Tuesday, November 24, 2009

Obsesi Kebablasan


Anggodo ialah putra tokoh sakti yang mumpuni secara jasmani dan rohani. Ia sendiri juga hebat dan pemberani. Setelah ayahandanya wafat, Anggodo diasuh pamannya. Ia dimanjakan dan mendapat ”teladan” dari watak pamannya yang kasar dan tak sabaran.

Ketika ada tugas yang sulit dan berat dari atasannya, ia bersaing dengan saudara tuanya, memperebutkan misi itu. Ia menyanggupi untuk menuntaskan tugas itu dalam tiga bulan. Saudara tuanya sanggup dalam sebulan. Penasaran, Anggodo menawar seminggu, tetapi dikalahkan saudara tuanya, yang sanggup menyelesaikan tugas itu dalam sehari saja.

Anggodo jengkel dan frustrasi, tetapi ia sadar bahwa menyelesaikan misi itu dalam waktu kurang dari sehari mustahil dapat ia lakukan. Tugas itu pun jatuh ke pundak saudaranya.

Euforia sirna
Euforia saudaranya karena menang dalam persaingan itu segera sirna. Anoman, kakak sepupu Anggodo, baru sadar sekarang bahwa ia menyanggupi tugas yang melebihi kemampuannya. Namun, Anoman isin mundur. Ia malu kalau harus mengembalikan mandatnya.


Tugas itu ialah untuk memastikan bahwa Sinta, istri Rama, memang dicuri oleh Rahwana dan untuk mengetahui perikeadaan Sinta di kerajaan Alengka. Padahal, di mana letak Alengka pun Anoman tidak tahu. Namun, apa boleh buat. Ia sudah telanjur menyanggupi tugas itu, jadi ya harus dilaksanakan.

Nasib baik berpihak kepada Anoman. Ia berhasil sampai ke Alengka dan merampungkan tugasnya. Mestinya ia langsung pulang dan melapor kepada Rama. Tetapi tidak! Ia memamerkan keampuhannya dengan membakar keraton Alengka. Ambisinya untuk tampil hebat memang besar.

Karena Alengka di seberang lautan, untuk menyerbu ke sana harus dibangun dulu sebuah jembatan. Wibisana, adik Rahwana yang berbalik memihak Rama, dengan kekuatan batinnya menciptakan jembatan itu. Anoman mencurigai ketulusan Wibisana, lalu menggunakan aji Maundrinya untuk menghancurkan jembatan itu. Ia membusukkan prestasi dan reputasi Wibisana. Digenjotnya jembatan itu sampai runtuh berantakan.

Ambisi dan obsesi Anoman dalam mengemban misi itu berlanjut sampai ia madeg pandhito di pertapaan Kendalisada. Ketika Karna yang terbakar oleh amarahnya melepaskan panah pusakanya, yakni Kunta Druwasa, Anoman menangkap anak panah itu, lalu menghaturkannya kepada Begawan Kesawasidi. Ia nyolu (mencari muka) di depan Kesawasidi. Ia bangga merasa membantu Arjuna yang akan menjadi lawan Karna dalam perang Baratayuda. Dengan Kunta Druwasa di tangan Kesawasidi, pusaka itu tidak lagi mengancam Arjuna.

Namun, Anoman justru dimarahi Kesawasidi. Tindakannya dinilai sebagai kelewat getol (over-zealous). Anoman divonis Kesawasidi sebagai orang yang sok pahlawan. Anoman tidak memiliki empati, tidak merasakan betapa sedihnya Karna kehilangan pusaka andalannya.

Apa arti kepastian hukum?
Kisah dari dunia pewayangan ini serupa dengan apa yang tengah terjadi di negeri ini. Tiga lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan KPK, terkesan berlomba memamerkan kebolehannya di mata publik.


Ada isin mundur (malu surut langkahnya), ada ambisi, ada obsesi, ada pembusukan, ada pembunuhan karakter, ada perang pernyataan melalui wawancara, debat terbuka di televisi dan radio, dengar pendapat dan konferensi pers. Semua disuguhkan di depan mata dan hati rakyat dengan aksi teatrikal yang dramatis.

Kalaupun dasarnya ialah niat baik untuk menunaikan tugasnya, tidak semestinya mereka berpegang pada maksim Het doel heiligt de middelen (Tujuan menyucikan alat/cara). Apalagi, jika tujuannya memang jahat sehingga The end justifies the means sama sekali tidak berlaku!

Ada pihak yang dengan bangganya mengutip semboyan, Fiat justitia ruat caelum (keadilan hendaknya ditegakkan meski langit akan runtuh). Namun, apa gunanya penegakan hukum kalau itu harus dibayar dengan runtuhnya langit? Apa artinya kepastian hukum secara positivistik dan legal-formal kalau keadilan diinjak-injak secara imoral?

Kalau mengenai kejadian yang sama, pernyataan A bertentangan dengan pernyataan B, mungkin kedua-duanya salah. Bisa juga salah satu di antaranya benar. Namun, tidak mungkin kedua-duanya benar meskipun sama-sama dikuatkan dengan sumpah di hadirat Allah. Pengadilanlah yang harus memutuskan siapa yang benar, dan siapa yang salah dan harus dipidana.

Sementara itu, Sang Pengemban Mandat Daulat Rakyat belum juga tergerak untuk menunjukkan karisma kepemimpinannya.

Quo vadis negara Pancasila Republik Indonesia?

L Wilardjo, Guru Besar Ilmu Fisika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
KOMPAS, 21 November 2009

No comments: