Kiamat kemanusiaan sedemikian mula-mula diniscayakan oleh matinya politik dan hukum. Matinya politik dan hukum terjadi ketika keduanya tak mampu mencapai tugas yang diembankan kepadanya: menata negara-bangsa dengan baik (politik) yang berfondasi pada keadilan hakiki atas nama kemanusiaan yang adil dan beradab (hukum).
Ilmu politik modern, sebagaimana jauh-jauh hari dikatakan Vaclav Havel (1992), kiranya telah melucuti subyek politisi sebagai manusia berhati nurani di satu sisi dan menjadikannya robot yang piawai mengelola kepentingan dengan menggunakan hukum sebagai alibi obyektivitas. Lihatlah, politisi yang diindikasikan korupsi atau melakukan kejahatan lain selalu mudah mengatakan, ”saya serahkan perkara kepada penegak hukum”, ”jangan intervensi hukum”, ”kita lihat saja faktanya di pengadilan”.
Kini kita tak lagi melihat apa wujud ”fakta dalam persidangan”. Yang ada ”fakta yang telah disubyektivikasi oleh hukum kepentingan”, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Jadi, ruang sidang hanya tempat pembuangan akhir bagi sampah busuk politik yang telah mengendap di berbagai tempat kejadian perkara: di lembaga eksekutif dan legislatif, dan jangan-jangan KPK, juga hanya jadi tempat pembuangan sementara.
Politik Omong Kosong
Ketika situasi politik dan hukum telah sekarat, pada titik itulah bahasa mengalami kematian. Artinya, bahasa tak lagi memiliki kekuatan mengusung nilai keadaban manusia. Bahasa sudah sangat dikotori sehingga sebagai alat ia sudah macet, sementara sebagai entitas budaya yang semestinya dihormati telah menjadi sampah (disampahkan). Bahasa yang mati tidak lagi mengonstruksi pengetahuan, tetapi hanya menimbulkan kegaduhan.
Terjadi paradoks di sini: kematian bahasa terjadi bukan karena sudah tak ada lagi penuturnya, melainkan justru karena ia telah kelebihan tuturan. Jika bahasa ilmiah mengandaikan satu kalimat satu informasi (efektif), dalam bahasa yang mati, 1.000 kalimat hanyalah omong kosong.
Di dalam kematian bahasa sedemikian, aktivitas manusia terhenti pada perbincangan tak bermakna. Aktivitas politik dan hukum, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, hanya sebuah dagelan. Bahasa menjadi steril dari realitas dan karena itu hanya menjadi ”sengkarut linguistik” yang saling bertegangan, tetapi tak merujuk pada substansi.
Semua relasi itu, sebagaimana kita saksikan, sejauh ini tak berpengaruh apa pun pada upaya penegakan hukum di satu sisi dan penyelesaian kasus korupsi itu sendiri di sisi lain. Semua berhenti sebagai ujaran, sebagai bahasa tak bermakna. Di luar itu, kematian bahasa tampak tengah terjadi pula di televisi. Berbagai perbincangan memperlihatkan bagaimana gosip politik diumbar nyaris ”tanpa batas”. Dalam acara ini kesantunan berbicara sering diabaikan. Seolah-olah ada kode etik jurnalistik bahwa seorang presenter bisa seenaknya memotong pembicaraan narasumber.
Pada kasus lain, perbincangan yang menghadirkan dua pihak berseberangan sering dibiarkan pula ”adu jotos bahasa” lengkap dengan segala unsur suprasegmentalnya. Alih-alih informasi utuh dan seimbang sebagai syarat pemberitaan tersampaikan, yang terjadi malah bias informasi, bahkan mempertontonkan ketidakadaban berbahasa.
Dalam puisi, kata Chairil Anwar, makna harus digali hingga ke akar kata. Sebab itulah, Kennedy berpendapat bahwa kebusukan politik (kematian bahasa) hanya bisa disembuhkan dengan kembali memberi roh pada bahasa. Namun, apakah kita bisa berharap pada ”politik perpuisian” hari ini? Dengan agak berat saya harus mengatakan, harapan itu sangat tipis. Dalam amatan saya, puisi (umumnya kesenian) kita hari ini terlalu asyik dengan diri sendiri. Sejumlah penyair dan seniman memang melakukan eksplorasi bahasa, tetapi lebih pada fungsi bahasa untuk bahasa (bandingkan dengan ”seni untuk seni” dalam modernisme).
Barangkali jalan puisi yang ditempuh Rendra atau Taufik Ismail (pada masa mudanya) tak pas untuk hari ini. Perlu dipikirkan dan ditempuh strategi bahasa puisi dan kesenian secara berbeda, yang mampu menggetarkan nurani publik dan kebebalan politikus busuk. Seiring dengan itu, kita harus selalu ingat: jika salah satu ciri yang membedakan manusia dengan binatang adalah bahasa, kematian bahasa meniscayakan kematian subyek manusia. Alih-alih berharap munculnya negarawan sebagai manusia setengah dewa, yang lahir justru penguasa dan politisi setengah binatang.
Acep Iwan Saidi,
Ketua Forum Studi Kebudayaan,
Fakultas Seni Rupa Dan Desain, ITB Bandung
KOMPAS, 28 April 2012
No comments:
Post a Comment