Saturday, October 31, 2009

Gerakan Majnun Internasional


Kita catat dulu catatan para penjajah internasional jenis mutakhir: “Kita adalah kekuatan yang invisible. Organisasi, institusi dan individu-individu di Negara-negara jajahan kita bikin secara tidak sadar bekerja untuk kepentingan kita. Tujuan kita yang sebenarnya tidak boleh diketahui oleh mereka, dengan membikin mereka merasa melawan kita, padahal mereka justru sedang menjalankan disain-disain kita”.

“Aktor-aktor yang menjalankan program internasional kita bukan orang-orang kita, melainkan tokoh dan aktivis masyarakat negara jajahan, seluruh agen polisi internasional, bankers, industrialis, ekonom, politisi, termasuk public figure, pemimpin-pemimpin informal. Mereka sangat penting karena mereka menjalankan sekaligus melindungi kita, sambil meyakini bahwa mereka sedang melawan kita”.

Kita dorong semangat, ambisi dan egoisme mereka dan kebutuhan mereka untuk sukses. Padahal mereka tak lebih bagaikan macan dengan jiwa domba karena mereka tidak mengerti visi dan kemauan kita yang sebenarnya. Siapapun tak ada yang akan menyangka bahwa orang-orang terkenal ini sebenarnya kita yang mengatur naik ke panggung, sesuai dengan rencana besar kita”.

Tidak mungkin itu semua kita urai dalam tulisan pendek. Jadi kalau berminat, jadikan PR saja, pelan-pelan dipelajari sambil nanya sana sini. Selebihnya, berikut ini saya sedikit menambahi sketsa-sketsa.

Flu atau pilek itu ‘icon’ nya hidung. Gambar orang flu berpusat pada hidung, umbel (ingus) dan sapu tangan, ditambah gebres-gebres, demam dan awak ndhrudhuk.

Tetapi apakah flu berpusat di hidung? Tidak. Hidung sebenarnya malah tidak ikut flu, yang flu adalah kondisi menyeluruh dari tubuh, namun hidung menanggung akibatnya dan paling tersiksa. Jadi kalau menyembuhkan flu, bukan hidung yang jadi fokus perhatian metoda kuratifnya.


Demikian juga kalau Anda melihat dan menilai soal narkoba, narkoba bukanlah pusat masalahnya. Narkoba “hanya” batalyon-batalyon tentara penjajah internasional yang disebar ke seluruh pelosok bumi. Batalyon pasukan neo-kolonialisme mondial lainnya dikirim menyerbu pasar ekonomi, info media, universitas dan sekolah, lembaga pemerintahan dan perwakilan rakyat dan semua lini kepengurusan sejarah suatu bangsa. Termasuk menjadi rayap-rayap dalam berbagai konsep, ideologi dan aturan-aturan hukum serta birokrasi.

Ada juga pasukan “lelembut” yang dikirim ke dalam otak kepala manusia, ke dalam hatinya. Memasukkan, mendesakkan dan mendominasikan virus-virus cara berpikir, irama selera, trend, sikap budaya, kecenderungan sosial dan apapun saja yang merupakan “software” kehidupan manusia. Batalyon pasukan lelembut ini dengan sendirinya terbawa sampai ke bilik-bilik pribadi, masuk dalam rumah-rumah ibadah, bahkan mempengaruhi cara manusia memperlakukan Tuhan, Malaikat, Nabi dan Kitab Sucinya. Tiba-tiba saja pada suatu hari ketahuan bahwa kita yang sangat yakin bahwa kita ini pandai dan saleh, ternyata kita adalah prajurit bantuan yang ikut melaksanakan tugas Gerakan Majnun Internasional.


Dari zaman ke zaman, dulu umat manusia dijajah oleh mitologi tentang aristokrasi raja-raja. Kemudian dijajah oleh serbuan tentara dari mancanegara. Berikutnya dijajah melalui ekonomi dan pasar. Lantas dijajah melalui pikiran dan perasaan. Dan sekarang semua formula imperialisme dan kolonialisme itu dipakai kapan saja dan mana saja yang paling relevan dan paling efektif.

Irak harus diserbu pasukan gabungan dengan terlebih dulu dicarikan “ayat”-nya agar sah menyerbu. Sedang dipikir-pikir antara tahun 2008 hingga 2015, Iran harus menjadi fokus serangan. Sementara itu harus bisa dipastikan terpecah belahnya Kaum Muslimin di seluruh dunia, dan cara memecah mereka adalah dengan memasukkan virus-virus cara berpikir, cara memandang, cara melihat dan cara merasakan atas segala sesuatu.

Indonesia tidak perlu diserbu dengan tentara, bedil, bom dan bayonet. Orang Indonesia gumunan, latah dan gampang dibikin mabuk: jadi cukup diserbu dengan iming-iming di segala bidang. Segala yang memabukkan dimasukkan ke Indonesia. Orang Indonesia begitu mudah mabuk demokrasi, sementara Amerika Serikat sendiri tak segitu-segitu amat menyikapi demokrasi.

Demokrasi, HAM, psikisme gender, otonomi daerah, teknologi komunikasi dan informasi, Neo-Liberalisme, dan segala macam partikel yang menggiurkan: diuntal mentah-mentah oleh orang Indonesia, tanpa reserve. Sesungguhnya demokrasi dan seterusnya itu adalah perangkat pengelolaan sejarah yang baik, jika manusia memahami dosisnya, batasnya, konteksnya, takarannya, koridor wilayahnya, ruang dan waktunya. Tetapi kita malas berpikir, pokoknya ambil dan telan bulat-bulat!

Jangankan narkoba: air sajapun memabukkan kalau sekali minum setengah drum. Nasi, rujak cingur, rawon, pecel, semua memabukkan jika tidak dikontekstualisir secara ruang dan waktu. Mungkin itu sebabnya Tuhan suruh kita shalat lima kali yang keseluruhannya hanya butuh waktu sekitar setengah jam. Kita pasti mabuk kalau Tuhan kasih metoda shalat yang satu kali shalat butuh waktu 3 jam, sehingga 5 kali sehari jumlah waktunya menjadi 15 jam. So shalat sajapun memabukkan dan berakibat negatif kalau tidak tepat satuan ruang dan waktunya.


Maka narkoba itu 10 kali lipat setan iblis efektivitasnya untuk memajnunkan manusia. Narkoba itu melebihi neraka, dan pemakai narkoba adalah manusia terbodoh tiada tara. Di dalam neraka, walau orang kesakitan tersiksa, tetapi masih memiliki kemuliaan karena mereka sedang menjalani hukuman alias pembersihan. Orang bersalah yang dihukum itu harus bangga, karena memang demikianlah yang benar. Salah + tidak dihukum = Salah kwadrat. Salah + dihukum = Benar. Orang yang bersalah, kemudian dipenjarakan dan dimasukkan neraka berarti sedang menjalankan kebenaran.

Akan tetapi sejahat-jahat dan sebodoh-bodoh pemakai narkoba masih jauh lebih bodoh dan lebih jahat para inisiator dan penyebar narkoba. Narkoba adalah senjata paling ampuh dibanding segala rudal dan bom jenis mutakhir. Kalau Negara adikuasa menjatuhkan bom di Surabaya maka sepanjang hidup Negara pengebom itu dikutuk oleh sejarah. Tetapi kalau narkoba yang membunuh satu atau dua generasi muda Indonesia yang jumlahnya melebihi penduduk Surabaya: tak ada yang dikutuk selain narkoba itu sendiri. Narkobanya dibajingan-bajingankan, tapi pelaku di belakangnya bisa justru menjadi public figure, tokoh panutan, duta keselamatan masyarakat atau apapun.

Emha Ainun Nadjib, 6 Oktober 2009

No comments: