Tuesday, November 24, 2009

Negeri Tercinta Anggodonesia


Hiruk-pikuk persoalan yang membelit Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menjerat dua unsur pimpinan nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi isu terpopuler di sejumlah media massa selama berbulan-bulan.

Berbagai kejadian besar, mulai dari ledakan bom di JW Marriott dan The Ritz-Carlton, penyergapan teroris Ibrohim di Temanggung, Jawa Tengah, penangkapan gembong teroris Noordin M Top, hingga gempa besar di Padang Sumatera Barat, tak mampu mengalihkan perhatian publik dari perkara KPK.

Hingga kini, kepedulian publik juga terasa kental jika mengamati dunia cyber, melalui sejumlah jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter. Gerakan dukungan terhadap Chandra dan Bibit pun masih terus menggelembung.

Luapan kekritisan publik tampak nyata, natural, dan otentik di kedua jejaring itu. Sasaran kritik mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Polri, Kejaksaan Agung, dan tentu tak ketinggalan Anggodo. Pengguna Twitter juga tak ragu melemparkan kritiknya terkait masalah KPK itu ke akun Twitter milik Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring.

Kekritisan warga Facebook dan Twitter tak hanya tertuang dalam kritik-kritik pedas dan menggelitik, tetapi juga rekaan gambar hingga karikatur.


Di salah satu akun Facebook milik seorang berinisial YPT, misalnya, salah satu gambar rekaan memuat wajah Anggodo menghiasi lembaran uang kertas pecahan Rp 500.000. Di bawah gambar tersebut tertulis keterangan: ”Agar proses suap-menyuap lebih mudah pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan pecahan baru Rp 500.000,00. Jadi nyuap pejabat pemerintah gak perlu pake koper lagi”.

Anggodo tampaknya menjadi salah satu favorit sasaran komentar ataupun sindiran di dunia cyber. Seorang pemilik akun Facebook berinisial AL, misalnya, Sabtu (21/11) malam, menulis dalam statusnya, ”Negeri tercinta, Anggodonesia”.

Menanggapi serangan berbagai sindiran, pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, mengatakan, pihaknya tidak akan mempermasalahkan hal itu. ”Kami biarkan saja karena sebenarnya mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Tersinggung sih tersinggung, tapi kami maafkan. Karena seandainya mereka tahu apa yang mereka perbuat, mereka pasti tidak melakukannya,” kata Bonaran.

Di kalangan wartawan, suara Anggodo juga cukup diminati. Saat Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman sadapan pembicaraan telepon Anggodo, hampir semua wartawan yang meliput ikut merekam. Selain untuk kepentingan berita, rupanya beberapa wartawan menjadikan rekaman suara Anggodo itu sebagai ringtone telepon seluler. Bagian-bagian yang dipilih tentunya yang amat melukai hati nurani bangsa ini.

Sarie Febriane
KOMPAS, 22 November 2009

No comments: