Wednesday, September 17, 2025

Merawat Demokrasi


Cukup lama James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998) mengingatkan bahaya ketika negara modern terjebak dalam logika prosedur teknis yang kaku dan menafikan kearifan lokal. Negara, kata Scott, sering terpesona pada data, tabel, dan rancangan birokratis, tetapi gagal memahami kehidupan riil warga. Politik semacam itu menjauhkan pemerintah dari rakyat, sekaligus membuat demokrasi kehilangan 'rasa'.

Fenomena ini nyata di Indonesia hari ini. Saat harga kebutuhan pokok melambung, solusi instan impor pangan kembali ditempuh meski menyingkirkan hasil tani dalam negeri. Proyek infrastruktur digenjot, namun kerap menabrak ruang hidup masyarakat. Rancangan undang-undang bergulir cepat, tetapi lebih sering menguntungkan elite ketimbang menjawab aspirasi publik.

Namun persoalan tidak hanya datang dari atas. Di akar rumput, ekspresi politik rakyat juga kerap kehilangan bentuk yang sehat. Demonstrasi yang mestinya menjadi kanal aspirasi, sering kali berubah menjadi ajang anarki: fasilitas publik dirusak, pengguna jalan menjadi korban, dan solidaritas rakyat justru terkoyak oleh amarah. Demokrasi pun tampil kering, sekadar mekanisme prosedural tanpa empati —baik di meja elite maupun di jalanan.


Elite dan Rakyat
Kenyataan itu semakin ironis jika melihat perilaku sebagian elite. Data BPS (2023) mencatat ada 26,36 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada saat sama, anggota DPR memperoleh fasilitas dan tunjangan hingga miliaran rupiah per tahun. Kontras ini menyingkap jarak antara amanat rakyat dan praktik kekuasaan. Wajah demokrasi akhirnya dipersepsi sebagai pesta elite, bukan ruang bersama untuk kesejahteraan.

Nabi Muhammad saw., dalam catatan sejarawan W. Montgomery Watt (Muhammad: Prophet and Statesman, 1961), menolak simbol kemewahan sebagai kritik terhadap feodalisme Mekkah. Alas tidurnya hanyalah kulit berisi sabut, dan beliau kerap menahan lapar agar tidak membebani umat. Kepemimpinan beliau berakar pada amanah, bukan privilese. Kesederhanaan itu bukan sekadar gaya hidup, melainkan ekspresi dari rasa —empati, kepekaan, dan tanggung jawab sosial.

Sayangnya, etika ini makin absen dalam praktik politik kita. Anggota dewan yang mestinya pelayan rakyat kerap bertingkah bak raja kecil: menikmati fasilitas mewah, mengabaikan aspirasi konstituen, dan menguras keuangan negara demi kepentingan pribadi. Demokrasi kehilangan roh.


Scott lantas membedakan antara techne —pengetahuan teknis yang terukur— dan metis, yakni kearifan praktis yang hidup dalam masyarakat. Demokrasi Indonesia terlalu larut dalam techne: prosedur, aturan, dan data pertumbuhan ekonomi. Namun ia abai pada metis: pengalaman sehari-hari petani, buruh, nelayan, atau masyarakat kecil yang merasakan langsung dampak kebijakan. Ketika metis ini tak lagi menjadi rujukan, politik kehilangan “rasa,” dan negara kian jauh dari rakyatnya.

Dalam khazanah Jawa, Ki Ageng Suryomentaram menempatkan rasa sebagai pusat hidup manusia —jalan memahami diri dan kenyataan. Penderitaan, menurutnya, lahir dari “kepenginan”: ingin dipuji, ingin memiliki, ingin berkuasa. Demokrasi yang kehilangan rasa pun jatuh pada kepenginan serupa: elite sibuk mengejar legitimasi, kelompok massa sibuk mencari pengakuan, sementara kebutuhan riil rakyat terabaikan.


Kurikulum Cinta
Di tengah krisis rasa inilah Kementerian Agama menawarkan Kurikulum Cinta. Kurikulum yang berperan sebagai kerangka pendidikan yang berupaya menjahit simpul-simpul kebangsaan melalui kasih sayang, empati, dan penghargaan pada perbedaan.

Konsep ini menekankan lima pilar: cinta kepada Tuhan, cinta kepada diri dan sesama, cinta pada ilmu pengetahuan, cinta lingkungan, dan cinta tanah air.

Jika politik hari ini sibuk dengan kepentingan sesaat, Kurikulum Cinta justru menyiapkan generasi yang cerdas sekaligus hangat hati. Generasi yang tumbuh di madrasah ramah anak, terbiasa menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan terbuka merawat keragaman. Di sanalah demokrasi bisa menemukan kembali rasa yang hilang: rasa percaya, rasa adil, dan rasa peduli.

Sayangnya, yang kerap muncul dalam demonstrasi belakangan ini justru sebaliknya. Tuntutan keadilan berujung anarki, solidaritas berubah jadi kecurigaan, dan suara rakyat larut dalam amarah. Demokrasi tanpa rasa cinta hanya melahirkan kegaduhan, bukan dialog.

Membumikan Kurikulum Cinta berarti mengembalikan politik pada rasa rakyat. Ia bukan dokumen pendidikan belaka, melainkan ajakan untuk menolak kepenginan elite dan menghidupkan empati dalam relasi sosial.


Suluh Bumi Pertiwi
Momentum Maulid Nabi saw. memberi peluang refleksi atas krisis ini. Perayaan Maulid tidak semestinya berhenti pada ritual seremonial, melainkan menjadi pengingat bahwa kepemimpinan sejati tak mungkin dilepaskan dari rasa cinta: cinta kepada rakyat kecil, kepada kebenaran, dan kepada keadilan.

Sebagaimana wejangan Ki Ageng, jalan pulang manusia adalah jalan pulang kepada rasa. Politik pun mestinya demikian. Pulang kepada rasa rakyat. Bukan rasa yang dikuasai kepentingan sesaat, melainkan rasa yang jujur dalam mendengar penderitaan, menimbang aspirasi, dan mengupayakan keadilan.

Indonesia hari ini membutuhkan lebih dari sekadar prosedur demokrasi lima tahunan. Ia membutuhkan keberanian moral untuk membumikan Kurikulum Cinta ke dalam praktik politik. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung glamor yang menampilkan elite dengan segala fasilitasnya, sementara rakyat dibiarkan di pinggir jalan sejarah.

Maulid mengingatkan: tanpa rasa cinta, demokrasi kehilangan jiwa.

Prof Dr M Khusna Amal SAg MSi,
Wakil Rektor I UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember
SKH Kedaulatan Rakyat, 8 September 2025
KRjogja.com

No comments: