Monday, January 21, 2019

Karma Sejarah


Dalam debat, Jokowi bilang tidak sepeserpun mengeluarkan duit waktu nyalon Gubernur Jakarta. Prabowo tersenyum sambil menunjuk adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Timses Jokowi saat di pilbub membenarkan, Hashim yang menggelontorkan duit ratusan milyar untuk Jokowi. Pada saya, termasuk beberapa pimpinan media massa Jakarta di Mid Plaza, Hashim mengaku dulu sering ditipu karena masih lugu.

Dalam politik, siapa memanfaatkan apa memang sering terjadi. Saya menduga, Hashim berprasangka baik pada Jokowi, karena tahun 2009, ketika Prabowo jadi cawapres Mega, ada perjanjian Istana Batu Tulis, Bogor. Perjanjian itu berisi: PDIP akan mendukung Prabowo untuk nyapres di 2014. Tapi namanya politik, siapa yang lugu akan dilindas. Hashim nampaknya terlalu percaya.

Hashim, Ahok, Jokowi dan Prabowo, mereka semua pernah satu perahu politik.

Dalam pandangan Prabowo, Jokowi tidak akan maju di Pilpres 2014 karena sudah dibiayai Hashim saat nyagub. Sama seperti Ahok, yang ditarik dari anggota DPR Golkar kemudian ditampung di Gerindra. Belakangan Ahok keluar begitu saja dari Gerindra, yang telah mendukungnya mati-matian untuk menduduki kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Banyak kasus serupa terjadi. Emil Dardak didukung PDIP jadi Bupati Trenggalek. Tapi ia memilih keluar dari PDIP dan gabung Demokrat, untuk meraih kursi Wakil Gubernur Jawa Timur. Ridwan Kamil juga disupport Prabowo dan PKS saat akan meraih kursi Wali Kota Bandung. Tapi ia kini mendukung Jokowi, setelah kursi Gubenur Jawa Barat diraihnya.

Prabowo mengusung Anies - Sandi di Pilkada DKI, 2017, seperti yang pernah dia lakukan ketika mengusung Jokowi - Ahok tahun 2012 yang lalu.

Mungkin yang paling menarik adalah Anies Baswedan. Sama seperti Jokowi, Ahok dan Ridwan Kamil, Anies juga mengaku tidak punya dana. Tapi berkat sokongan Prabowo, Anies jadi gubernur. Cuma di sini, Anies menunjukan kelasnya yang berbeda. Ia tidak mau mendukung Jokowi, termasuk enggan dilibatkan dalam kontestasi pilpres saat namanya sering disebut, karena tidak mau mengkhianati Prabowo.

Saya justru salut dengan sikap Prabowo. Dikhianati bolak balik ia tidak pernah marah. Coba bandingkan kasus yang terjadi pada hubungan Mega dan SBY. Tahun 2004, Mega menuduh SBY mencuri start kampanye pilpres, dan lalu mengucilkannya. Mega menganggap SBY mengkhianatinya. SBY kemudian bentuk Partai Demokrat, dan ia mengalahkan Mega dua kali dalam Pilpres. Sampai sekarang, tak ada pintu terbuka dari Mega untuk SBY.

Kebalikan dengan Jokowi, Anies berbalik dari musuh politik Prabowo menjadi pendukung setia yang tak mau berkhianat dalam Pilpres 2019.

Anies dan Prabowo adalah tipikal politisi yang tidak mudah menusuk kawan seiring. Prabowo mungkin ditempa oleh kawah candradimuka pasukan Kopassus, yang punya jiwa korsa setinggi pohon kelapa. Jiwa korsa adalah perasaan setiakawan di lapangan, hingga apapun yang terjadi pada teman, terluka atau mati, harus tetap diselamatkan sekuat daya. Anies barangkali belajar soal fatsoen politik ini dari kakeknya yang pahlawan nasional.

Kita sudah lelah disodori praktik politik Machiavelli, dari zaman orde lama dan orde baru. Lewat politik menghalalkan segala cara itulah, ada produk MPRS yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Di zaman orde baru, sering terjadi operasi kontra intelijen, untuk menghitamkan pihak lain. Maka sikap Anies dan Prabowo, mungkin jadi semacam oase, bahwa berpolitik pun ada etikanya. Karena semua ujung-ujungnya, pasti akan terkena karma.

Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, walau berbeda agama dengan kakaknya yang muslim, namun senantiasa setia mendukung langkah-langkah politik Prabowo.

Soekarno terjungkal. Soeharto terjungkal. Ahok terjungkal. Apa pelajaran yang bisa dipetik? Hashim Djojohadikusumo kemudian melanjutkan. Setelah pengalaman pahit berkali-kali, sekarang mereka lebih waspada. Apalagi ada kasus Ratna Sarumpaet, yang tidak disangka bisa berbohong. Padahal rekam jejaknya sebagai aktivis begitu sempurna.

Kalau artis A ngomong kemudian kita tidak percaya, okelah. Ini Bu Ratna. Seorang aktivis yang punya rekam jejak puluhan tahun dan dikenal berintegritas. Tapi itulah. Dulu kita terlalu lugu. Sekarang tidak. Ini pelajaran berharga,” ujar Hashim.

Kematangan dalam berpolitik lahir dari pengalaman dan karakter. Ada yang sedikit-sedikit pamer hasil kerja, sementara ia tidak pernah memamerkan orang yang telah berbaik hati mengangkatnya dari bawah meja. Sebaliknya, ada yang jarang memamerkan hasil kerja, tapi ia tidak pernah lupa memamerkan siapa orang yang telah mengusungnya. Semuanya akan menanggung karma sejarahnya: entah kapan karma itu tiba …. the end.

Ariful Hakim
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=2165915773724521&id=100009183578925

No comments: