Saturday, March 31, 2012

Ironi BBM dan BLT


Bantuan langsung tunai (BLT) yang bermetamorfosa menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dari pemerintah untuk rakyat miskin sebagai subsidi atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai banyak pihak tidak tepat. Bahkan, cenderung tidak memberikan pelajaran yang penting pada rakyat untuk bersikap mandiri. BLT dinilai memberi contoh buruk pada rakyat karena terkesan mengajari untuk mengemis. Selain itu, BLT/BLSM diduga tidak mengajarkan sikap kerja keras. Bahwa, untuk mendapatkan penghasilan maka rakyat harus bekerja.

Besaran angka kucuran dana BLT, menurut pemberitaan media, sebesar Rp 100-150 ribu per bulan. Dan, menurut rencananya akan dibagikan selama sembilan bulan. Sebuah jumlah yang sangat jauh dari logika kesejahteraan di tengah kebutuhan yang semakin melilit. Lagi pula, ini bukan soal dananya, melainkan BLT akan menggiring rakyat pada sebuah mental yang lemah, tidak berjibaku seperti spirit orang-orang Jepang.

Pemerintah seharusnya memberikan “kail“ kepada masyarakat miskin, bukan “ikannya“ demi mendorong mereka mampu bertahan hidup. Memberikan modal kerja membuat mereka tetap kreatif dalam mempertahankan hidup. Kenaikan BBM ini dikhawatirkan akan semakin membuat jumlah warga miskin bertambah karena sudah tak mampu membeli kebutuhan pokok.


Logika kenaikan harga BBM versus pemberian BLT (BLSM) sama sekali bertentangan, serta tak ada korelasi, kompatibilitas, atau kesesuaiannya. Karena itulah, banyak nada peyoratif ditujukan pada pemerintah atau petinggi partai berkuasa, yang mengatakan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengkritik kebijakan BLT maka dia tidak prorakyat.

Pernyataan seperti itu justru menjadi bumerang bahwa sesungguhnya merekalah yang tidak pro-rakyat. Karena, BLT merupakan kebijakan jalan pintas atau bisa juga disebut sebagai bentuk penyuapan (kolusi) pada rakyat. Di sisi lain, pemerintah sendiri memiliki kepentingan, yaitu dalam rangka meredam gejolak akar rumput sebagai efek domino dari rencana menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan berdampak pada kenaikan harga bahan pokok lainnya.

Lagi pula, tak ada kaitan bahwa jika pemerintah memberikan BLT maka kemiskinan bisa teratasi. Sangat jauh panggang dari api jika logika BLT bisa sedikitnya mengurangi kemiskinan. Sebaliknya, pemerintah harusnya belajar dari pengalaman lalu karena program BLT tidak efektif dan membuat warga miskin malas untuk bekerja. Dana BLT untuk konsumsi selama beberapa hari saja, padahal dampak kenaikan harga BBM akan dirasakan masyarakat dalam jangka waktu yang lama.


David T Ellwood (2010), dari Harvard School of Government, AS, mengatakan, program seperti pemberian kupon atau uang tunai kepada masyarakat miskin tidak akan dapat menstimulasi pekerjaan dan keterampilan baru. Pemerintah hendaknya fokus pada stimulasi penciptaan lapangan kerja baru. Juga memberikan pelatihan-pelatihan pada masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan industri di Indonesia.

Menurutnya, ada empat resep penciptaan lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan. Pertama, menciptakan ekonomi yang sehat dan kuat. Kedua, menemukan cara kerja sama jangka panjang yang kompetitif dengan menemukan keunggulan komparatif di dunia. Ketiga, mewujudkan pemerintahan yang kuat dan efektif. Keempat, membuat program khusus bagi masyarakat miskin.

Target mengakhiri kemiskinan, seperti diungkapkan oleh Jeffry Sachs dalam bukunya The End of Poverty (2008), merupakan tanggung jawab bersama negara-negara di dunia yang melintasi batas nasionalisme. Kemiskinan yang melanda suatu negara merupakan sebuah penyakit yang sangat sulit dientaskan tanpa adanya pertolongan dari negara lain.


Sejak 2000, semua negara anggota PBB memiliki kesepakatan yang dituangkan dalam Milleneum Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan utamanya adalah pengurangan angka kemiskinan menjadi separuh pada 2015. Kemudian, sebuah pertanyaan besar yang menyoal bagaimana target itu bisa terpenuhi pun mengemuka. Pertanyaan ini memang sudah sewajarnya diungkapkan mengingat kondisi dan kapasitas APBN Indonesia yang kurang mumpuni.

Indonesia memiliki debt to GDP ratio sebesar 45,63 persen. Maka, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan berutang, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa tidak, setiap tahun fiskal 48,70 persen PPh dan PPn (Rp 210,71 T+ Rp 128,31 T=Rp 339,02 T) yang dibebankan ke masyarakat, habis untuk bayar utang pemerintah.

Hal ini menjadi hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan publik (public goods). Jadi, alih-alih menyejahterakan negara, dengan menambah utang justru semakin menyengsarakan negara.


BLT pada kasus 2009 juga dikucurkan pemerintah dari utang meski dalam kasus rencana BLT 2012 pemerin tah menolak bahwa itu akan bersumber dari utang. Namun, kita kurang yakin memiliki dampak positif bagi pengentasan kemiskinan.

Pemberantasan kemiskinan yang dilakukan dengan upaya teratur dan terukur merupakan tugas negara dan pemerintah sebagaimana diperintahkan konstitusi. Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks. Karena itu, cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan, dan tidak bersifat temporer seperti BLT.

Ismatillah A Nu’ad,
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA, 29 Maret 2012

No comments: