Kini tentu saja penjajahan dalam arti kolonialisme purba sudah tidak ada lagi di Indonesia. Tapi penjajahan dalam arti substansial naga-naganya masih berlangsung. Ironisnya, penjajahan itu diproduksi oleh si terjajah itu sendiri. Sadar atau tidak. Bentuk penjajahan diri (self colonization) itu berupa keengganan membaca, terutama buku.
Padahal keengganan membaca akan menyebabkan kematian. Tentu bukan kematian formal-fisik. Tapi kematian ideal-substansial. Berwujud kejumudan pikiran, sempitnya gerak-peran sosial, dan keterasingan jiwa serta rendahnya kesadaran diri untuk selalu merasa terpanggil mengurusi masalah kehidupan.
Manusia jenis demikian, meminjam ungkapan almarhum Muhammad Zuhri (2007), meskipun masih dapat melangsungkan hidup secara fisik, sebagai manusia sebenarnya mereka telah mati. Sebab, ruang yang dijelajahinya tinggal ruang bersifat fisik. Adapun ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia sebagai tanggung jawab peran sosialnya telah mati.
Apa pasal keengganan membaca bisa menyebabkan kematian ideal-substansial?
Manusia tercipta dilingkupi keterbatasan. Baik ilmu, informasi, ruang, maupun waktu. Untuk menutup kekurangan itu, ia harus belajar. Dan salah satu sarana pembelajaran adalah buku. Di Indonesia, aktivitas membaca buku identik dengan aktivitas di sekolah dan saat kuliah. Padahal, kalau dihubungkan dengan pengertian dasar belajar yang dirumuskan UNESCO (1945), haruslah seutuh usia (lifelong learning).
Jadi kewajiban membaca buku itu tidak hanya pada usia sekolah dan kuliah (7-27 tahun), tapi justru tahun-tahun sesudah itulah yang sangat menentukan. Saat tidak lagi sekolah dan kuliah. Saat tidak lagi berada di lembaga pendidikan formal. Saat tidak lagi ada kewajiban membaca buku. Sebab, jika setelah usia belajar formal selesai, berhenti pula aktivitas membaca buku, lantas dari mana bahan ajar bisa didapat? Jika situasi itu menjadi kecenderungan mayoritas, dapat disimpulkan pula kematian ideal-substansial sebagian besar penduduk Indonesia dimulai saat usia 28 tahun!
Saya kira inilah salah satu pekerjaan rumah berat para pegiat komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat, yakni menyadarkan orang-orang yang sudah tidak lagi berada di usia belajar formal agar terus membaca. Apalagi dalam kenyataannya, pada masa seharusnya membaca saja, sementara kita jarang atau bahkan tidak membaca, apalagi jika sudah masuk fase "dibebaskan" dari kewajiban membaca.
Selain membaca sebagai media pembelajaran seumur hidup, membaca merupakan fitrah asasi setiap anak manusia. Kita semua lahir dibekali dengan yang namanya rasa ingin tahu atau curiosita, sebuah dorongan instingtif alamiah pemberian Tuhan yang harus dipenuhi. Sebagaimana makan untuk memenuhi rasa lapar, maka membaca adalah upaya memberi makan otak dan jiwa kita agar tidak kelaparan.
Kelaparan jiwa akan melahirkan disharmoni, baik personal maupun komunal. Wujud konkretnya sikap tak peduli (pesimistis-apatis-naif), individualistis, tak acuh terhadap problem-problem keumatan, instan, kecenderungan menerabas atau melanggar sistem, tidak mengalami kepahitan hati saat mata menyaksikan penderitaan, tidak merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari solusi, cara berpikirnya sangat parsial-jangka pendek, rasa keterasingan (alienasi), serta tidak merasa ikut bertanggung jawab atas realitas yang tengah berlangsung.
Salah satu "gerai" tanggung jawab kehidupan itu adalah soal perkembangan kualitas berdemokrasi. "Manusia sebagai perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa membaca, tanpa berbudaya membaca. Namun sebuah demokrasi hanya akan berkembang, apalagi survive, apabila para warganya adalah pembaca, dan individu-individu yang warganya merasa perlu membaca, bukan sekadar penggemar dan gemar berbicara."
Dalam konteks ucapan Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983) di atas, frasa "membaca atau mati" saya kira semakin mendapati dasarnya. Jadi yang mati itu bukan fisik, tapi umur biologis-penumbuhan dan perkembangan hidup berdemokrasi. Yang berarti pula perkembangan kesadaran individu-individu pelakunya. Perkembangan-perbaikan kualitas kehidupan warga negara. Itu sebabnya, mengapa membaca betul-betul menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi diandaikan jika ingin meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi.
Kegemaran membaca buku dalam konteks kehidupan berdemokrasi akan melahirkan kemampuan literasi (keberaksaraan) politik, yaitu kesanggupan mendaras informasi, baik berupa teks maupun non-teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Keberaksaraan politik memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif -budaya demokrasi.
Dengan kata lain, keengganan membaca akan melahirkan kebutaan politik, yakni ketidakmampuan menggali serta memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, dan klaim politik; melakukan check-recheck; menganalisis informasi politik yang didapat; serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.
Rendahnya tingkat keberaksaraan politik membuat partisipasi politik warga -preferensi atas kandidat pemilik kuasa birokrasi dan politik, misalnya- lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, serta kecakapan wajah. Bukannya program dan kecakapan kerja. Preferensi politik menjadi sebuah pilihan tidak sadar karena mengabaikan unsur kehati-hatian, pengawasan, dan informasi lengkap rekam jejak kandidat. Mau bukti? Tengok mayoritas jalannya pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Agus M. Irkham, Kepala Departemen Litbang PP Forum Taman Bacaan Masyarakat
KORAN TEMPO, 14 Januari 2012
No comments:
Post a Comment