Friday, March 2, 2012

Pilot yang Salah Pesawat

 
Para pembantu Presiden SBY menepis tudingan bahwa Indonesia dijalankan dengan otopilot. Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memuji SBY sebagai pilot andal. Alasannya, di tangan SBY, pertumbuhan produk domestik bruto 6,5 persen, peringkat utang meningkat, dan diperolehnya status layak investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional.

Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY pilot andal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan, melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor, dan kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.


Pesawat Asing
Pemerintahan SBY dikenal paling ramah melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat banyak. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY hingga tahun 2014, adalah Rp 3.100 triliun. Namun ketika investasi belum mencapai Rp 1.000 triliun, kenyataannya 75 persen sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih kepemilikannya ke korporasi asing.

Kepenguasaan asing di pertambangan emas, perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi juga 90 persen dikuasai asing. Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Bahkan sektor telekomunikasi yang strategis pun, juga sudah 90 persen dikuasai asing.

Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syngenta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai bibit dan agro-kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman. Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.


Produk petani dan industri dalam negeri tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern. Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.

Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat telah dibuat dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko dan harga yang harus dibayar oleh bangsa ini.

Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?

 

Pesawat Otopilot
Sepanjang sejarah Republik, belum pernah rakyat ditelantarkan negara seperti sekarang ini. Warga yang dihukum karena mencuri sandal jepit, pisang, semangka, dan biji kakao hanya sedikit gambaran betapa buruknya tingkat kesejahteraan rakyat. Jangankan sejahtera, jaminan rasa aman pun kian sulit didapat. Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan, dan perkosaan di tempat umum kian marak. Kekerasan atas nama agama dan keyakinan terus dibiarkan. Aparat negara sibuk menggendutkan rekeningnya sendiri.

Yang disebut sebagai pembangunan, kini tak lebih dari urusan memfasilitasi dan mendorong kalangan berduit gila berbelanja. Daerah sentra industri berubah wajah jadi daerah wisata belanja, dipadati dengan pusat belanja dan factory outlet yang memasarkan produk impor. Kawasan industri dan sentra industri kecil sepi. Pabrik-pabrik yang dimiliki pengusaha lokal banyak yang tutup karena bangkrut.

Deindustrialisasi memaksa rakyat berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri. Hampir 70 persen tenaga kerja kita, bekerja di sektor informal. Buruh dipaksa menerima upah yang bahkan tak cukup untuk makan layak tiga kali sehari.


Arus deras investasi yang dibanggakan pemerintahan SBY kian merampas hak hidup rakyat. Yang terjadi di Mesuji dan Bima hanya puncak gunung es konflik agraria yang tak pernah diselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat: konflik agraria meningkat tajam dari 106 kasus (2010) menjadi 163 kasus (2011), melibatkan 69.975 keluarga dengan luas areal konflik 472.048,44 hektar. Petani tewas meningkat dari 3 orang (2010) jadi 22 orang (2011). Ironis bahwa tanah, hutan, dan kekayaan alam diserahkan kepada pihak asing, sementara rakyat yang hanya mempertahankan sejengkal lahan dipaksa meregang nyawa.

Program memperbanyak pengiriman TKI yang dijalankan pemerintahan SBY sesungguhnya upaya menutupi kegagalan pemerintah membangun sektor pendidikan, pertanian, dan industri. Warga didorong bekerja di luar negeri: mayoritas pendidikan mereka SMP ke bawah.


Sementara itu, kapasitas dan integritas pemerintah dalam melindungi TKI sangat rendah. Pada 2011, misalnya, dari 16.014 TKI berkasus, 72,3 persen pulang dengan masa kerja kurang dari enam bulan. Mereka dipulangkan karena kurang terampil dan tak lolos tes kesehatan. Bahkan, pemerintah membiarkan perempuan hamil dipaksa berangkat. Pada tahun yang sama, sedikitnya 49.000 TKI diberangkatkan tanpa asuransi. Padahal, TKI dibebani biaya sampai Rp 25 juta, termasuk untuk asuransi.

Kalau saja pilotnya andal, korupsi bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, anggaran dan kekayaan alam benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat maka kita tak perlu lagi mengemis pekerjaan dari bangsa lain.

Oh, pilot andal untuk rakyat baru sebatas doa ....

Sri Palupi, Ketua Intitute for Ecosoc Rights
KOMPAS, 2 Februari 2012

No comments: