Monday, October 5, 2009

Bertindaklah, Belum Terlambat


Dua gempa terjadi berturut-turut, Rabu dan Kamis (1/10). Yang pertama menggempur Kota Padang dan Pariaman, Provinsi Sumatera Barat, sedangkan gempa kedua menyerang Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

Di Kota Padang dan Pariaman, sesuai data Satuan Koordinasi Pelaksana Sumatera Barat, korban meninggal dunia mencapai 496 orang, sementara bangunan rusak berat 15.159 buah, rusak sedang 3.980, dan rusak ringan 6.737.

Sementara itu, di Kota Sungai Penuh sejumlah 1.385 bangunan rusak, 474 rusak berat, dan 63 rusak total, serta 2 orang tewas. Jarak antarkedua lokasi tersebut sekitar 160 kilometer.

Akan tetapi, jumlah korban di antara kedua lokasi tersebut mencolok perbedaannya. Dari pandangan mata wartawan Kompas, sebelumnya dia telah meliput Kota Padang, kerusakan Kota Sungai Penuh memang terlihat tidak separah Kota Padang.


Fakta-fakta lain
Fakta-fakta lain terkait kedua gempa tersebut juga banyak perbedaannya. Pertama adalah perbedaan lokasi pusat gempa. Pusat gempa yang melanda Kota Padang dan Pariaman berada di zona seismik di Palung Sumatera, di laut. Pusat gempa berada di kedalaman sekitar 71 kilometer. Jarak antara pusat gempa tersebut dan Kota Padang sekitar 57 kilometer.

Kekuatan kedua gempa itu bisa digolongkan gempa kuat. Gempa yang menghantam Padang berkekuatan 7,6 skala Richter (SR), sedangkan kekuatan gempa yang terasa di Kota Sungai Penuh adalah 7,0 SR.

Sementara pusat gempa Kota Sungai Penuh berada di daratan nyaris di bawah Kota Sungai Penuh. Pusat gempanya ada di daratan, yang berasal dari aktivitas tektonik pada Patahan Sumatera. Patahan ini membentang dari utara ke selatan. Patahan Sumatera dan jalur Palung Sumatera bisa dikatakan sejajar, memanjang dari utara ke selatan.

Lalu bagaimana semua fakta tersebut memengaruhi tingkat kerusakan dari kedua peristiwa gempa itu?


Jauh berbeda
Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, fakta-fakta tersebut menyebabkan muncul perbedaan pada dampak gempa.

Ada beberapa perbedaan yang membuat dampak gempa bumi di Padang dan Sungai Penuh jauh berbeda. Menurut Surono, setidaknya ada dua aspek yang harus dilihat karakternya secara khusus, yakni karakter sumber gempa dan media respons gempa.

Di Padang, gempa meluluhlantakkan bangunan dan menimbun korban dalam jumlah besar, sementara di Sungai Penuh jumlah korban memang jauh lebih sedikit. Di Sungai Penuh, bangunan yang roboh nyaris seluruhnya adalah bangunan dengan dinding tembok. Sementara bangunan kayu, biarpun setinggi dua lantai, tetap tegak berdiri.

Menurut Surono, dari hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pusat gempa di Jambi berkekuatan 7,0 SR, tetapi kedalaman pusat gempa yang melanda Kota Sungai Penuh kurang dari 30 kilometer, yang terhitung dangkal. Akibatnya, guncangannya tidak meluas, terbatas dalam radius yang relatif terbatas/sempit.

Sementara pusat gempa di Sumatera Barat ada di tengah laut dengan kekuatan lebih besar, yaitu 7,3 SR. Karena gempa menjalar dalam bentuk gelombang spasial, maka semakin jauh dari sumber gempanya, luas area yang tersapu gelombang pun semakin luas.

Analoginya adalah sorot lampu senter yang diarahkan ke dinding dari jarak pendek dan jauh. Kian dekat lampu sorot, cakupan cahayanya pun semakin terbatas.


Kekuatan daya rusak
Bagaimana dengan daya rusak? Salah satu indikatornya adalah jenis (karakter) tanah. Di Padang, seperti halnya kondisi Jawa Barat selatan, didominasi oleh tanah urai. Sifat lapisan tanah urai-endapan usia muda adalah memperbesar efek guncangan gempa (mengamplifikasi). Sedangkan karakter tanah Sungai Penuh relatif padat sehingga meredam getaran.

”Di Jambi relatif tak ditemukan aluvial (endapan muda) gunung api, sementara di Padang lapisan aluvial-nya tebal. Jadi, di Jambi dampak guncangan tidak separah di Padang,” ujarnya.

Kondisi tanah atau media permukaan di Padang dan Jabar selatan—Tasikmalaya di Jabar selatan diguncang gempa pada 2 September—lanjut Surono, didominasi aluvial pantai, aluvial sungai, dan bahan rombakan dari letusan gunung api. Harap diingat, Sumbar dan Padang memiliki gunung api aktif.

Karakter tanah gembur itu memperbesar efek guncangan. Akibatnya, bangunan di atasnya yang tidak tahan gempa atau tidak dirancang tahan guncangan akan menderita hebat.

Surono mencontohkan gempa beberapa tahun silam di Jawa Barat. Dampak gempa yang pusatnya berada lebih dekat di kawasan Indramayu justru mendatangkan kerusakan parah pada bangunan di Tasikmalaya.

Hal senada dinyatakan Kepala Pusat Mitigasi Bencana ITB Wayang Sengara. ”Yang jelas, lapisan tanah di Padang yang dekat pantai itu belum padat, masih lunak, sehingga dia bersifat memperkuat (mengamplifikasi) getaran. Ini berbeda dengan daerah di Sungai Penuh yang dekat pegunungan, yang lebih keras lapisan struktur tanahnya sehingga amplifikasinya kecil sekali,” ujarnya. Faktor lain adalah ketahanan bangunan.

Menurut Wayan Sengara yang juga dosen di jurusan Teknik Sipil ITB, dari foto-foto yang telah dipublikasikan, tulangan beton bangunan yang roboh memang tampak tidak memenuhi syarat sebuah bangunan tahan gempa.

Bangunan yang lebih ringan dengan ikatan yang bagus, juga luas lantai yang lebih kecil, itu lebih aman, lebih tahan gempa,” ujarnya.


Bisa dihindari
Setelah semua ini diketahui, menurut Surono, tetap ada jalan untuk menghindari risiko atau mengurangi risiko gempa.

Gempa dan karakter tanah merupakan wilayah yang tidak bisa direkayasa di luar sifat alaminya. Keduanya merupakan faktor tetap.

Yang bisa dilakukan manusia adalah beradaptasi dengan kondisi geografis dengan penerapan sejumlah kebijakan dan memperbaiki respons darurat kebencanaan, serta membuat produk-produk ramah bencana.

”Kuncinya, semua pihak menjalankan bagian tugasnya masing-masing dengan baik,” katanya. Apa yang dikatakan Surono benar adanya karena Indonesia telah memiliki undang-undang tentang penanggulangan bencana.

”Silakan para ahli berbicara sesuai keahliannya. Namun, jangan lupa berbuat nyata, berbuat sesuatu di tengah negeri bencana ini, karena gempa mengintai sewaktu-waktu,” ujarnya. Sayangnya, justru itulah kelemahan Indonesia selama ini.

KOMPAS, 3 Oktober 2009

No comments: