Monday, March 15, 2010

Obama dan Rezeki Minyak Kita


Melihat skandal demi skandal yang terus menimpa setiap presiden Indonesia, satu kesimpulan bisa diambil, negara ini tak kunjung luput dari presiden dengan pemerintahan yang berlumuran masalah korupsi. Jika presiden yang bersangkutan tidak terlibat langsung, setidaknya pemerintahannya tak henti-hentinya menghasilkan skandal korupsi.

Setiap periode kepresidenan, slogan antikorupsi, antimanipulasi, selalu menjadi agenda. Namun, secepat itu pula slogan tersebut selalu diingkari.

Mau contoh? Pada era Soeharto ada kasus Pertamina. Era BJ Habibie ada skandal Bank Bali. Saat era Gus Dur ada kasus Bulog. Pada era Megawati ada kasus penjualan tanker Pertamina. Kini Bank Century. Setiap pemerintahan memberi kontribusi pada skandal manipulasi dan korupsi.

Adakah kaitannya dengan kedatangan Presiden AS Barack Obama? Ada! Negaranya Obama memiliki peraturan bernama Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) 1977. Ini adalah peraturan yang diawali hasil temuan Office of The Special Prosecutor. Pada dekade 1970-an, badan AS ini menemukan tindakan 400 korporasi AS yang menyuap pejabat di negara asing demi keuntungan bisnisnya.

Saat itu marak terjadi kejahatan kerah putih yang menodai etika bisnis AS di luar negeri. Dengan peraturan ini, perusahaan AS yang menyuap pejabat di negara perusahaan itu beroperasi akan dikenai hukuman. AS tidak ingin korporasinya meracuni birokrasi dan sistem lokal.


Nah, di Indonesia ini ada banyak tambang minyak dan gas yang ditangani perusahaan AS. Chevron, Exxon, Conoco adalah raksasa perminyakan AS yang mendominasi pertambangan minyak. Freeport dan Newmont mendominasi tambang logam mulia dan nonmulia.

Namun, kenaikan harga minyak, gas, dan logam mulia yang membubung tinggi selama lima tahun terakhir tidak memberi Indonesia uang banyak. Rakyat malah disuguhi pemadaman listrik dan jalan-jalan yang rusak.

Pejabat negara selalu mengatakan pemerintah tidak punya uang banyak, termasuk untuk memperbaiki jalan-jalan rusak yang mengacaukan mobilitas warga dan akibat selanjutnya memandekkan produktivitas.

Kenaikan harga minyak dan emas yang tak kita nikmati itu belum tentu disebabkan aksi manipulasi dan korupsi korporasi AS. Namun, tentu ada masalah besar dengan manajemen sumber daya minyak dan sektor pertambangan itu.

Logikanya, pemilik rezeki minyak adalah Indonesia, tetapi ke mana rezeki dari kenaikan harga minyak itu? Padahal di sisi lain, raksasa perminyakan dunia tahun lalu mencatatkan keuntungan besar.


Ketika masih menjabat sebagai Dubes Jepang di Indonesia, Yutaka Iimura tak ragu-ragu untuk mengatakan, ”Adalah Jepang dengan investasinya, yang benar-benar memberi kontribusi pada pembangunan ekonomi.”

Jepang memberi kontribusi pada penyerapan tenaga kerja lewat bisnis manufaktur hingga otomotif. Walau Jepang tidak bisa dikatakan malaikat, banyak pihak yang merasakan buah manis dari korporasi Jepang.

Nah, bagaimana dengan keberadaan raksasa tambang AS di Indonesia? Hasil produksi mereka tak membuat Indonesia ketiban rezeki nomplok minyak dan emas, sebagaimana dialami negara-negara penghasil minyak.
Adakah persoalan mengenai bagi hasil yang tidak adil antara negara kita dan kontraktor minyak AS itu? Adakah peraturan yang membuat raksasa minyak AS, bukan Pertamina, sebagai pemilik kekayaan alam kita?

Pengamat perminyakan, Dr Kurtubi, mengatakan, Indonesia telah kehilangan kedaulatan atas kekayaan migas dan logam mulia serta tambang lainnya. Namun, dia mengatakan, jangan serta merta menyalahkan asing, salahkanlah diri kita yang tidak membuat Indonesia menjadi tuan di negara sendiri soal kekayaan pertambangan.


Strategi nonpasar
Namun, tidak bisa dilupakan juga, korporasi AS paham dengan taktik strategi nonpasar (non-market strategy). Di dalam taktik ini, terkadang ada lobi korporasi terhadap pejabat negara, agar bisnis yang digeluti korporasi itu memberi keuntungan sebanyak mungkin bagi dirinya. Ini antara lain bisa dilakukan dengan menyuap pejabat lokal demi keuntungan bisnis sendiri, bukan keuntungan rakyat. Istilahnya, ”Ini bisnis bung!”

Keadaan seperti ini sudah lama menjadi keprihatinan global. Karena itu, muncul inisiatif global bernama Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) —yang bertujuan mendorong transparansi kontrak, produksi, dan bagi hasil— yang didorong Norwegia.

Tidak sedikit pula negara yang merasa telah tertipu sekian lama. Venezuela, Bolivia, Rusia, dan terbaru adalah Uganda, yang mencoba berpikir soal renegosiasi kontrak bagi hasil sektor pertambangan.


Lain dari masalah itu, mari kita lihat sebentar fakta berikut ini. Ketika Indonesia didera masalah teroris, AS amat getol mencecar terorisme Indonesia, termasuk Hambali yang kini di bawah otoritas AS. Bahkan AS pun mengeluarkan peringatan yang disebut travel warning bagi warganya agar berhati-hati jika berkunjung ke Indonesia.

Namun, beranikah kita menggugat teroris energi, di mana hasil energi itu tidak memakmurkan? Malahan kenaikan harga energi membuat Indonesia, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memaksa pemerintah menaikkan subsidi. Ini adalah subsidi pada produsen minyak karena kita menjual harga minyak murah ke rakyat, yang dibeli dengan harga tinggi dari produsen minyak. Bukankah subsidi itu otomatis terkompensasi dengan keuntungan dari kenaikan harga minyak?

Ada pula postulat yang mengatakan, Indonesia mengimpor BBM mahal, sementara BBM lokal Indonesia berharga lebih murah jika diekspor. Mengapa kita sebagai negara miskin ini justru memakai BBM yang lebih mahal ketimbang memakai BBM lokal yang lebih murah? Kita ”bersilat lidah” ?


Kita melihat Petronas dari Malaysia telah berjaya dan turut memberi modal besar bagi negara untuk mendorong pembangunan. Hasilnya adalah perekonomian Malaysia yang kini menjadi magnet bagi sebagian besar pekerja Indonesia.

Beranikah kita menggugat isu energi ini lebih tajam? Beranikah kita mendalami lebih saksama untuk mempertanyakan kebenaran manajemen migas ini? Dr Kurtubi sudah pernah menggugat hal ini beberapa waktu lalu, walau kemudian juga diam sendiri karena menganggap gugatannya tidak disambut.

Nah, inilah salah satu isu yang amat layak diajukan kepada Obama. Presiden AS ini paham hukum dan turut prihatin dengan ketidakadilan global.

Namun, pembenahan tidak tergantung pada Obama. Kita memang harus mau serius dan tahu cara menggugat esensi manajemen migas. Jika ini tidak dilakukan, kunjungan Obama hanya akan menjadi sekadar ajang pamer citra bagi pemerintahan, sebagaimana diutarakan Ikrar Nusa Bakti, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pekan lalu, dalam sebuah seminar di Jakarta.


Hanya dengan keberanian inilah, kita bisa melangkah lebih jauh, termasuk dengan menggugat perusahaan AS lewat FCPA, seandainya ada ketidakberesan dalam perilaku korporasi energi AS itu.

Ada banyak program penting dalam hubungan bilateral Indonesia-AS. Namun, hubungan bilateral paling signifikan adalah masalah energi ini. Dubes AS sendiri, Cameron R Hume, dalam bincang-bincang dengan wartawan, pekan lalu, mengatakan, kita harus ada pemikiran kembali soal penataan hubungan Indonesia-AS. Dia tidak menyinggung soal energi. Hume mengatakan, pemikiran kembali hubungan itu terkait dengan tatanan geopolitik yang sudah berubah.

Hume juga tidak merinci apa yang dimaksudkan dengan perubahan tatanan geopolitik itu. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini kita melihat pemudaran kekuatan AS, secara ekonomi dan politik global. AS masih kuat, tetapi tidak lagi sedahsyat pada era Perang Dingin. Saat ini tidak perlu ada lagi ketakutan besar dengan sanksi ekonomi AS. Praktis hubungan ekonomi Indonesia lebih berkiblat ke Asia. Kini China sudah tampil sebagai kekuatan ekonomi baru, yang sudah makin mengimbangi AS.

KOMPAS, 14 Maret 2010

No comments: