Saturday, May 26, 2012

Neo-kolonialisme, Kepanjangan Tangan dari Imperialisme


Berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan menyerahnya Jerman kepada pihak Sekutu Barat -termasuk Uni Soviet- pada tahun 1945, telah memicu proses dekolonisasi di seluruh Dunia. Saat itu nampak ada tanda-tanda imperialisme akan segera berakhir. Namun setelah lebih dari setengah abad kemudian, negara-negara kaya ternyata tak mau melepaskan tanah jajahannya begitu saja. Mereka masih berupaya keras untuk terus terlibat di negara-negara berkembang yang kebanyakan masih miskin dan belum berpengalaman membangun negara.

Menurut para pengamat yang kritis, keterlibatan negara-negara kaya tersebut tak lebih dari wajah baru imperialisme. Operasi mereka di negara-negara berkembang sering menyamar sebagai bantuan pembangunan. Secara teoritis, sistem ini bisa disebut sebagai neo-kolonialisme. Intinya, negara-negara berkembang masih menjadi lahan eksploitasi negara-negara maju. Sebagaimana akan kita lihat, praktek neo-kolonial telah mengambil berbagai bentuk. Dalam hal ini yang paling jelas adalah kasus di Indonesia.


Kontrol ekonomi
Selama beberapa dekade, pilar paling utama “kontrol neo-kolonial” ditegakkan melalui keterlibatan ekonomi yang luas di negara berkembang. Pertama-tama, kebijakan ini dilakukan melalui “bantuan” keuangan yang ditawarkan. Sebagai imbalan atas dana dan investasi ini, negara-negara miskin dipaksa untuk mematuhi peraturan yang ketat. Peraturan ini kemudian mengikat ekonomi ‘negara lemah’, terutama negara-negara di Asia Tenggara dan Afrika. Akibat ikatan yang kuat bagi ‘negara lemah’ ini, tentu saja menempatkan mereka di bawah kontrol yang ketat dari negara-negara ekonomi kuat.

Indonesia, hingga saat ini, telah dan masih menumpuk utang luar negeri yang besar. Dan debitur utamanya adalah IMF, Bank Dunia dan Jepang. Sebagian besar utang luar negeri tersebut terjadi pada masa 30 tahun pemerintahan Suharto, yang dimulai pada tahun 1967. Sejak tahun 1967 dan seterusnya inilah, kebijakan ekonomi Indonesia menjadi sangat tergantung pada keputusan pihak asing.


Pihak asing yang merupakan negara-negara donor itu dikumpulkan dalam sebuah konsorsium yang dikenal sebagai Kelompok Antarpemerintah untuk Indonesia (IGGI), yang kemudian direformasi menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI), yang akhirnya dibubarkan pada tahun 2007. Konsorsium pemberi pinjaman ini terutama Barat, termasuk IMF, harus dimintai persetujuan ketika Indonesia mengajukan anggaran. Dan mereka juga menilai berapa banyak “bantuan” (pinjaman) yang akan disediakan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang lebih bagaikan hidup dalam penjara. Kondisi yang ketat bisa dilihat misalnya pada privatisasi paksa di berbagai sektor serta suku bunga pinjaman yang sangat tinggi yang harus ditanggung Indonesia.

Negara-negara kaya juga mulai membidik bahan baku bagi industri mereka dari banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Seperti halnya banyak negara berkembang lainnya, Indonesia sangat kaya akan minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, emas, dan lain-lain. Sebagian besar bahan baku itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara maju seperti AS. Sebagai imbalan bagi investasi asing yang masuk ke negara berkembang tersebut, para investor dari negara maju sering memperoleh hak monopoli untuk eksploitasi dan operasinya. Selain itu, skala besar eksploitasi bahan-bahan ini di Indonesia mengklaim lahan secara luas, masal dan dengan rentang waktu yang panjang, antara 50 hingga 100 tahun. Begitu pula yang terjadi di negara-negara miskin lainnya, sehingga mengancam mata pencaharian dan sumber kehidupan penduduk setempat.


Cara-cara lain eksploitasi
Selama dekade terakhir, investasi asing yang luas telah mencakup semua sektor di Indonesia. Tapi, ada cara baru untuk eksploitasi ekonomi yang muncul. Salah satu cara yang dikembangkan sebagai akibat dari krisis pangan dunia akhir-akhir ini adalah pembelian dan atau penyewaan lahan dengan waktu yang sangat panjang (kontrak karya). Berbagai negara kaya minyak mulai membeli sumber daya lahan dan pertanian di negara miskin, dengan maksud untuk mengamankan pasokan pangan mereka sendiri. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai ‘land grabbing’, kini lebih mengancam kehidupan para petani di Asia Tenggara dan Afrika.

Eksploitasi neo-kolonial tidak hanya beroperasi di bidang ekonomi atau pertanian, tetapi juga di bidang politik, agama, ideologi dan budaya. Sebagai akibat dari meningkatnya globalisasi, negara-negara menjadi lebih mudah dan lebih tunduk pada eksploitasi. Penyebaran budaya internasional (Barat) melalui globalisasi menjadi lebih memudahkan Barat untuk mendominasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kini sedang dan sudah berubah. Jumlah supermarket gaya Barat dan jaringan restoran cepat saji, misalnya, telah tumbuh sangat cepat hanya dalam beberapa tahun terakhir hingga jauh ke pelosok desa. Dengan pola konsumsi yang telah berubah ala Barat, pada akhirnya membuat sejumlah besar konsumen Indonesia lebih tergantung dari perusahaan multinasional Barat. Maka tidak mengherankan, bila neo-liberalisme dan globalisasi telah menjadi subyek perdebatan yang sangat tajam di Indonesia.


Pariwisata masal sebagai praktek neo-kolonial
Di antara sekian banyak cara neo-kolonialisme beroperasi, pariwisata masal juga harus disebutkan. Selain berbahaya karena terlihat nyata di depan mata, pariwisata masal di negara-negara ‘Dunia Ketiga’ memiliki karakter yang sangat eksploitatif. Alasan utamanya adalah terletak pada hubungan yang tidak setara antara wisatawan, yang secara ekonomi kaya dan dominan, dengan kepatuhan ‘lokal’ penduduk setempat yang umumnya miskin. Hal ini sering dianggap pula sebagai pihak ‘lain’ yang lebih inferior. Ketidaksetaraan ini dapat memiliki efek yang dramatis. Tidak hanya melalui sikap neo-kolonial mereka ketika berkeliling mengeksplorasi tujuan wisata, tetapi inilah bentuk eksploitasi fisik dan budaya yang sebenarnya.

Dua efek yang langsung bisa disebutkan di sini, yang pertama, pariwisata masal di Asia Tenggara menjadi lebih berkembang dan lebih terkait dengan pariwisata seks. Di Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, pariwisata telah berkembang menjadi industri besar. Terutama wanita, dan yang menyedihkan banyak juga anak-anak yang sering ‘dipaksa’ terlibat dalam industri seks. Kedua, di daerah tujuan wisata populer seperti Bali, pariwisata masal dengan cepat mengubah budaya lokal menjadi komoditas global. Dengan kondisi seperti ini dan dengan banyak cara lainnya, kebanyakan negara berkembang telah menjadi sangat tergantung dari segala macam keterlibatan asing. Inilah harga yang harus dibayar yang nampaknya terlalu mahal.


Orang kaya dan orang miskin
Puluhan tahun setelah dekolonisasi, kepanjangan tangan imperialisme nampaknya masih menggurita di sepenjuru dunia. Utamanya ke negara-negara miskin atau sedang berkembang. Orang kaya dari negara maju, masih akan dan terus berdatangan mengeksploitasi kaum miskin di bekas koloninya dan di negara-negara miskin lainnya.

Kenyataannya, hingga kini masa kolonial memang belum sepenuhnya berakhir. Dan, neo-kolonialisme sebagai kelanjutan dan kepanjangan tangan dari imperialisme memang tidak ditemukan dalam semalam. Sejarah mereka sudah demikian panjang dan tua. Jadi kekuasaan kolonial mungkin memang tidak akan pernah berakhir. Kecuali … bila ajal sudah menjemput mereka.

Sumber tulisan:
Ed Caffin,
[diedit seperlunya oleh pengunggah]
http://latitudes.nu/neo-colonialism-the-long-arm-of-imperialism/

1 comment:

Agreva Tania said...

Wah ijin copy ya :) Terimakasih banyak :)