Wednesday, January 15, 2020

Kibasan Ekor Anjing


Amy Bender adalah seorang penulis lepas (freelancer) dan pelatih anjing. Ia sudah memublikasikan lebih dari 100 artikel tentang anjing. Amy paham benar terhadap polah tingkah anjing, gerak tubuh anjing. Dalam artikelnya, Different Meanings of a Dog's Wagging Tail, Amy menulis kibasan ekor adalah sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan oleh seekor anjing.

Bila seekor anjing mengibas-ngibaskan ekornya, bukan tanpa maksud. Menurut Amy, anjing itu ingin menyampaikan sesuatu, apa yang dirasakan. Banyak orang menganggap bahwa bila seekor anjing mengibas-ngibaskan ekornya, berarti anjing itu merasa senang.

Anggapan seperti itu, ada benarnya. Meskipun, kibasan ekor, yang sebenarnya merupakan bentuk komunikasi anjing dengan manusia atau binatang lain, sebagai pertanda bawa si anjing akan berlaku agresif.


Kibasan ekor anjing itu (wag the dog) kemudian menjadi idiom politik. Pada 1997, novel karya Larry Beinhart yang berjudul American Hero (1993) diangkat ke layar lebar dengan sutradara Berry Levinson. Larry Beinhart dalam bukunya berpendapat bahwa Perang Teluk dilakukan sebagai taktik oleh George HW Bush untuk mengalihkan perhatian publik AS menjelang pemilu presiden untuk masa jabatan kedua.

Dalam film yang naskahnya ditulis oleh David Mamet itu, Conrad Brean (Robert De Niro) berperan sebagai spin doctor terkenal yang dipekerjakan presiden untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal seks presiden. Tugasnya adalah menjaga, mengalihkan perhatian publik terhadap presiden, terutama menjelang pemilu. Sementara itu, Stanley Motss (Dustin Hoffman), seorang sutradara kondang dan sukses di Hollywood, ditugaskan oleh tim kepresidenan untuk membuat skenario film perang di Albania.

Setahun kemudian, setelah film itu dirilis, Presiden Bill Clinton tersangkut kasus skandal seks dengan Monica Lewinsky. Menjelang kasus itu terbongkar, Clinton memerintahkan penyerangan terhadap pabrik obat-obatan al-Shifa di Sudan (Agustus 1998). Dan, ketika akan menghadapi pemakzulan karena kasus tersebut, Desember 1998, Clinton memerintahkan penyerangan terhadap Irak. Publik di AS berpendapat serangan udara terhadap Sudan dan Irak itu sebagai pengalihan perhatian masyarakat (wag the dog) terhadap kasus yang menimpa Clinton.


Cara yang sama dilakukan Donald Trump, pada April 2017, ketika ia memerintahkan serangan terhadap Suriah. Taktik wag the dog itu dilakukan Trump, untuk mengalihkan perhatian publik AS dari rating-nya yang rendah (40 persen). Merosotnya rating itu lantaran Trump tengah diselidiki berkait masalah hubungannya dengan Rusia, dan konflik-konflik kepentingan lainnya.

Kini, serangan pesawat nirawak AS di Baghdad yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani, Komandan Brigade Al-Quds, unit elite di jajaran Garda Revolusi Iran pun dipandang sebagai taktik wag the dog yang dilancarkan oleh Trump. Skenario ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik terhadap kasus pemakzulan (impeachment) terhadapnya dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.

Taktik mengalihkan perhatian masyarakat banyak, publik, tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Banyak cara dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari sebuah kasus, perkara, tragedi, atau juga sebuah tujuan politik, misalnya dalam kampanye pemilihan presiden yang baru lalu.


Menjelang pemilihan presiden lalu, misalnya, berbagai informasi tentang calon presiden dan wakil presiden masing-masing kandidat berseliweran. Para calon pemilih pun terkena dampaknya. Emosi mereka teraduk-aduk, hati pun meledak-ledak dibakar rasa marah setelah menerima informasi. Padahal, informasi yang diterima belum jelas benar apakah benar ataukah tidak. Atau suatu jenis informasi yang belum bisa dijamin kebenarannya.

Informasi yang berseliweran tersebut beraneka ragam, dan banyak yang tidak menyangkut rekam jejak para calon atau program-program, atau berbagai persoalan dengan solusinya, melainkan lebih menyerang pribadi kandidat. Tidak aneh, kalau kemudian perhatian calon pemilih pun teralihkan.

Di sini media —apa pun platformnya— memainkan peran penting. Media massa entah cetak maupun elektronik, serta media sosial, kini juga dilihat sebagai salah satu kekuatan untuk mengalihkan perhatian masyarakat banyak. Dan karena media memiliki fungsi legitimasi di dalam dunia politik, maka tidak aneh kalau banyak politisi yang berusaha menyebarkan pengaruhnya melalui kekuatan media.

Itulah sebabnya, media seringkali dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk membujuk pendapat dan anggapan serta mendefinisikan, membentuk, dan menggiring persepsi masyarakat. Yang lebih ekstrem lagi adalah apa pun yang terjadi bisa dibentuk bahkan diatur. Langkah selanjutnya adalah disebarluaskan ke dalam nafas kehidupan anggota masyarakat sehingga akan memengaruhi setiap ide dan pandangannya tentang sesuatu yang terjadi.


Maka itu, di zaman kini, sudah menjadi gejala umum dari pusat hingga daerah, adanya fenomena pemanfaatan media sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elite. Berbagai bentuk pencitraan yang berlebihan, kecenderungan sikap diskriminatif terhadap golongan atau tokoh tertentu, juga berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun tidak jarang mudah kita jumpai. Di AS, Donald Trump paling suka berusaha memengaruhi pendapat masyarakat lewat cuitan twitter-nya. Trump sangat piawai dalam hal mempraktikan skenario wag the dog.

Tentu, ini sangat mencederai kehidupan masyarakat demokratis. Dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak atau memiliki hak untuk mendapatkan informasi, bebas mengakses sumber informasi publik yang obyektif, yang benar. Sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream —juga media non-mainstream— tidak jarang justru mulai ditunggangi oleh kepentingan elite politik tertentu untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompoknya.

Ibarat kata, kadang kala media kurang cerdik membaca atau kurang tepat, kurang memiliki ketajaman penciuman untuk mengartikan "kibasan ekor anjing", apakah itu kibasan tanda senang atau siap-siap mau agresif untuk memperjuangkan kepentingannya.

Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988-2018
KOMPAS, 7 Januari 2019

No comments: