Amanat melembagakan demokrasi ekonomi dijabarkan melalui ketiga ayat asli dalam Pasal 33 UUD 1945: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; serta (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, sebagaimana berlangsung sejak 17 Agustus 1945, amanat melembagakan sistem demokrasi sosial itu terus-menerus ditentang pihak kolonial dan kaki tangannya. Dalam rangka itu, selama 67 tahun belakangan ini, pihak kolonial telah melancarkan berbagai subversi untuk menelikung amanat UUD 1945 itu.
Secara ringkas, rangkaian subversi yang dilakukan pihak kolonial menelikung pelembagaan sistem demokrasi sosial itu adalah: (1) melancarkan Agresi I dan II dalam tahun 1947-1948; (2) memaksakan tiga syarat ekonomi melalui penandatanganan kesepakatan KMB pada tahun 1949; (3) melakukan destabilisasi ekonomi-politik melalui pemberontakan PRRI/Permesta pasca-pembatalan KMB pada tahun 1956; (4) menyelundupkan beberapa ekonom Indonesia ke AS untuk mempelajari kapitalisme; (5) mendelegitimasi pemerintahan Soekarno melalui peristiwa G-30-S pasca-penerbitan UU No 16/1965; (6) memaksa Soekarno menandatangani UU No 7, 8, 9/1966 dan UU No 1/1967 demi memulihkan kesepakatan dalam KMB; (7) menyokong terbentuknya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner pada tahun 1967; (8) melakukan liberalisasi tahap pertama melalui pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi pada tahun 1982; (9) melakukan liberalisasi tahap kedua melalui penandatanganan LOI pada tahun 1998; serta (10) memulai proses legalisasi neokolonialisme melalui penerbitan beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Di satu sisi, rangkaian subversi neokolonialisme itu tidak hanya berakibat pada terhalangnya proses pelembagaan sistem demokrasi sosial di Indonesia. Tindakan itu menjerumuskan bangsa ini ke dalam kondisi yang saya sebut sebagai keterjajahan permanen. Transformasi yang dialami Indonesia dalam 67 tahun sesungguhnya tidak lebih dari transformasi dari kolonialisme menuju neokolonialisme.
Di sisi lain, yang tampil mencolok pasca-penandatanganan LOI pada tahun 1998, adalah proses pelembagaan demokrasi di Indonesia yang melenceng ke arah pelembagaan sistem demokrasi liberal atau demokrasi korporasi.
Artinya, dalam era demokrasi terjajah seperti saat ini, yang terjadi tak lagi sekadar semakin dalamnya cengkeraman kapitalis asing di sini. Kekuatan kapital kini sudah menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi-politik di Tanah Air, baik dalam proses perebutan kekuasaan maupun dalam proses penyusunan perundang-undangan dan juga dalam perumusan kebijakan.
Sejalan dengan itu, ketergantungan partai-partai politik dan pemangku kekuasaan terhadap sokongan kaum kapitalis semakin meningkat. Sebagaimana berlangsung di sejumlah negara yang melembagakan sistem demokrasi korporasi, maka fungsi partai politik di Indonesia cenderung berubah: dari penyalur aspirasi rakyat menjadi pembela kepentingan kapitalisme. Karena negara diurus para petinggi partai politik, fungsi negara pun turut berubah: dari memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi memajukan akumulasi kapital dan menjongoskan kehidupan bangsa.
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dipahami jika berbagai kebijakan ekonomi-politik nasional cenderung bertentangan dengan aspirasi rakyat banyak. Hal itu tidak hanya tampak secara mencolok dalam penyelenggaraan sektor strategis, seperti keuangan dan pertambangan, tetapi sudah mulai menyelinap pula ke sektor-sektor yang selama ini menjadi tumpuan hidup rakyat banyak, seperti pertanian dan usaha kecil.
Akibatnya, ketergantungan terhadap impor berbagai kebutuhan pokok rakyat terus berlanjut dan meningkat. Bahkan, di negeri bahari yang terletak di lintasan khatulistiwa ini, pemenuhan kebutuhan garam industri dan garam rakyat pun harus didatangkan dari luar. Persoalannya bukan karena tak tersedia sumber daya untuk memenuhi kebutuhan itu, melainkan karena hal itu tak sejalan dengan kebutuhan melestarikan kolonialisme di negeri ini.
Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk mengakhiri cengkeraman neokolonialisme yang disertai dengan pelembagaan sistem demokrasi korporasi tersebut? Secara normatif jawabannya sesungguhnya sudah dikemukakan oleh Pasal 33 UUD 1945. Persoalannya, bagaimana menjadikan pesan normatif itu menjadi sebuah kekuatan yang riil?
Jawaban praksisnya terletak pada pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat. Berbeda dari pengorganisasian rakyat melalui partai-partai politik atau elemen-elemen di bawahnya, pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat yang dilakukan untuk melawan neokolonialisme harus secara jelas ditujukan mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme di negeri ini.
Musuh bersama kekuatan ekonomi rakyat yang terorganisasi bukanlah sesama pelaku ekonomi rakyat, melainkan jaringan kekuatan kapital yang mencengkeram negeri ini. Jadi, bagi siapa saja yang masih ingin bebas dari penjajahan neokolonialisme, maka kekuatan ekonomi rakyat harus bangkit dan bersatu!
Revrisond Baswir
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
KOMPAS, 21 Mei 2012
No comments:
Post a Comment