Monday, April 18, 2011

Rosihan Anwar, Wartawan Kebetulan


Rosihan Anwar adalah sosok yang penuh warna. Pria kelahiran Kubang nan Dua, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922 ini menulis sajak, bermain sandiwara dan film, serta berbicara hampir tentang apa saja di diskusi dan seminar-seminar. Dan -ini yang penting- tiga perempat hidupnya dihabiskan dalam dunia jurnalistik.

Ia wartawan yang melintasi beberapa zaman: masa penjajahan Jepang, pemerintahan Soekarno, Soeharto, hingga masa reformasi. Dimulai di surat kabar Asia Raya, ia kemudian mendirikan majalah Siasat, juga koran Pedoman. Dia juga pengajar wartawan.

Rosihan disayang, dipuji, dicemooh, dimaki. Dia juga dibungkam. Bahkan tak hanya satu-dua kali.

Rumah sakit adalah tempat yang mungkin paling sering dikunjunginya sekarang. Ketika tulisan ini diturunkan, ia masih terbaring di ICCU Rumah Sakit MMC Kuningan, karena gangguan jantung. Rosihan, kini 89 tahun, masih menulis. Buku terakhirnya dalam proses penerbitan. Dia juga terus bicara. Panjang-lebar, dalam dua pertemuan, dia mengisahkan pernak-pernik hidupnya kepada wartawan Tempo Purwani Diyah Prabandari dan Cheta Nilawaty.

Hari itu libur Maulud Nabi. Kediaman wartawan senior Rosihan Anwar di pinggiran Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, yang selalu ramai itu terlihat sepi. Pintu pagar dan rumah sama tertutup.


Tak lama, sosok yang ditunggu muncul: berbaju batik, necis. "Sebenarnya saya nih agak sesak," katanya. Inilah wawancara yang tertunda. Beberapa kali wawancara terpaksa dibatalkan karena ia harus ke rumah sakit. Hari itu, Selasa, 15 Februari, ia bercerita panjang: dua setengah jam.

Sejak kecil hingga sekolah menengah atas di zaman Belanda, sama sekali tidak terbayang dalam pikiran saya untuk menjadi wartawan. Dulu, cita-cita saya meneruskan belajar ke Universitas Leiden, Belanda. Sebab, saya belajar di sekolah AMS A bagian klasik Barat. Jadi saya belajar bahasa Latin, budaya Yunani.

Cita-cita ini tidak pernah kesampaian. Perang dengan Jepang pecah, pada 7 atau 8 Desember 1941, maka menguaplah segala yang saya bayangkan tadi. Habis. Khalas.

Di Jakarta, saya mesti berusaha bekerja. Kiriman wesel dari ayah saya, Anwar, yang pada zaman kolonial menjadi anggota pangreh praja Belanda -demang di Sumatera Barat, berarti sama dengan bupati di Jawa- berhenti. Jadi, saya mesti cari duit untuk hidup mandiri.

Di surat kabar, ada pengumuman mencari pemuda-pemuda tamatan sekolah menengah atas untuk mengikuti kursus kilat menjadi jaksa yang dilakukan pemerintah Jepang atau Gunseikan. Tempo latihan enam bulan. Selama belajar, saya mendapat tunjangan 50 rupiah atau 50 gulden. Akhirnya saya ikut ujian, dan lulus. Saya pun sudah siap masuk asrama.


Tapi apa gerangan? Sebelum masuk, saya ketemu dengan abang Usmar Ismail, yaitu dr Abu Hanifah. Waktu itu dia bekerja di rumah sakit umum pusat atau CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis), sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dia sudah saya anggap sebagai abang sendiri. Saya panggil dia broer. Abang saya ini mengatakan, "Rosihan, tadi saya bicara dengan Sukardjo Wirjopranoto, Pemimpin Umum Surat Kabar Asia Raya. Kamu mau masuk di Asia Raya atau tidak? Ada lowongan."

Saya putuskan, iyalah, masuk Asia Raya. Saya batal menjadi jaksa. Di Asia Raya, saya diterima oleh pengawas Jepang, Yoshio Nakatani. Sistem waktu itu, semua bisa dijalankan oleh orang Indonesia, tapi mesti ada supervisor atau penghubung (shido-kan). -Nakatani juga menjadi penerjemah. Orang ini kecil, sopan, dan baik hati. Tidak seperti orang Jepang lain, yang kerjanya menampar dan memaki orang Indonesia.

Saya bekerja di Asia Raya dengan tugas ganda. Sebagai asisten Nakatani saya mesti mengoreksi terjemahannya ke bahasa Indonesia. Lalu menjadi semacam deskman untuk berita luar negeri yang diterima dari kantor berita Jepang, Domei. Bos saya, redaktur luar negeri bernama Burhanuddin Mohammad Diah (B.M. Diah).

Tuhan menakdirkan di situlah saya berjumpa dengan seorang gadis Betawi yang sangat cantik, yang rupanya koyo Londo atau seperti Belanda. Pokoknya, ia terkenal waktu itu sebagai salah satu bunga mawar atau ros van Batavia. Namanya Zuraida Sanawi, atau bisa dipanggil Ida Sanawi. Ida adalah sekretaris di redaksi dan sekretaris pemimpin umum surat kabar Asia Raya. Dia kemudian menjadi istri saya.


Saat itu saya sama sekali tidak memiliki pengalaman. Tidak ada senior yang mengajari saya. Tapi saya percaya penuh pada diri sendiri. Ini karena saya sekolah di AMS Yogya. Harap dicatat, pada zaman kolonial, jumlah sekolah menengah atas hanya delapan buah. Jadi, tidak gampang masuk AMS waktu itu. Pertama, orang tua harus mampu membayar sekolah. Saya masih ingat uang sekolah saya di AMS per bulan 14,5 gulden. Itu lebih banyak daripada gaji juru tulis yang hanya 10 gulden. Bayangkan, kalau ayah saya bukan demang, mana bisa saya sekolah di sana?

Selain itu, otak mesti sedikit cerdas. Sebab, jika tidak pintar, mana bisa lulus ujian masuk. Di sini pula saya harus belajar lima bahasa: Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Latin. Saya ambil jurusan klasik Barat. Sehingga bisa dibayangkan, di satu sisi kepala saya mumet, tapi di sisi lain saya pede luar biasa.
Karena itu, sampai sekarang, orang yang tidak mengenal saya lebih mesra suka mengatakan, Rosihan itu orangnya arogan, angkuh. Saya selalu jawab, sesuka hatimulah.

Pada akhir zaman Jepang, posisi saya di redaksi Asia Raya adalah reporter politik. Setelah proklamasi, Asia Raya masih terbit sebentar, sampai sekitar awal September 1945. Kemudian orang-orang yang bekerja di Asia Raya mengambil alih percetakan Belanda, De Java Bode, tempat Asia Raya dicetak. Kemudian kami terbitkan surat kabar Merdeka pada 1 Oktober 1945. Pemimpin umum serta pemimpin redaksinya B.M. Diah. Sedangkan saya menjadi redaktur pertama. Yang lain tidak bernafsu.


Saat itu keadaan tidak pasti. Jepang berkuasa. Pemuda melawan. NICA sudah bergerak. Banyak teman kabur ke pedalaman (luar Jakarta). Di Jakarta tidak aman. Yang tinggal di Jakarta hanya orang yang nekat. Jadi hanya ada sedikit wartawan.

Meski tidak banyak wartawan, tetap ada kompetisi dengan koresponden media asing. Waktu itu mereka dinamakan war correspondent. Maka saya harus bekerja begitu rupa, tidak boleh mengalah terhadap mereka yang lebih berpengalaman.

Seperti telah saya katakan, saya ini cukup pede. Kalau tidak mengerti, saya berlaku pura-pura mengerti. Selebihnya, karena Merdeka satu-satunya koran di Jakarta, kami jaya. Uang masuk, meski gaji saya tidak seberapa. Waktu itu dibayar dengan uang Jepang. ORI alias Oeang Repoeblik Indonesia belum keluar, dan uang NICA tidak kita terima.

Tapi kami tidak mengkhawatirkannya. Waktu itu, uang tidak begitu penting. Sebab, di masyarakat terdapat semangat gotong-royong yang murni.

Rosihan Anwar mulai lelah. "Istirahat sebentar, ya. Saya perlu minum," katanya. Dia meninggalkan ruang tamu rumahnya yang luas. Tak lama, dia kembali. Sambil berjalan, ia bercerita ringan tentang memoar yang hampir selesai. Buku tersebut banyak mengisahkan ihwal istrinya, Ida Sanawi. Dia pun mengisahkan traumanya dengan komputer. Ketika dia sedang menulis, tiba-tiba file-nya hilang. "Ada yang hilang. Saya panik, dan sampai sesak napas," kisahnya. Setelah kejadian itu, dia tak pernah lupa mengkopi hasil ketikannya.


Ia juga sempat menjelaskan beberapa foto dan lukisan yang menghiasi dinding ruang tamunya. "Itu repro karya Affandi," ia menunjuk lukisan seperti potret diri. "Kita lanjutkan ya...."

Saya banyak berbeda pendapat dengan B.M. Diah. Pada 1946, karena tak seide, saya keluar dari surat kabar Merdeka. Dia berpendapat, Merdeka punya dia. Saya berpendapat, Merdeka adalah milik bersama para wartawan. Jadi saya bilang "good bye".

Pada 4 Januari 1947, bersama Soedjatmoko, saya mendirikan majalah politik, Siasat. Terbitnya dibantu oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, berupa bantuan modal dan kertas cetak yang jumlahnya tidak banyak. Selebihnya kami mandiri. Dalam waktu enam minggu, Siasat mencapai oplah 12 ribu. Buat zaman itu, ini hebat sekali.

Selagi saya memimpin Siasat, saya ditawari Haji Djunaidi, mantan pemilik surat kabar Pemandangan. Dia ingin membuat koran yang dimulai dengan huruf P. Saya usulkan nama Pedoman. Baru dua bulan terbit, koran itu dibredel Belanda karena membela Republik. Jadi, pada 31 Januari 1949, Pedoman mati.
Setelah perjanjian Roem-Royen pada Juli 1949, yang memutuskan akan ada Konferensi Meja Bundar, Pedoman boleh terbit kembali. Kali ini Haji Djunaidi tak lagi ikut. Dia kapok. Dengan susah payah, kami meneruskannya.


Tapi, alhamdulillah, saya banyak hoki. Seperti juga saat saya diboikot orang-orang kiri pada sekitar 1951. Waktu itu Pedoman sempat tidak terbit beberapa hari. Alasannya, saya mendukung kebijakan kabinet Natsir yang sedang membersihkan pengaruh kiri di kebun-kebun di Jawa Barat. Mereka marah. Buruh percetakan di bawah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) mogok.

Lalu kami berunding di salah satu ruangan di gedung parlemen. Sebab, anggota-anggota parlemen dari golongan kiri juga memboikot. Jadi saya mesti cari kompromi. Waktu itu mereka puas menghina saya..., "Mampus loe." Tapi akhirnya Pedoman terbit juga. Eh, begitu terbit, malah oplahnya meloncat menjadi 15 ribu. Padahal sebelumnya hanya 6.000.

Namun hoki tak selalu ada. Karena saya selalu beroposisi, akhirnya Soekarno, yang tadinya baik ke saya pada zaman revolusi, menjadi marah. Pada 7 Januari 1961, Pedoman dilarang terbit. Khalas.

Sebenarnya beberapa pemimpin media berusaha bersama untuk memperjuangkan kebebasan pers. Misalnya pada 1956, sewaktu diadakan konferensi editor Belanda-Indonesia di Zurich, Swiss, saya, B.M. Diah, Adam Malik, Mochtar Lubis, Suardi Tasrif, Sumadi M. Wonohito (Kedaulatan Rakyat), dan Moh Supardi menandatangani deklarasi bersama, akan membela kemerdekaan pers. Penandatanganan dilakukan di pesawat ketika meninggalkan Kemayoran menuju Zurich. Pada waktu itu mulai kelihatan gejala atau gara-gara Soekarno mau berkuasa, mau menerapkan demokrasi terpimpin.


Tantangan lain, misalnya, ketika rezim Soekarno memberikan persyaratan ke media, harus menerima Manipol Usdek (manifesto politik bersendikan lima unsur: UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia). Saya pemimpin redaksi Pedoman yang paling besar ikut menerima. Kepentingan saya, mesti menyelamatkan dan melindungi Pedoman selama mungkin. Jadi, saya tanda tangan saja. Habis cerita.

Eh, ternyata Mochtar Lubis, yang saat itu sedang dikenai tahanan rumah oleh Soekarno, mengirim surat pengaduan ke IPI (International Press Institute). Tahu-tahu, saya diskors.

Saya pun menjelaskan kenapa saya menerima Manipol Usdek, meski pada akhirnya tetap tak ada gunanya. Toh, akhirnya saya juga dibredel. IPI menerima penjelasan saya, dan mencabut skorsing ke saya. Saya tidak peduli lagi. Persetan dengan kalian.

Sementara itu, setelah Pedoman dibredel, saya menjadi koresponden beberapa surat kabar asing. Namun kemudian terjadi peristiwa September 1965, yang berbuntut jatuhnya Soekarno. Pada 1968, Pedoman hidup kembali. Kami mulai berjuang lagi, meski banyak pesaing yang sudah tegak, seperti Kompas.

Tantangan di sisi lain juga saya hadapi. Dalam Kongres PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Palembang pada 1970, saya menang dalam pemilihan ketua umum, bersama Jakob Oetama sebagai sekretaris jenderal. Saya mengalahkan B.M. Diah dan Manai Sophiaan, dengan beda suara 54. Tapi Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani tidak setuju saya ketua. Dia menggunakan B.M. Diah dan Manai. Sejalan dengan politik Soeharto waktu itu, pemerintah ingin menguasai seluruh perpolitikan di Indonesia, termasuk PWI.


Akhirnya Menteri Penerangan Laksamana Boedihardjo tetap mengakui B.M. Diah dan Manai Sophiaan. Saya dan pendukung tidak terima. Akhirnya PWI pecah: PWI Rosihan-Jakob Oetama, satu lagi PWI B.M. Diah-Manai Sophiaan. Tapi kemudian dilakukan perundingan. Pada waktu itu, untuk pertama kali, PWI memiliki dua ketua umum dan dua sekjen.

Sementara itu, saya juga terus mengurus Pedoman. Pada masa pemerintahan Soeharto, Pedoman tetap beroposisi. Beberapa waktu setelah peristiwa Malari, pada 15 April 1974, Pedoman kembali dimatikan. Anehnya, sebelum itu, saya diberi anugerah Bintang Mahaputra.

Akhirnya, saya kembali lagi jadi free-lancer untuk The Straits Times, New Straits Time, Asiaweek, dan Hindustan Times. Saya kadang menulis kolom di Kompas, juga media lain. Saya kerap diminta menulis obituari kalau ada orang mati.

Tetapi kemudian semua sudah tak lagi saya kerjakan. Saya tinggal menjadi kolumnis di tabloid Cek & Ricek. Saya juga menulis buku. Naskah buku tentang istri saya sudah siap.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com

No comments: