Sebaliknya kalau anda fokus membahas “messenger”, “orang”, atau “pribadi pembawa pesan”, maka yang terjadi adalah saling hina-menghina. Bullying. Akibatnya, perbedaan menjauh, permusuhan menjenuh.
Salah satu contoh yang populer dari perilaku bullying ini terjadi dalam kasus penistaan oleh Ahok. Kaum muslimin mengangkat persoalan itu ke dalam wacana, membahas topiknya mulai dari sisi diksi, etimologi, sosial dan agama. Pembahasan itu dilakukan di media sosial maupun di dalam lembaga peradilan dengan melibatkan saksi-saksi sangat terpelajar. Ketika elaborasi tersebut berakhir dengan Ahok dinyatakan bersalah, kubu Ahoker dan Jokower justru meledak.
Setelah putusan pengadilan itu, bukannya berefleksi mereka malah melancarkan tuduhan bahwa ada “perang agama”, “perang rasial”, “perang melawan intoleransi”.
Kemudian terjadi kontradiksi. Pihak yang melakukan diskriminasi malah menyatakan bahwa mereka adalah pihak yang toleran. Mereka mengejar-ngejar pihak emak-emak yang mau deklarasi. Polisi dikerahkan dimana-mana untuk menjaring orang-orang dengan tuduhan yang tidak terbukti, dan memudahkan orang-orang mempersekusi para ulama dan para tokoh yang beroposisi kepada petahana.
Adanya kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa pembedaan-pembedaan yang dibikin bersifat artifisial. Pembedaan itu dibikin untuk tujuan politik, sehingga argumentasinya dangkal. Tidak bisa menjadi argumen hukum dan jauh dari argumentasi yang bersifat akademis dan filosofis.
Konsekuensi dari pikiran-pikiran dangkal adalah munculnya kontradiksi-kontradiksi baru. Sebagai contoh, “suara azan” dianggap sebagai bentuk intoleransi. Padahal “suara azan” sudah hadir jauh sebelum tamu “anti-azan” datang. Kontradiksi muncul pada problem siapa yang harus menyesuaikan diri: tuan rumah atau tamunya, mayoritas atau minoritas?
Sekulerisme itu berkenaan dengan penggunaan prinsip dan metoda sains dalam proses pengambilan keputusan publik. Sekulerisme tidak menyuruh orang beragama untuk meninggalkan nilai-nilai dan ritual agama. Di dunia Barat dimana sekulerisme dianggap normal tidak ada larangan memilih pemimpin berdasarkan referensi agama atau warna kulitnya. Di sana partai agama (Kristen) hadir dimana-mana, hadir di hampir semua negara di dunia. Di Indonesia saja ada banyak partai Kristen dan Katolik, antara lain Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Kristen Demokrat, Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Demokrasi Kristen Nasional, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Partai Anugerah Demokrat, Partai Kemerdekaan Rakyat dan Partai Kristen Nasional.
Ada banyak kontradiksi lain, misalnya bagaimana minoritas 1,4 persen bisa menguasai ekonomi dan mendominasi kekayaan bangsa? Tetapi di sini bukan tempat untuk mengurai itu semua. Yang jelas kontradiksi-kontradiksi itu mengakibatkan kubu Jokower kehilangan basis intelektualnya. Mereka terus menerus kelabakan terutama ketika pikiran-pikiran mereka diuji oleh pemikir rasional sekelas Rocky Gerung. Saking kesal sebab selalu diterpa oleh pikiran-pikiran dangkal, Rocky Gerung menyebut jokower sebagai kecebong dungu. Sementara itu di media sosial pikiran-pikiran dungu itu diluluh-lantakkan oleh kecerdasan publik. Last but not least, tanpa content yang kokoh strategi media sosial Jokowi, yang didukung ratusan buzzer yang pernah berjaya di 2014, belakangan hancur tidak berdaya.
Keterpurukan Jokower ini tidak menjadi lebih baik setelah dalam debat (17/1/2019) Jokowi gagal menunjukkan dirinya sebagai negarawan.
Namun Jokowi telah menunjukkan bahwa ia sekadar politikus biasa. Jokowi memilih untuk menyerang pribadi Prabowo, bukan membahas persoalan bangsa. Secara moral, Jokowi tidak menunjukkan perbedaan antara dirinya dengan para pengikutnya.
Begitulah, Jokowi sedang menulis di batu nisan kuburannya sendiri.
Radhar Tri Baskoro,
Ketua Forum Aktivis Bandung
Law-Justice.Co, 21 Januari 2019
No comments:
Post a Comment