Monday, April 18, 2011

Berkubang di Lingkaran PSI


Hari itu libur Nyepi, Sabtu dua pekan lalu. Napas mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman ini tiba-tiba sesak. Seorang pria muncul dari dalam rumah, "Tunggu sebentar ya, Bapak sedang diobati." Rosihan kini harus hidup berdampingan dengan tabung oksigen; di rumahnya siap dua tabung oksigen. "Sekarang saya sudah siap. Kita mau bicara apa," katanya dengan tenang, seolah oksigen sudah tak menjadi masalah lagi. Dia berkisah tentang dirinya, sosialisme, dan Partai Sosialis Indonesia. "Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir...."

Bermula sewaktu saya sekolah di AMS A Yogyakarta. Waktu itu umur saya 18 tahun. Saya kos di rumah guru saya, Tjan Tjoe Siem, yang kemudian mengajar di Universitas Indonesia. Dia adalah keturunan Cina yang mualaf. Sudah empat generasi keluarganya muslim. Waktu itu dia masih single. Dia seperti bapak angkat saya. Di rumahnya ada bibliotik. Di situlah saya pertama membaca Das Kapital-nya Karl Marx.

Waktu itu saya sudah bisa bicara beberapa bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Di AMS, saya belajar klasik Barat.

Di sekolah, saya punya guru sejarah yang menyenangkan. Namanya H.J. van den Berg. Dia mengajari Karl Marx itu siapa, sosialisme itu apa. Cara mengajar dia lain. Dia mengajar menurut topik, dengan kapita selekta. Lalu dia membuat diktat 10 halaman, dia fotokopi, dan dia bagikan ke murid dengan gratis. Itu yang membuat saya tertarik.

Dari situ saya mengerti sedikit soal class struggle, penindasan, kapitalisme, kolonialisme yang mengisap, dan lain-lain.


Di kemudian hari, saya berkenalan dengan teman-teman seperti Soedjatmoko atau Koko, Sudarpo, juga Subadio Sastrasatomo (anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), yang biasa kami panggil Kiyuk. Mereka terkenal sebagai "The Sjahrir's Boys", lingkaran dalam kelompok Sjahrir. Kebetulan Sudarpo adalah senior saya waktu sekolah di Yogya. Waktu itu saya wartawan Merdeka, sekitar Oktober 1945. Kami banyak berdiskusi.

Saya belum kenal Sutan Sjahrir. Saya di Jakarta, sementara dia berada di pedalaman, di Yogya. Saya baru kenal Sjahrir waktu dia mengadakan konferensi pers pertamanya sebagai perdana menteri pada 14 Desember 1945. Orangnya kecil, simpatik.

Dengan begitu, saya mulai mengerti sosialisme lewat perkenalan dengan mereka. Jadi saya memahami sosialisme through the process of osmosis. Tidak langsung, tapi melalui suatu proses. Dan saya tidak ada keinginan untuk memperdalam lebih lanjut. Jadi pikiran-pikiran dasar pokok saja yang saya pahami. Yang menarik buat saya, seperti yang selalu ditekankan Subadio, sosialisme kerakyatan namanya. Yang mereka anut itu menekankan pada menselijke waardigheid, atau dalam bahasa Inggris, human dignity. Wah..., itu menarik buat saya.

Kalau orang Indonesia memiliki martabat kemanusiaan, dia mesti melepaskan dirinya dari kemiskinan, bisa bicara bebas, juga dihormati. Ini bagus untuk melawan penjajahan. Dengan martabat kemanusiaan, ia menjadi sadar akan derajatnya, martabatnya, tidak mau ditindas dan dizalimi. Di sisi lain, dia memiliki rasa kemanusiaan yang besar, mesti menolong yang miskin dan tertindas. That's all.

Sampai sekarang, saya setuju itu, tapi tidak mau komunisme. Saya tidak mau ada pertarungan kelas. Saya tidak mau ada diktator proletar.


Saya bersahabat dengan Koko, Sudarpo, Subadio. Dengan begitu, saya bisa bersahabat dengan Sjahrir. Karena dekat dan sepaham, saya menawarkan surat kabar Pedoman untuk dimanfaatkan PSI. Pada waktu itu, sekitar awal 1950-an, Masyumi membuat koran Abadi. Pemimpin redaksinya M. Suardi Tasrif. Dia satu kelas sama saya di AMS A di Yogya. Kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) bikin Suluh Indonesia. PKI bikin Harian Rakyat. Sementara PSI tidak punya duit untuk membuat koran. Jadi saya bilang, "Begini saja. Anggap koran saya koran PSI. Kalau kamu ada apa-apa, kasih tahu saya, saya muat. Tapi kamu jangan dikte-dikte saya, ya...."

Sampai sekarang saya berpendapat, wartawan tidak boleh menjadi anggota partai politik. Tidak boleh menjadi anggota Golkar. Tidak boleh menjadi anggota Demokrat. Wartawan mesti independen. Itu menunjukkan saya betul-betul bebas. Bahwa ada pengaruh pemikiran, itu beda lagi. Tapi, keluar, dia mesti independen. Itu saya pegang sampai sekarang. Tapi, dalam dunia pemikiran, habitat saya memang PSI. Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir.

Ternyata itu tak menjadi masalah bagi Pedoman. Ada seorang wartawan yang mengatakan, "Bung, ini Pedoman dipakai untuk keperluan PSI, koran PSI, tapi kenapa disukai?" Saya jawab, "Kenapa disukai, karena isinya tidak selalu tentang PSI."

Orang-orang PSI pun berterima kasih ke saya. PSI tidak keluar duit sepeser pun. Dan segala konsekuensinya saya terima. Saya sering mendapat cemoohan, "Oh..., Pedoman koran PSI. Oh..., Rosihan orang PSI, Rosihan sosialis." Betul. Tapi saya selalu menjawab cemoohan semacam itu dengan mengatakan, "Suka hati kamulah." Sikap saya selalu begitu.


Atau juga saya menjawab, "Ah, kamu cemburu. Oplah kamu berapa sih? Yang number one siapa? Saya kan?"

Saya kembali dikritik... sombong amat. Saya disebut arogan. Tetapi arogan saya bukan tanpa dasar, melainkan berdasar fakta. Koran saya memang nomor satu. Mereka tidak bisa mendekati Pedoman.

Tapi pada Pemilu 1955, untuk memenuhi formalitas dan ketentuan dapat dicalonkan dalam pemilihan umum, saya terima ajakan Soedjatmoko, supaya kami secara formal menjadi anggota PSI. PSI mengalami kekalahan dalam Pemilu 1955, dan saya tidak terpilih jadi anggota Konstituante. Saya kaget tentunya, tapi hal itu tidak melunturkan kepercayaan saya kepada perjuangan untuk sosialisme.

Bahkan, ketika PSI jatuh, saat dilarang Soekarno pada 17 Agustus 1960, saya dan Pedoman tak terpengaruh. Kami terus hidup. Baru 7 Januari 1961, saya mampus. Pedoman dilarang. Khalas.... Soekarno jengkel sama saya. Subandrio pernah bilang, "Sayang ya Rosihan, dia memilih pihak Sjahrir." Tapi saya tidak menyesal. Saya sosialis. Saya pengikut Sjahrir. Sekarang ini, saya pikir, malah sebuah kehormatan. Sampai sekarang, saya tidak menyesal.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com

No comments: