Saturday, November 14, 2009

Nurani Lawan Keangkuhan


Wartawan senior Kompas menilai, membeludaknya dukungan terhadap kasus penahanan Bibit-Chandra oleh kepolisian menunjukkan nurani rakyat belum mati. ”Bagi rakyat, nurani inilah harta yang tersisa,” tutur wartawan itu melalui SMS kepada saya.

Meski rakyat telah lama menjadi bulan-bulanan dan tertipu bermacam retorika politik, baik dalam format janji-janji muluk saat pemilu maupun dalam corak pencitraan diri, toh dalam masa-masa kritikal nurani mereka yang terdalam tidak dapat dilumpuhkan. Itulah milik terakhir rakyat di tengah penderitaan yang belum teratasi sejak proklamasi, lebih dari 64 tahun lalu.

Sejarah Indonesia
Sebagai seorang peminat perjalanan sejarah Indonesia, dengan prihatin saya membaca, hanya sedikit di antara pemimpin kita yang benar-benar serius mengurus masalah bangsa ini demi mencapai tujuan kemerdekaan: keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Sebagian besar adalah petualang yang tidak merasa malu mengatakan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati.

Dengan kemajuan yang telah diraih di sana-sini dalam berbagai sektor kehidupan —dan capaian itu perlu disyukuri bersama— bangsa ini tetap dilingkari gurita budaya kumuh yang dapat membawa kita pada ketidakpastian masa depan.


Hingga detik ini, kita sedang membaui aroma busuk tentang kemungkinan adanya kaitan antara kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah dan perampokan (istilah Jusuf Kalla) yang menimpa Bank Century, tetapi kita tidak tahu sampai di mana benarnya serba dugaan itu.

Saya mendapat informasi dari salah seorang pengacara Bibit-Chandra, keduanya berniat melakukan pengusutan terhadap megakasus Bank Century, akan mereka teliti, selama ini, ke mana dana haram itu mengalir. Namun, segala kecurigaan ini akan tetap menggantung di langit tinggi selama keangkuhan kekuasaan masih mendominasi sistem perpolitikan kita, meski sering dibungkus dalam jubah kesopanan lahiriah. Pragmatisme politik amat terasa dalam kultur kita, sebuah kultur tunamoral dan tunavisi.

Namun, sekiranya Bibit-Chandra tak diperlakukan dengan cara kasar melalui penahanan paksa, reaksi publik tentu tidak akan sedahsyat seperti terjadi pada hari-hari terakhir ini. Presiden yang semula terkesan tak mau campur tangan karena menilai kasus itu sebagai kasus biasa, akhirnya ”dipaksa” kenyataan untuk membentuk apa yang disebutnya sebagai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIVFPH) dengan masa kerja dua minggu, mulai Selasa (3/11/2009).

Apakah tim ini akan berhasil melakukan tugasnya, mari kita tunggu. Namun, ungkapan independen agak sedikit terganggu oleh masuknya dua pakar hukum yang sudah sedikit menempel dengan kekuasaan, meski di kawasan pinggiran.

Sebagai seorang demokrat yang tak ingin melihat demokrasi menggali makamnya sendiri untuk sekian kalinya sejak kita merdeka, prasangka semacam ini harus saya tekan sambil menanti hasil kerja tim yang baru dibentuk. Siapa tahu, semua anggota tim adalah manusia merdeka yang hanya terikat dengan filosofi, demi tegaknya kebenaran dan keadilan, tidak peduli siapa yang membentuknya.


Sulit ditaati
Seterusnya keangkuhan kekuasaan dalam masalah Bibit-Chandra ini juga disampaikan seorang petinggi Polri dalam formula ”cicak lawan buaya”, meski Kapolri telah minta maaf agar istilah itu tidak lagi digunakan. Larangan penggunaan ungkapan keangkuhan ini sulit ditaati karena orang tidak mungkin melompat ke depan dalam satu kevakuman. Mohon saya dimaafkan Pak Kapolri jika istilah ini masih saya pakai dalam artikel ini. Cicak tidak lain adalah KPK yang kecil, berhadapan dengan Polri yang kuat, yang langsung berada di bawah payung presiden yang berkuasa, sebuah posisi yang perlu dipertanyakan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Akhirnya, saya berharap agar pertarungan antara Polri melawan KPK akan dapat diselesailan secara baik, jujur, dan adil. Jangan sampai kehebohan ini membawa kita pada krisis kepercayaan pada demokrasi yang sungguh berbahaya.

Sebagai catatan kecil di ujung artikel ini, saya perlu menyebut bahwa perhatian publik demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra ini sehingga gaungannya jauh melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) ala Obama yang digagas presiden pada awal masa jabatan keduanya.

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS, 4 November 2009

No comments: