Hasil terbaru survei Laboratorium FISIP Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang dilakukan di enam wilayah DKI (Jakarta Pusat, Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Kepulauan Seribu) yang diumumkan Rabu (2/5) menunjukkan popularitas pasangan cagub Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini meningkat pesat dalam dua bulan menjelang Pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 11 Juli nanti.
Padahal pada bulan sebelumnya, duet Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) selalu unggul dalam survei apa pun. Hasil survei Unas mengurutkan pasangan Hidayat-Didik (32,6 persen) di pucuk teratas, disusul Foke-Nara (30,9 persen), dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dengan 28,20 persen suara.
Seandainya dua putaran, bisa diprediksi yang bakal maju adalah Foke-Nara versus Hidayat-Didik atau Foke-Nara melawan Jokowi-Ahok. Bahkan ada kemungkinan Foke-Nara bakal kalah bila para pendukung lima pasang cagub-cawagub bersatu mendukung pasangan Hidayat-Didik atau Jokowi-Ahok.
PKS sebagai basis dukungan massa dan mesin politik partai Hidayat cukup mengakar dan solid. Apalagi partai itu memenangi Pemilu 2009 di DKI, dan nama Hidayat sudah dikenal semasa menjadi Ketua MPR dan Presiden PKS. Foke, calon incumbent, juga memiliki infrastruktur politik kuat serta tingkat elektabilitas dan akseptabilitas tinggi. Dia dikenal sebagai birokrat senior pernah menjabat sekda, wagub, dan gubernur.
Adapun Jokowi selain populer di media massa dan merakyat, ia memiliki keterampilan politik cukup tinggi, mampu menjalin komunikasi politik dengan baik, memiliki kemantapan stabilitas emosi, serta gaya kepemimpinan, penampilan fisik, dan integritas moral tinggi. Dia juga menjadi nominasi wali kota terbaik di dunia, versi The City Mayor Foundation.
Perebutan kursi DKI-1 makin menarik mengingat peta kekuatan politiknya selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, meski hanya berkutat pada tiga pasangan, yakni Hidayat-Didik, Foke-Nara, dan Jokowi-Ahok. Sebanyak 6,2 juta pemilih DKI menginginkan pemimpin yang bersih dari korupsi, memiliki loyalitas tinggi, dan berkomitmen kuat membela rakyat kecil.
Pilgub DKI menjadi tantangan berat bagi Jokowi, meski namanya dikenal luas, ia belum paham 100% kompleksitas utama persoalan Ibu Kota, seperti banjir, sampah, dan kemacetan. Belum masalah lainnya seperti persoalan transportasi, keamanan, premanisme, anak jalanan, kemiskinan, kekumuhan, urbanisasi, pengangguran, PKL, dan sebagainya.
Idealnya, Jokowi bertarung di DKI tahun 2017 setelah menjajal Pilgub di Jateng 2013. Bila menang di Jateng dan sudah 4 tahun menjabat, bolehlah maju di Jakarta. Keputusan maju dalam pilgub di DKI sesungguhnya perjudian politik. Karena jika gagal, kariernya di pemerintahan bakal berakhir.
Sebaliknya jika berhasil, karier politiknya di tingkat nasional makin cemerlang, bahkan tidak mustahil bisa masuk bursa kabinet atau bahkan maju di Pilpres 2014.
Tjipto Subadi
Dosen Prodi Pendidikan Geografi FKIP dan Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
SUARA MERDEKA, 7 Mei 2012
No comments:
Post a Comment