karier militer Prabowo melesat bak meteor di langit malam.

Pada tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akademi Militer. Kehidupan di sana jauh berbeda dibanding kenyamanan yang telah dikenalnya. Ia merasa bawa para seniornya berlaku lebih keras kepadanya dan kepada anak-anak elite lainya. Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya mengatakan kepadanya ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau, namun ia menolak. Kata Prabowo: “Tidak, saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun yang terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.

Keputusan itu ternyata mempunyai konsekuensi penting. Angkatan Darat mempertemukannya dengan keluarga presiden. Komandannya dalam pasukan khusus pada awal-awal tahun 1980, adalah ipar Soeharto. Minat keluarga presiden tergugah oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu dan lantas ia dijodohkan dengan putri kedua Soeharto, Siti Hediati Harijadi yang biasa dipanggil Titiek. Pasangan itu menikah pada tanggal 8 Mei 1983.


Prabowo tak dapat mengatakan dengan tepat kapan bisik-bisik mulai terdengar setelah itu, tetapi ia tahu isinya. Bahwa ia adalah kesayangan Soeharto. Bahwa perjalanan kariernya telah dibuat lancar melalui promosi. Bahwa ia mendapat perintah-perintah langsung dari presiden dengan melampaui lapisan-lapisan perwira yang lebih senior. Bahwa ia menikmati kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Soeharto maupun bisnis keluarganya sendiri. Prabowo berpendapat bahwa ketidaksenangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungannya. Melainkan karena –menantu atau bukan– ia sedang menjalankan suatu visi kemiliteran yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh pimpinannya. “Saya menghendaki kualitas tinggi. Saya menghendaki profesionalisme. Saya menghendaki disiplin,” katanya. “Tetapi banyak di antara jenderal yang masa bodoh. Mereka mengatakan saya datang dari keluarga kaya. Tetapi kenyataannya mereka lebih feodal.


Sebagai pemimpin latihan Kopassus, Prabowo merasionalisasi latihan-latihan, membersihkan manajemennya dan bahkan perwira-perwiranya dilarang bermain golf, yang merupakan permainan yang digemari para jenderal saat itu. Pada tahun 1995 ia menjadi wakil komandan Kopassus, dan pada tahun berikutnya ia dinaikkan menjadi komandan.

Sejak itu, Kopassus dengan cepat mencapai reputasi sebagai salah satu cabang militer yang terlatih paling baik dan punya dana terbaik. Prabowo mengakui bahwa ia memperoleh uang dari kontak-kontak bisnis di luar militer. “Bukan saya saja yang melakukan begitu,” katanya membantah. “Banyak perwira melakukannya. Saya terpaksa melakukan begitu. Budget kami tidak pernah cukup.

"Saya sudah telanjur sebagai seorang samurai. Seorang samurai tak akan meninggalkan yang dipertuannya," kata Prabowo.

Prabowo juga menyarankan –dengan hati-hati– agar keluarga presiden merangkul perubahan. Selama bertahun-tahun, ia mencoba memperingatkan ketidaksenangan publik yang semakin besar terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter dan korup, terutama di kalangan ipar-iparnya. Istrinya pun ikut-ikutan mengembangkan kepentingan-kepentingan usahanya. Kata Prabowo, ia berusaha mencegah istrinya tetapi percuma. “Lambat laun saya menjadi dongkol,” katanya. “Ia (Soeharto) terlalu percaya diri. Menurut pendapatnya tidak diperlukan perbaikan pada sistem pemerintahan.” Jadi disamping perselisihan-perselisihannya dengan jenderal-jenderal Soeharto, Prabowo juga meningkatkan ketegangannya dengan anak-anak Soeharto. Katanya: “Pada akhirnya saya sadar bahwa semua senyuman mereka hanyalah kedok semata. Mereka mengatakan sesuatu kepada saya dan melakukan yang lain di belakang saya.


Namun Prabowo tetap loyal pada Soeharto. “Saya sudah telanjur sebagai seorang samurai,” katanya. “Seorang samurai tidak akan meninggalkan yang dipertuannya.” Kesetiaan Prabowo boleh jadi menjadi kunci mengapa Soeharto mentolerir dia. Selama Prabowo tetap loyal, semua tingkahnya, obsesinya, ide-idenya untuk mengadakan reformasi, kecaman-kecamannya, kedekatannya dengan lawan-lawan Orde Baru, justru akan dapat dijadikan aset. “Ada satu hal mengenai Pak Harto,” kata purnawirawan jenderal Hasnan Habib, “ia mengenali orang melalui intuisinya.

Pergesekan-pergesekannya yang terus-menerus dengan atasannya barangkali mempercepat kejatuhannya. Mantan juru bicara TNI Mayjen Sudrajat teringat ketika ia bermalam-malam hingga larut berdiskusi tentang reformasi militer dengan Prabowo. “Ide-idenya sangat cemerlang,” kenang Sudrajat. “Tetapi ia terlalu kurang sabar. Ia tak mau menunggu hingga sistem itu sendirilah yang mengadakan reformasi. Ia mengadakan jalan-jalan pintas yang menyinggung perasaan atasan-atasannya.” Prabowo mengakui kesalahannya: “Waktu itu saya berpikir, hasil-hasil reformasi itu pada akhirnya akan meluas. Saya tidak banyak memikirkan bagaimana harusnya menyenangkan hati orang. Saya pikir, reputasi saya, performa saya sudah cukup.


Prabowo dengan naifnya mengira bahwa memenangi permainan politik hanyalah soal keunggulan dirinya sendiri. Ketulus-ikhlasan yang keras kepala ini menopangnya dalam kenaikannya dan perjuangan-perjuangannya dalam lingkungan sistemnya Soeharto dan memberinya kharisma. Tetapi itu jugalah yang membuatnya mudah dimanipulasi dan berkhayal. Pada akhirnya, ia yakin bahwa Orde Baru yang otoriter itu perlu dipertahankan. Barangkali pada waktu itu ia tidak punya pilihan lain lagi. Sebagai jenderal dan menantunya Soeharto, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Orde Baru itu. Sang idealis yang berencana mencapai puncak, kini telah terperosok terlalu dalam.

Saya tetap berharap agar Soeharto boleh jadi pada akhirnya akan mengadakan reformasi atau menyerahkan kendali kepada seseorang yang mau melakukannya,” katanya. Itulah senantiasa harapan saya: reformasi dari dalam, reformasi dari atas. Tetapi ketika sistemnya menjadi begitu tersumbat, itu semua tidak dapat dilakukan. “Mungkin itulah salah satu dari antara kegagalan-kegagalan saya, yang pada waktu itu tidak dapat saya lihat.

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

No comments: