Ya Nabi salam ‘alaika .…
Ya Rasul salam ‘alaika ….
Ya habibie salam ‘alaika ….
Shalawatullah ‘alaika ….
Sekitar 1.000 anak-anak menghampar di lapangan rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.
Suasana Pondok Pesantren Ban Tan malam itu terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang mungil itu, naik mobil kira-kira satu jam ke pedalaman.
Masuk di tengah-tengah desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun di awal abad lalu, sekitar tahun 1900-an, dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yang tersebar di kampung-kampung yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Malam itu, melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tuanya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga Ke-Islaman, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini kehadirannya penuh nuansa damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.
Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960-an, cucu tertua pendiri pondok akan dikirimkan ke Amerika.
Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!? Tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separuh, takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.
Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok yang tanpa listrik itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.
Dia pulang sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halamannya itu jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah Menteri Luar Negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas beragama Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan pondok ini nampak megah. Setiap bangunan merupakan wujud bantuan dan dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk pondok mungil di pedalaman ini. 10 orang adiknya (dari satu ayah-ibu) menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.
Dia tidak pernah hilang seperti diduga oleh guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin Pitsuwan, tahun 2006 yang lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadū bi annā muslimūn.
Ramadhan kemarin, saat kami makan malam –Ifthar bersama– di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin mengundang saya ke pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa SMS meyakinkan saya, bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.
Ketika duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya. Merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya duduk shalat berjamaah di samping Surin, selesai shalat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.
Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songkhla, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya unik; dia jawab kakeknya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramaut. Mendengar itu, Surin tertawa dan minta kita bersalaman sekali lagi.
Hari itu saya bersyukur dan bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia masih belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai. Surin ingin kenalkan saya dengan ulama yang berasal dari Minangkabau.
Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang juga sangat sederhana, di belakang Madrasah yang dipimpinnya. Kami berdiskusi tentang suasana di sini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto orangtuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dinul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.
Sekali lagi kita ditunjukkan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah, lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun jaringan (network), merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.
Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.
Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di Pondok Ban Tan, usia beliau sekitar 90-an tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.
Barakallahu lakum . . . .
Just landed in Jakarta; Oct 4, 2010; 00.30 am.
(Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta)
Anies Rasyid Baswedan Ph.D
Rektor Universitas Paramadina
Riwayat Singkat Surin Pitsuwan
Surin Pitsuwan lahir di Nakhon Si Thammarat pada 28 October 1949, dan sejak lama menjadi politisi Thai yang disegani. Lulusan Thammasat University, Thailand, ini kemudian berhasil meraih cum laude dari Claremont McKenna College, California, dalam bidang political science pada 1972. Salah seorang fellow pada The Rockefeller Foundation ini meraih MA dari Harvard University dan melakukan riset pada the American University in Cairo sejak 1975 hingga 1977, sebelum ia kembali ke Harvard untuk menerima gelar Ph.D pada 1982.
Karir politiknya dimulai sejak ia duduk sebagai anggota DPR mewakili wilayah Nakhon Si Thammarat dan menjadi Sekretaris DPR pada 1986. Pada 1988 dia ditunjuk sebagai Sekretaris Menteri Dalam Negeri. Kemudian, sejak 1992 hingga 1995 Surin menjadi Wakil Menteri Luar Negeri, sebelum akhirnya ia menjadi Menlu Thailand pada 1997 hingga 2001.
Surin rajin menulis di dua surat kabar berbahasa Inggris di Bangkok sejak 1980 hingga 1992. Pada periode antara 1983 hingga 1984, Surin bekerja di Konggres AS sebagai Congressional Fellow, Congressional Fellowship Program, the Asia Foundation di American Political Science Association (APSA). Disamping itu, ia juga mengajar di Fakultas Hubungan Internasional di American University di Washington, D.C.
Surin pernah dianggap sebagai kandidat utama menggantikan Sekjen PBB Kofi Annan, namun sehubungan dengan kondisi politik dalam negeri Thailand, pemerintah Thailand pada saat itu di bawah Thaksin Shinawatra menunjuk mantan Menlunya, Surakiat Sathianthai, untuk maju berkompetisi di PBB. Tapi Surakiat kalah oleh Ban Ki-moon. Banyak akademisi dan analis politik mengatakan, seandainya ketika itu Thailand mengajukan Surin, maka diduga kuat ia akan mengalahkan Ban Ki-moon sebagai pemimpin di PBB.
Catatan Syafiq Basri
https://syafiqb.com/2013/05/05/pondok-ban-tan-anies-baswedan/
Mantan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan Tutup Usia
Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan, meninggal dunia di usia 68 tahun akibat serangan jantung pada Kamis (30/11/17).
Sebagaimana diberitakan Bangkok Post, Surin terkena serangan jantung saat sedang bersiap berbicara di acara Thailand Halal Assembly 2017 Bangkok International Trade and Exhibition Centre.
Surin kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Ramkhamhaeng, di mana dia kemudian dinyatakan meninggal dunia.
Semasa hidupnya, Surin dikenal dunia internasional sebagai Menteri Luar Negeri Thailand sebelum menjadi Sekjen ASEAN yang berdedikasi tinggi.
Lahir pada 28 Oktober 1949, Surin tumbuh menjadi seorang pelajar cemerlang hingga lulus dengan predikat cumlaude dari fakultas ilmu politik Claremont McKenna College, California.
Para pelayat mengusung keranda mantan menteri luar negeri dan sekretaris jenderal ASEAN Surin Pitsuwan dari rumahnya di distrik Muang ke Masjid Tha It di distrik Pak Kret di provinsi Nonthaburi, Thailand pada hari Jumat (1 Desember 2017) untuk pemakaman.
(Foto oleh: Bangkok Post-Tawatchai Kemgumnerd)
Dia lantas melanjutkan studinya di Harvard University, kampus bergengsi yang memberikannya gelar Ph.D pada 1982.
Surin mulai meniti karier politiknya ketika terpilih sebagai Anggota Parlemen yang mewakili Nakhon Si Thammarat sebelum didaulat menjadi Sekretaris Ketua Dewan Perwakilan pada 1986.
Sempat menduduki kursi Asisten Sekretaris Menteri Dalam Negeri Thailand, Surin kemudian ditunjuk menjadi Wamenlu sebelum dilantik sebagai Menlu pada 1997.
Selama menjadi Sekjen ASEAN pada 1999 - 2000, Surin memimpin asosiasi tersebut melalui sejumlah masa berat, seperti upaya membuka Myanmar hingga meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan.
Di bawah komando Surin, ASEAN pun mulai menjadi pemain penting di dunia hubungan internasional. Sebuah editorial Jakarta Post bahkan menyebut Surin sebagai Sekjen ASEAN paling produktif sepanjang sejarah asosiasi tersebut.
Hanna Azarya Samosir,
CNN Indonesia, 30 November 2017
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171130163127-106-259278/mantan-sekjen-asean-surin-pitsuwan-tutup-usia
Tanggapan Anies di Facebook
Surin Pitsuwan meninggal dunia, begitu isi pesan singkat yang masuk kemarin sore. Kabar amat mengejutkan. Beberapa waktu kemudian muncul berita, Surin Pitsuwan wafat karena serangan jantung saat akan berbicara dalam Musyawarah Halal Thailand, di Bangkok. Benar-benar berita yang amat mengejutkan.
Usia kami berbeda 20 tahun, tapi persahabatan terasa sangat erat. Secara berkala kami berjumpa dan diskusi panjang setiap bersama-sama hadir di berbagai konperensi.
Saat Almarhum menjabat Sekjen ASEAN, Intensitas pertemuan jadi makin sering. Bahkan anaknya yang kuliah di Amerika dititipkan untuk magang di Kegiatan Indonesia Mengajar. Seselesainya sebagai Sekjen ASEAN di tahun 2013 dan kembali ke Bangkok, Surin menghibahkan mobilnya untuk kegiatan Indonesia Mengajar.
Jika saya ke Bangkok, maka saya temui beliau. Demikin pula sebaliknya, setiap beliau datang ke Jakarta beliau selalu berkabar. Perjumpaan kami terakhir di Jakarta bulan Mei yang lalu. Saat itu kami duduk ngobrol saling bertukar pikiran.
https://indonesiana.tempo.co/…/dilepas-ke-orbit-dunia-kisah…
Kisah perjalanan hidupnya adalah inspirasi bagi anak-anak muda di Thailand dan bagi kita semua.
Dari Jakarta kita doakan semoga Almarhum dimuliakan, ditinggikan derajatnya di sisi Allah Swt dan diampuni semua salah dan dosanya. Al-Fatihah ....
Anies Baswedan
1 Desember 2017
https://www.facebook.com/aniesbaswedan/posts/surin-pitsuwan-meninggal-dunia-begitu-isi-pesan-singkat-yang-masuk-kemarin-sore-/1487225437981104/
No comments:
Post a Comment