Tuesday, May 13, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (1)


Inilah sosok Prabowo: Seorang pebisnis Indonesia yang sedang kelelahan pada usianya yang mendekati 50 (saat tulisan ini dirilis Asiaweek tahun 2000, sedangkan kini usianya sudah hampir 63 tahun). Prabowo lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951, (saat itu tahun 2000), jauh dari keluarga, terus menerus dalam perjalanan. Ada lagi sisi Prabowo yang lain; penyiksa orang-orang tak bersalah di Timor Timur, penculik para aktivis pro-demokrasi, otak kerusuhan dan perkosaan di Jakarta bulan Mei 1998, konspirator kudeta yang gagal yang mencoba menyandera seorang presiden Indonesia.

Prabowo yang disebut pertama adalah Prabowo sebagai daging dan darah atau tubuh seorang manusia, sedang sisi Prabowo lainnya adalah ciptaan guntingan berita dan rumor. Prabowo yang disebut pertama kini hidup di luar Indonesia (saat itu tepatnya di Jordania), terutama karena sisi reputasinya itu telah menggantikannya. Prabowo si perancang jahat merupakan cerita yang lebih menarik bagi para wartawan, dan merupakan bahan baku bagi seteru yang lebih mudah ditempa jadi berbagai bentuk peluru untuk para aktivis dan –tentu saja– kambing hitam yang lebih gampang bagi para politisi. Sekali-sekali, ada saja orang yang berteriak agar Prabowo dipanggil pulang untuk diadili. Namun demikian, orang jadi bertanya-tanya, apa gerangan rintangan yang lebih menghalangi jalan menuju keadilan di Indonesia: realitas atau mitos?

Michael Camdesus menunggui Pak Harto menandatangani LOI (Letter of Intent).

Agar sampai pada realitas itu, staf koresponden Asiaweek untuk Indonesia, Jose Manuel Tessoro, bukan hanya mengadakan wawancara mendalam dengan Prabowo, yakni wawancara pertama dengan sebuah publikasi internasional sejak Mei 1998, Tessoro juga melakukan investigasi. Hasilnya adalah uraian bernuansa tinggi tentang peristiwa-peristiwa dramatis, yang di dalamnya sejumlah perorangan mengemukakan pendapat atau argumentasi yang didasarkan pada ambisi, kepentingan sendiri, loyalitas dan ketakutan.

Apakah Prabowo bersalah atas peristiwa 1998? Menurut dia sendiri, tidak! Tetapi ia tidak menyebutkan siapa, meskipun berdasarkan persepsi mengenai pertarungan Presiden Wahid dan Jenderal Wiranto baru-baru ini (tahun 2000), adalah sesuatu yang senantiasa dilupakan.

Kini muncul tuntutan-tuntutan, agar membuka kembali kasus-kasus lama: serangan-serangan, kekejaman dan inisiden lain di waktu lampau. Barangkali saja, setelah beberapa dasawarsa tidak ada pertanggungjawaban dari para pemimpin, rakyat Indonesia ingin mengetahui yang sebenarnya dan ingin lebih mengendalikan lagi urusan politik. Dengan memaparkan ceritanya, Prabowo sendiri –disadari atau tidak– malahan membantu memulai proses itu.


Kambing Hitam?
Arkian malam hari, pada tanggal 21 Mei 1998, lusinan prajurit mengambil posisi sekitar Istana Merdeka dan rumah kediaman Habibie, yang kurang dari 24 jam sebelumnya telah menjadi presiden ketiga Indonesia. Komandan dari pasukan ini adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang ganas.

Seminggu sebelumnya, ia telah mengatur pasukan-pasukan gelap ini dalam keadaan siap menunggu perintah –pasukan khusus rahasia, penjahat-penjahat pusat kota, muslim radikal, untuk membunuh, membakar, memperkosa, menjarah, dan menyebarkan kebencian etnis ke dalam hati penduduk Jakarta. Tujuannya adalah untuk merongrong rivalnya, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan untuk memaksa mertuanya, Soeharto, mengangkatnya sebagai pimpinan Angkatan Darat –suatu langkah yang dalam waktu huru-hara akan lebih mendekatkan Prabowo menjadi presiden.

Pengunduran diri Soeharto yang prematur dari kedudukan presiden menggagalkan ambisi Prabowo. Maka ia mengerahkan amarahnya kepada Habibie. Bencana buat Indonesia –dan mimpi buruk bagi Asia Tenggara– boleh jadi akan segera menyusul, jika tidak karena datangnya perintah dari Wiranto untuk membebas-tugaskan Jenderal yang tak terkendali itu dari posisi komando. Diamuk amarah, Prabowo membawa pasukannya ke halaman istana dan mencoba mendobrak masuk dengan senjata lengkap ke dalam kamar-kamar Habibie. Tetapi akhirnya ia diperdayakan. Percobaan kudetanya merupakan klimaks dari drama 10 hari yang mengitari kejatuhan Soeharto, pemimpin Indonesia selama tiga dekade.

Masalahnya adalah tidak semua itu benar. Bahkan mungkin tidak satu pun di antaranya ada yang benar.


Yang pertama mengatakan demikian adalah Prabowo. “Saya tidak pernah mengancam Habibie,” katanya. Apakah Prabowo merencanakan kerusuhan bulan Mei terhadap etnis Cina Indonesia untuk menjatuhkan Wiranto atau Soeharto? “Saya tidak berada di belakang kerusuhan-kerusuhan itu. Itu adalah bohong besar,” jawabnya tegas. “Saya tidak pernah mengkhianati Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya tidak pernah mengkhianati tanah air saya.

Prabowo, bukanlah seorang yang suci. Selama 24 tahun, ia menjadi anggota militer Indonesia, yang dengan setia mematuhi perintah-perintah presiden. Ia membina Kopassus untuk memerangi pemberontakan dan terorisme dalam negeri. Prabowo juga menikah dengan putri kedua Soeharto dan ia menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kebebasan juga tanggung jawab yang dimiliki oleh keluarga presiden. Ia mengakui penculikan sembilan aktivis pada permulaan tahun 1998, yang beberapa di antaranya mengalami penyiksaan. Kira-kira 12 orang lainnya yang diduga diculik dalam operasi yang sama masih belum diketahui keberadaannya.

Tetapi, apakah Prabowo itu iblis? Di bulan Agustus 1998, DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menyatakannya bersalah dalam menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer, Prabowo kemudian dipecat.


Dalam laporannya di bulan Oktober 1998, mengenai kerusuhan bulan Mei, TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) meminta agar Prabowo diperiksa mengenai ketersangkutannya dalam kerusuhan-kerusuhan itu. Sejak itu media massa Indonesia dan luar negeri mengaitkan namanya dengan kata-kata seperti “rencana jahat”, kejam dan sembrono, “seorang fanatik yang haus kekuasaan”. Sebuah surat kabar Asia menulis: “Ia disebut benci pada orang Cina.” Keyakinan bahwa dialah yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan dan gagal mengekangnya telah masuk ke dalam buku-buku sejarah. “Sayalah monster di belakang segala-galanya,” kata Prabowo dengan ironi yang tidak disembunyikannya.

Kendati begitu, hampir dua tahun setelah Soeharto mengundurkan diri, belum juga ada bukti yang mengemuka yang menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan yang memicu pengunduran diri itu. Gambaran lengkap dari hari-hari itu masih saja kabur oleh cerita-cerita yang saling bertentangan dan dari narasumber-narasumber yang tidak bisa disebut namanya.

Di bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang pada waktu itu Ketua TGPF dan sekarang (tahun 2000) Jaksa Agung, mengungkapkan renungannya kepada wartawan: “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa.


Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia kini menghabiskan seluruh waktunya di luar negeri, walaupun surat kabar-surat kabar setempat mengatakan bahwa ia mengadakan kunjungan singkat, yang tidak banyak diketahui orang di bulan Januari lalu, yang merupakan kunjungan pertamanya dalam rentang waktu 15 bulan (istrinya menetap di Indonesia, putra mereka belajar di Amerika Serikat).

Apa yang muncul dari uraian Prabowo sendiri, dirangkaikan dengan penyelidikan independen yang dilakukan Asiaweek, adalah kisah yang jauh berbeda, lebih bernuansa daripada penilaian yang sejauh ini diterima di kalangan luas bahwa kejatuhan Soeharto bermula pada pertarungan antara yang baik dan yang jahat, dan bahwa Prabowo adalah sang penjahat.

Kisah ini adalah laporan dari dan tentang elite politik Indonesia, suatu pengungkapan mengenai sifat perubahannya yang berbahaya dan kompleksitas para pelakunya. Laporan ini menentang apa yang selama ini diterima oleh banyak pihak mengenai negeri ini: militernya, keluarga penguasa yang lalu, dan sejarahnya. Keputusan apapun yang Anda simpulkan, Anda tidak akan mungkin lagi melihat kejatuhan Soeharto di masa lampau –atau kecaman-kecaman pedas dan konflik-konflik yang berkecamuk sekarang ini– dengan cara yang sama.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000

No comments: