Untuk menggerakkan mesin demokrasi diperlukan pilar-pilar penting, khususnya partai politik. Parpol sebagai pilar demokrasi memiliki fungsi dan peran signifikan, baik secara internal maupun eksternal. Mengapa parpol signifikan?
Secara internal, parpol harus mampu menjadikan dirinya sebagai partai kader, tempat atau wadah bagi kader-kader yang notabene akan menjadi calon pemimpin.
Partai juga menjadi tempat pelatihan kepemimpinan yang seharusnya dibekali cukup ilmu, substansi sesuai dengan targetnya sebagai pemimpin di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Partai juga melakukan pelembagaan (institusionalisasi) nilai-nilai demokrasi.
Mengingat fungsi-fungsi itu, partai menjadi kunci utama yang mempunyai peran penting dalam proses demokrasi. Baik buruknya demokrasi, sehat beradabnya demokrasi yang kita jalani, akan sangat bergantung pada kualitas partai kita.
Secara umum menunjukkan bahwa partai di Indonesia belum mampu membangun dirinya sebagai institusi demokrasi. Konsistensi para elite politik masih sangat rendah untuk melakukan hal itu. Tarikan kepentingan yang mengutamakan vested interest lebih mengedepan. Ini jadi bukti pragmatisme dan oportunisme partai.
Dinamika politik Indonesia berkembang cukup pesat sejak 1998, yang ditandai dengan makin menguatnya civil society, perubahan sistem kepartaian, peran DPR (parlemen), dan pemilihan umum. Parpol dan parlemen cenderung mendominasi kekuatan politik di Indonesia. Peran politik cukup menonjol.
Ingar-bingar politik Indonesia tak dapat dilepaskan dari aktivitas parpol dan DPR. Menguatnya peran parpol dan parlemen ini berpengaruh terhadap peta politik Indonesia meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Contohnya, fragmentasi parpol yang terjadi belakangan ini menyebabkan parpol tidak solid. Jumlah fraksi dari periode ke periode cenderung meningkat. Ironisnya, fragmentasi kepartaian semakin meningkat ketika kebijakan untuk menaikkan electoral threshold diterapkan.
Padahal, ketika electoral threshold dinaikkan, jumlah partai yang punya kekuatan signifikan di DPR menurun karena kekuatan politik semakin terkonsentrasi. Seiring dengan itu, jumlah fraksi partai juga kian mengecil sehingga pekerjaan DPR lebih mudah diprediksi. Masalahnya, tingkat ketidakpuasan massa terhadap parpol cenderung kian tinggi. Aspirasi dan kepentingan massa tak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal.
Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat, absen. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang jadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat namun pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusinya hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
Gagalnya parpol melakukan terobosan-terobosan penting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat akan memunculkan lebih banyak lagi komite-komite/komunitas-komunitas baru atau gerakan-gerakan massa baru yang menuntut perubahan dan menawarkan tokoh-tokohnya. Atas nama keterpurukan ekonomi, meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran dan kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, ke depan sulit dihindarkan munculnya gerakan-gerakan massa baru. Kecenderungan departaisme seiring dengan menguatnya peran tokoh tersebut tampaknya akan berlangsung terus apabila partai tak melakukan reformasi.
Pergulatan politik ke depan akan diwarnai oleh maraknya kompetisi antartokoh yang ada seperti yang kita saksikan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden satu dekade belakangan ini. Keinginan untuk merampingkan jumlah partai untuk mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif semakin menguat. Ini diharapkan sebagai langkah awal merealisasikan terbentuknya pemerintahan yang didukung partai yang memperoleh suara mayoritas (50 persen + 1) di parlemen. Dengan cara itu, pemerintah relatif lebih mudah menghadapi hadangan parlemen, dan parpol diharapkan dapat bekerja lebih profesional.
Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol membuat kepercayaan rakyat kepada parpol menurun drastis. Parpol belum menjadi partai kader, tetapi lebih mengandalkan peran ketokohan seorang ketua partai atau ketua dewan pembina sebagaimana ditunjukkan selama ini. Pembenahan partai tampak semakin sulit di tengah maraknya kasus korupsi yang dialami partai atau politisi di parlemen. Upaya untuk menyehatkan politik Indonesia tak kunjung menjadi realitas di saat distorsi justeru makin intensif.
Sejak 1999 Indonesia dikuasai parpol. Politik menjadi cukup dominan. Dan dampaknya sangat krusial terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah perubahan dan terobosan politik yang dibuat selama ini cenderung melompat-lompat dan tak substansial. UU Pemilu yang semestinya menjadi payung hukum yang kuat dan memberikan kepastian dalam pelaksanaan pemilu, realitasnya malah memunculkan gugatan-gugatan berupa judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai payung hukum, UU Partai Politik diharapkan dapat memperbaiki sistem kepartaian yang ada, tetapi yang muncul justru kontroversi dan ketidakpuasan. Padahal, baik buruknya parpol akan berpengaruh terhadap penguatan dan peningkatan efektivitas sistem pemerintahan. Bahkan, praktik sistem presidensial banyak menghadapi kendala di tengah pelaksanaan sistem multipartai.
Penyederhanaan sistem kepartaian sangat relevan untuk diterapkan dalam rangka menciptakan sistem multipartai sederhana, yaitu sederhana dalam jumlah partai dan dalam pengelompokan ideologis. Kepengurusan partai pusat dan daerah minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan ketua-ketua departemen. Parpol baru boleh ikut pemilu apabila minimal sudah berusia lima tahun dari sejak didirikan atau dibentuk. Penguatan pelembagaan partai politik diperlukan untuk mendorong partai kader dan kemandirian dana. Perlu pelembagaan kewajiban parpol untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, artikulasi/agregasi kepentingan, komunikasi politik, pengaderan dan perekrutan.
Sebagai konsekuensi partai kader, partai dilarang memiliki underbouw. Partai hanya boleh mengefektifkan cabang dan ranting-rantingnya. Satgas partai dilarang menyerupai simbol-simbol dan atribut militer. Partai dituntut untuk memperketat sistem dan pola perekrutan keanggotaan partai, membangun sistem kaderisasi dan kepemimpinan, serta memiliki program yang jelas dalam memenuhi fungsi-fungsinya.
Salah satu problem partai politik di Indonesia adalah ketiadaan political merit system. Partai-partai di Indonesia pada akhirnya tidak dapat menjalankan fungsi politik, yaitu pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ideologi yang kuat sebagai landasan dalam menyusun platform dan tidak adanya proses kaderisasi parpol yang baik.
Agar sistem partai kader bisa tercipta, underbouw partai politik tidak dibutuhkan lagi. Ini juga dimaksudkan agar ada pembatasan yang jelas antara political society dan civil society, dan parpol harus dibedakan dengan ormas. Selain itu, kemandirian parpol diperlukan agar parpol tidak senantiasa mencari "cantolan" ke penguasa sehingga intervensi kepengurusan partai oleh penguasa juga dapat diminimalkan.
Demokrasi Indonesia akan terancam jika parpol terikat pada kepentingan donatur parpol, sedangkan bantuan negara kepada parpol membuat maraknya pembentukan partai baru.
Pengalaman Pemilu 2019 seharusnya jadi tonggak perbaikan institusi partai agar hasil pemilu yang akan datang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Pascapemilu rakyat bisa menyaksikan kinerja pemerintah yang lebih berpihak ke nasib rakyat. Dengan demikian, ada korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
R Siti Zuhro,
Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 2 November 2019
No comments:
Post a Comment