Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Friday, November 13, 2009
Tragedi Hukum di Hari Pahlawan
Setiap tanggal 10 November, kita sebagai warga Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan, namun pakar Komunikasi Politik UI Effendy Ghazali mengatakan bahwa momentum peringatan hari pahlawan tahun ini tercederai dengan munculnya tragedi ketidakadilan di bidang hukum.
"Hari ini adalah hari pahlawan, namun mungkin saat ini wajah pahlawan kita seakan-akan tergantikan oleh wajah Super Anggodo," kata Effendy dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (10/11).
Ia mengatakan, tercorengnya citra perjuangan para pahlawan disebabkan karena munculnya sikap ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ia menyanyangkan sikap Polisi yang tidak menahan Anggodo Widjojo, dimana yang bersangkutan jelas-jelas melakukan rekayasa dan mencatut nama presiden.
"Apakah memang Presiden mengakui keterlibatannya dengan tidak melaporkan Anggodo yang jelas-jelas mencatut namanya. Karena Presiden sebelum pemutaran rekaman meminta untuk menindak pencatut namanya," kata Effendi. Saat ini, lanjut Effendi, Anggodo seperti berada di atas hukum.
Sedangkan juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) Ray Rangkuti meminta Komisi III DPR RI mendesak Presiden SBY untuk melanjutkan keberadaan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit-Chandra agar diproyeksikan untuk menyelidiki dan memverifikasi semua fakta temuan yang terkait kasus PT Masaro Radiokom dan skandal bailout Bank Century. "Kami juga meminta komitmen DPR untuk melanjutkan Hak Angket Century," kata Ray.
Hadir sejumlah aktivis dan intelektual muda yang sudah cukup dikenal publik. Misalnya, sosiolog Thamrin Amal Tomagola, analis politik Andrinof A Chaniago, Usman Hamid (Kontras), Illian Deta Arta Sari (ICW), Benny Susetyo (rohaniwan), Frangky Sahilatua (seniman), Yudi Latif (Reform Institute), dan Ray Rangkuti (Lima). Anggota Kompak yang hadir antara lain ahli komunikasi politik Effendy Ghazali, aktivis demokrasi Fadjroel Rachman, Ismeth Hasan Putra, Faisal Basri, Sebastian Salang, Jeiry Sumampou, Johan O Silalahi, dan beberapa aktivis anti korupsi lainnya.
Acara yang dihadiri jajaran lengkap Komisi III itu dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya diiringi petikan gitar Franky Sahilatua. Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta yang dipimpin Ketua Komisi III Benny Kabur Harman.
Ray menambahkan, Komisi III harus dapat bersikap objektif, rasional, dan berpihak kepada suara rakyat. "Jangan menjadi corong suara pihak yang bersengketa, khususnya dalam memberantas korupsi dan mafia hukum," tandas Ray.
Penegasan ini terkait Raker Komisi III DPR dengan Kapolri, Kamis (5/11) malam lalu. Saat itu, muncul kesan kuat, para wakil rakyat membela Kapolri dan jajarannya.
Kaitan dengan Cak Nur
Yudi Latif menyesalkan berkembangnya spekulasi Kapolri mengenai hubungan MS Kaban dan Chandra Hamzah, yang sempat menyebut inisial N, yang diduga Nurcholish Madjid (almarhum Cak Nur), terkait kasus tersebut. Menurut Kapolri, MS Kaban pernah membantu Chandra Hamzah dalam pernikahannya dengan Nadia Madjid, putri Nurcholish Madjid. Dari sana, Chandra yang belakangan menjadi Pimpinan KPK berutang budi kepada MS Kaban. ”Pernyataan Kepala Polri bahwa proses hukum terhadap mantan Menteri Kehutanan MS Kaban dipetieskan KPK karena Chandra ada utang budi juga terlalu mengada-ada,” ujar Yudi.
Sehingga, dugaan aliran dana Masaro sebesar Rp 17,6 miliar tidak ditindaklanjuti KPK. "Mengapa nama Cak Nur (panggilan populer Nurcholish Madjid) disebut-sebut. Padahal, Kaban tidak pernah diundang dan tidak hadir dalam pernikahan itu. Persoalan ini sepele, bisa dicek datanya ke KUA, tapi tidak dilakukan Kapolri. Masalah keluarga dipakai untuk membangun asumsi hukum. Jelas ini kebohongan publik," beber Yudi dengan nada tinggi. Yudi mendesak Komisi III untuk mengklarifikasi persoalan ini kepada Kapolri.
Terkait masalah itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, seperti dikemukakan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna secara terpisah, akan mencoba meluruskan, mengklarifikasi, dan mendekati secara personal keluarga almarhum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid.
Desakan mundur
"Saat ini masih ada saja praktisi hukum yang terkena praktek makelar kasus alias markus," kata Faisal Basri pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Selasa (10/11) malam itu.
RDPU tersebut dilaksanakan terkait dengan persoalan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR itu Faisal Basri melontarkan kritik yang sangat pedas. Menurut dia, pejabat di luar negeri, misalnya Jepang, yang terbukti sengaja berbuat kejahatan atau kesalahan akan merasa malu. Untuk menebusnya, kata Faisal, kalau tidak bunuh diri, minimal mengundurkan diri.
”Jika di luar negeri, Kepala Polri atau Jaksa Agung sudah bunuh diri atau setidaknya mundur. Saya tidak tahu seperti apa yang dimiliki pembengkok hukum di Indonesia. Namun, saya yakin, Kepala Polri dan Jaksa Agung adalah orang baik sehingga, mulai besok mundurlah,” ujar ekonom Faisal Basri. Dia menyebut aparat mulai tidak lagi menunjukkan sebagai penegak hukum, melainkan pembengkok hukum. "Mereka bekerja seperti mesin. Tidak tahu lagi hukum untuk menegakkan keadilan," tegas Faisal.
Bisa jadi bola liar
Sementara itu aktivis dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola meminta Presiden untuk segera melakukan tindakan cepat dan cerdas mengatasi konflik antar-lembaga hukum agar tidak terjadi tragedi yang tidak diinginkan.
"Konflik antar-lembaga hukum ini jika tidak segera diatasi bisa bergerak cepat menjadi bola liar dan bisa menjadi tragedi yang tidak diharapkan," kata Thamrin.
Dikatakan Thamrin, keresahan masyarakat yang saat ini meluas harus segera disikapi dengan tindakan kongkrit dari pemerintah. Selama ini, katanya, masyarakat hanya diam tapi dengan munculnya konflik antar-lembaga hukum, masyarakat kini tidak lagi diam tapi memiliki sikap tersendiri yakni meminta pemerintah agar segera membenahi persoalan di lembaga hukum.
"Jika hal ini tidak segera diatasi bisa terjadi gerakan di ranah publik," katanya.
Memanas
Kembali ke rapat dengar pendapat Komisi III, setelah menyampaikan aspirasi, sekitar pukul 22.40 suasana memanas. Sejumlah anggota Kompak sempat memutuskan untuk keluar meninggalkan sidang setelah Ray Rangkuti membacakan isi kesimpulan poin ketiga hasil rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III, Selasa sore. Kesimpulan ketiga itu berbunyi: Komisi III DPR RI mendesak Kejaksaan RI untuk menangani perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Chandra Hamzah dan Bibit S Rianto.
Ray minta kebenaran isi dari kesimpulan, yang menurut Thamrin Amal Tomagola merupakan pengkhianatan terhadap hati nurani rakyat. Fadjroel juga bertanya, apakah dengan demikian Komisi III DPR tidak memerhatikan hasil kerja Tim Delapan.
Ketua Komisi III Benny Kabur Harman sempat memberikan penjelasan. Namun, dengan cepat suasana menjadi panas dan gaduh sehingga Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi III, mengetuk palu berkali-kali untuk menutup sidang dan meminta Fadjroel sebagai pimpinan rombongan Kompak bertanggung jawab. Setelah itu, Azis meninggalkan ruangan.
Fadjroel, Usman Hamid, dan Ray sempat berteriak-teriak meminta agar rapat dilanjutkan. Sekitar pukul 22.50, Kompak memutuskan untuk kembali duduk di ruang sidang menunggu sidang dibuka kembali. Namun, pimpinan Komisi III meninggalkan sidang. Hingga waktu habis pukul 23.00 ternyata pimpinan Komisi III tidak lagi hadir di ruang sidang.
Ketua Komisi III DPR-RI, Benny Kabur Harman akhirnya benar-benar kabur ….
Sumber: KOMPAS, Media Indonesia, ANTARA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment