Tuesday, October 25, 2011

Pancasila sebagai Master Plan


Jadi bagi saudara-saudara, yang saya peringatkan dengan ini apa? Dididik sebagai tenaga pengajar, ya.

Saya ulang, sekarang harus berpijak pada Pancasila sebagai Master Plan.
Apa tekanan Master Plan sesungguhnya? Kolonialisme !
Kolonialisme yang berpangkal kepada feodalisme harus hapus dari permukaan bumi !!!
Kata siapa ?!

Jangan salahkan Si Isa yang mau menyelamatkan Pancasila, dong ….
Bahaya itu ! Jangan dikemukakan !
Lho, apa saya dilarang mendukung Pancasila ?!

Satu segi, ya. Tapi segi yang lain, ini sudah majemuk nilainya.
Segi yang lain (lagi), bahwa kalau Pancasila tidak didukung oleh iman, akibatnya bisa terjerumus ke dalam “abses” (bengkak bernanah).

Maka saya tunjuk saudara sebagai pendakwah berpijak kepada Garis Iman. Sehingga takwa disamping (untuk) menghilangkan majemuk, (juga) membentuk kualitas. Kualitas itu adalah iman.


Untuk apa ?!
Nah, ini yang saya mau tanya. Ini yang saya mau peringatkan, membentuk manusia yang berkualitas.
Untuk apa ?!
Supaya jangan menjadi penghalang pembangunan.

Kedua, menghadapi kurun kedua.
Sebelum kurun kedua ini (tegak), akan timbul perang peradaban, (yakni) musnahnya peradaban ini.
Kesimpulan ini bukan (hasil) naturalisme empiris, ambil dari kenyataan, … begini, … begini, seperti yang dilakukan sekarang. Kalau kita ambil dari kenyataan, apa bukan bikin rumah dari rumah ?!

Saya mau bertanya dalam analitik. Ada nggak, yang dari fakultas teknik, kalau mau bikin rumah dari rumah ??? Yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan. Apa tidak bikin rumah dari rumah ?!

Tapi, ingat dalam arsitektur membikin suatu rumah harus berdasar satu gagasan. Yang sekarang dikatakan dalam arsitek itu adalah cetak biru. Bahasa lain, apa cetak biru? Blue print.


Kalau saya katakan demikian ini, bukan mengambil dari kenyataan, sehingga bersifat naturalis. Tapi ini dari cetak biru alam semesta dan gaya, yaitu al-Quran menurut Sunnah Rasul.

Sehingga, kalau orang berpikir, berdasar ini …, berdasar itu …, maka perang ini tidak bisa dihindari. Ini apa bukan membikin rumah dari rumah yang ada ?!

Dilihat dari segi-segi analitik, kenapa saya katakan saudara-saudara ini harus lepas dari nilai majemuk, kemudian benar-benar membentuk nilai analitik sebagai salah satu nilai ilmiah.
Yang saya minta dicamkan oleh saudara-saudara, (adalah) kata-kata Max I Dimont –tapi jangan dibilang saya menghasut.
Ingat, kata Max I Dimont, perguruan tinggi sekarang (adalah) kelanjutan dari Talmudisme.

Nah, inilah sudah saya bicarakan pada saudara-saudara, penertiban berpijak kepada Pancasila sebagai Master Plan.
Kenapa ?
Sesungguhnya Pancasila itu benar-benar memperhitungkan semua tipu daya imperialisme.


Cuma kenapa tidak berhasil sekarang ?
Yang saya mau tanya kepada saudara-saudara, apa bukan karena dia (Pancasila, sudah di) dekolonisasi ???

Saya katakan dekolonisasi, koloni sama dengan daerah jajahan.
Tapi dekolonisasi diartikan di zaman Belanda adalah penyisipan atau penyusupan.
Lebih baik penyisipan dah, (yakni) segolongan pribumi yang sudah mendukung ide dan gagasan penjajah ke tengah masyarakat pribumi, dengan tujuan untuk mengganjal ide-ide pribumi. Ide pribumi kan mau melepaskan diri.

Coba saudara ingat lembaga pendidikan dulu zaman Belanda.

Volkschool dan Schakelschool kemudian ditambah HIS (Hollandsch Inlandsche School), sama dengan (pendidikan) dasar, ya? (Lantas) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lanjutan pertama. AMS-HBS (Algemene Middelbare School)- HBS (Hogere Burger School), lanjutan atas, tambah perguruan tinggi.


(Itu semua) oleh karena datang Belanda, ya?
Begitu datang Jepang, maka semua (pendidikan) kalau (hanya) berbau Belanda saja, bisa terkencing-kencing, ya?
Oleh (karena) itu, cepat-cepat aja Volkschool - Schakelschool dan HIS, diubah (jadi) SD (Sekolah Dasar). MULO, diubah jadi SMP (Sekolah Menengah Pertama). AMS – HBS, diubah jadi SMA (Sekolah Menengah Atas).

Siapa yang sudah berpengalaman dalam lembaga-lembaga (pendidikan) ini?
Siapa ?!
Sehingga dikala penyerahan kedaulatan, kita terima semua guru-guru itu menjadi guru Republik Indonesia.
Apa bukan dekolonisasi?
Sejenis dekolonisasi. Tapi jangan dibilang saya menuduh dekolonisasi.
Tidak !!!
Saya hanya bertanya. Apa ini bukan dekolonisasi?


Kemudian kita proklamirkan kemerdekaan RI, setelah Linggarjati, kita disudutkan oleh Belanda. RI ini hanya tinggal Yogya tambah Aceh.
Di luar itu, dia milikilah Negara Pasundan. Coba, ada orang Sunda nggak di sini. Oh, saudara Yana (Yana Suryana, alm.), ini siapa presidennya? Raden Aria Wiranatakusumah.
Negara Sumatera Timur, siapa presidennya? Doktor Tengku Mansur.
Siapa presiden dan perdana menteri Negara Indonesia Timur?
Siapa Tjokorda Gde Raka Soekawati (beristri orang Prancis)?
Siapa Sultan Hamid Alkadrie (beristri orang Belanda)?
Siapa presiden Negara Belitung?
Siapa presiden Negara RMS (Republik Maluku Selatan)?
Siapa macam-macam?

Sehingga negara-negara ini semua mempunyai anggota DPR, seperti Negara RI yang di Yogya tambah Aceh. Begitu dengan perjanjian RIS, semua menjadi negara serikat.

Dari yang dibikin oleh Belanda, begitu penyerahan kedaulatan, (semua) masuk. Kita hanya (tinggal) timbang terima. Guru pendidikan, ambtenaar, persis …, susah mengucapkannya ya?


Apa sesudah dibentuk menjadi tenaga pengajar, kayak itu?
Nggak usah mengajar, pulang aja mulai besuk, dah!
Pulang aja, arang habis besi binasa.
Ujungnya bukan begitu, malah mau mengeramkan telur Yahudi di bawah ayam RI.

Itulah (yang) saya minta perhatian saudara-saudara.
Kenapa saya katakan begini?
Nggak bisa ditawar lagi, nih.
Perang peradaban sudah di pelupuk mata. Bangsa Indonesia harus diselamatkan.
Karena kata Allah, siapa yang tidak iman akan dihancurkan oleh Allah.
Pada ujung ini, yang sebutannya “hattaa yalija l-jamalu fiy sammi l-khiyaath.” (al-A'raaf: 40).
Untuk memberesi iman.
Untuk menyelamatkan (dari) “balaaun min rabbikum ‘adhiim.”

Saya mengharapkan bangsaku RI yang kucinta, yang telah bertumpah darah ini, mudah-mudahan bisa mengantar bangsa Indonesia khasanah dunia, khasanah akherat.


Ini yang saya minta perhatian saudara-saudara.
Saya tanya lagi, untuk apa saudara-saudara ini dididik menjadi tenaga pengajar?
Kalau (hanya) mau mengeram (telur) Yahudi oleh ayam RI, besuk aja bubarkan !!!
Nggak usah (dilanjutkan), arang habis besi binasa seperti yang sudah.

Demikianlah, saya antar, ya?
Masalah sudah kita bicarakan, Master Plan.
Untuk apa saya bicarakan?
Kalau tidak, nggak pernah saudara ketahui bahwa Pancasila ini satu induk strategi dalam pembangunan Indonesia.

Kenapa saya ulang?
Sudah berapa lama saya bicarakan Garis Iman?
Kalau tidak begitu, saudara tidak akan memahami Garis Iman satu strategi pembantu untuk Pancasila sebagai Master Plan.


Kok, belat-belit, belat-belit …, tidak pernah to the point?
Begitu caranya. Seperti tadi saya katakan, memang dasar aja musti, kalau tidak berhenti-henti (butuh waktu) 24 jam. Memangnya berpikir dan budaya ini seperti mengkarbitkan buah pepaya?
Bisa tidak ?! Nggak bisa !!!
Sebab saudara lihat, untuk membetulkan sekedar terjemahan Surat al-Faatihah, belum lagi membetulkan Shalat, makan waktu 3 bulan.

Saudara, kan tidak ngerti ketika dikatakan al-Quran satu bahasa, apa bentuk bahasa Quran. Kan, nggak ngerti tujuannya? Dan itu for breeding untuk membetulkan terjemahan Surat al-Faatihah.
Kenapa nggak sekaligus? Nggak bisa !!! Dalam pendidikan, kok sekaligus. Itu mencar nanti, bisa pecah tengkorak dah, katanya. Tak sanggup.

Padahal kesalahan (terletak) dalam “kallimu n-naasa ‘alaa qadri ‘uqulihim.”
Cukup dah, saya antar begini.

(Bapak Muhammad Isa, Kuliah Peningkatan Tenaga Pengajar, 22 Agustus 1991 di Yogyakarta)

No comments: