Yunus Husein, Kepala PPATK Periode 2002-2011.
Tulisan Prof Romli cukup baik karena ditulis oleh seorang guru besar yang penuh pengalaman di dalam dan di luar kampus, termasuk pengalaman beliau di pemerintahan, khususnya di bidang hukum. Prof Romli mengungkapkan keprihatinannya perihal cara-cara penanganan kasus korupsi yang kental dengan muatan politis yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara yang arogan.
Berbagai cara pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dianggap dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa Timur yang dikenal dengan keluhuran budinya. Pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara melawan hukum.
Langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan. Langkah ini dianggap bertentangan dengan semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat bangsa Indonesia.
Abraham Samad, Ketua KPK (Komisi Pemberantas Korupsi).
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan KPK berulang-ulang, penanganan kasus tindak pidana korupsi di KPK tidak ada yang bermuatan politis. Walau demikian, karena yang terkena sebagian besar memiliki kekuasaan atau kedudukan, memang dirasakan ada muatan politis dalam kasus yang ada. Kami menyadari penanganan kasus korupsi seringkali dilakukan dengan cara-cara pengumuman tersangka dalam suatu konferensi pers yang kadangkala mempermalukan tersangka dan keluarganya.
Ini dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang menggunakan prinsip naming and shaming, yakni menyebutkan nama orangnya dan mengumumkannya kepada publik secara transparan. Dengan cara ini, diharapkan ada penjeraan kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi. Dengan penanganan secara transparan ini, selain untuk akuntabilitas, juga dapat memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan pengawasan terhadap kasus tersebut.
Kiranya perlu dikaji kembali apakah penerapan prinsip naming and shaming ini lebih baik dilaksanakan sejak penyidikan atau setelah ada putusan pengadilan. Juga perlu diperhatikan bagaimana dampak penerapan prinsip ini sejak penyidikan terhadap keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Kasus BG dimulai dengan adanya Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung pada tahun 2010. Kemudian majalah Tempo edisi 28 Juni 2010 dengan judul; “Rekening Gendut Perwira Polri” memuat informasi mengenai aliran dana dan transaksi sejumlah perwira dan purnawirawan Polri yang sumber informasinya diindikasikan kuat berasal dari LHA tersebut.
Calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang dijadikan tersangka oleh KPK.
Dengan beredarnya substansi LHA tersebut, maka pada 30 Juni 2010 PPATK berkirim surat kepada Kepala Polri yang ditandatangani Wakil Kepala PPATK Prof Gunadi karena Kepala PPATK sedang dalam perjalanan dinas di luar negeri, yang intinya sangat menyesalkan dan sungguh prihatin dengan terjadinya kebocoran informasi.
PPATK juga meminta Kepala Polri melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal mula kebocoran LHA dan menindak tegas kepada pelakunya. PPATK juga meminta dilakukan tindakan segera untuk mengatasi kebocoran informasi tersebut dan memperbaiki mekanisme internal untuk mencegah kemungkinan terjadi pembocoran di masa mendatang.
Setelah kebocoran tersebut, saya sebagai Kepala PPATK ditemani Direktur Kerja Sama PPATK Brigadir Jenderal Polisi Tri Priyo mengadakan pertemuan dengan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi di Jakarta. Pada pertemuan tersebut, kami mempertanyakan masalah sumber kebocoran informasi yang berasal dari LHA PPATK.
Beliau menjawab; “Pak Yunus, kalau tidak membocorkan, tenang saja tidak perlu khawatir.” Lalu dari mana sumber kebocorannya? Menurut beliau, sumber kebocoran berasal dari perwira Polri yang kecewa karena tidak naik pangkat walau sudah dijanjikan oleh Kapolri. Perwira inilah yang memberikan informasi yang bersumber dari LHA kepada wartawan Tempo.
Siapa perwira yang membocorkan tersebut, saya tidak pernah tahu. Mungkin pembocor ini seorang yang sakit hati atau merasa kurang diperhatikan atau merasa disingkirkan. Ini pernah terjadi pada waktu kebocoran laporan pemeriksaan Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan RI pada 1999 yang mengindikasikan hilangnya uang sebesar Rp 300 miliar dari dana operasional surat izin mengemudi (SIM) dan praktik penyelewengan dana pengamanan Pemilihan Umum 1999 sebesar Rp 96,7 miliar rupiah (Tempo, 12 Maret 2000).
Save KPK dan Save POLRI, yang sempat menjadi trending topic dalam lini masa media sosial.
Semoga penjelasan ini bisa memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Akhir-akhir ini hasil penyelidikan terhadap LHA PPATK tersebut disertai hasil investigasi wartawan dimuat pada beberapa media massa, seiring dengan pencalonan BG oleh Presiden sebagai calon tunggal Kepala Polri walau sebelumnya KPK dan PPATK tidak merekomendasikan BG sebagai calon menteri.
KPK juga menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai tersangka ini mengundang berbagai pertanyaan dan reaksi yang beragam. Sebagian menyatakan sah-sah saja KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sebagian mempertanyakan kenapa KPK begitu lama menetapkan BG sebagai tersangka dan baru menetapkannya sekarang setelah BG dicalonkan sebagai calon tunggal Kepala Polri?
Mengapa rekening gendut milik perwira Polri lainnya tidak diselesaikan juga? Masalah timing dan cara mengumumkannya sebagai tersangka dianggap kurang tepat dan tidak etis karena menjadikan seorang calon Kepala Polri sebagai tersangka.
Ada yang berpendapat perbuatan KPK ini kurang menghargai Presiden Jokowi sebagai pejabat tertinggi dalam pemerintahan presidensial. Prof Romli berpendapat sikap KPK ini sama dengan melawan kebijakan Presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara.
Abraham Samad, Jokowi, Budi Gunawan dan Megawati. Siapa yang paling kuat, dan siapa yang paling menentukan?
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, sekarang ada empat macam produk PPATK yaitu LHA, LHP (hasil pemeriksaan), rekomendasi, dan informasi. LHA dan LHP ini biasa diberikan kepada penegak hukum. Dalam standar internasional LHA bukanlah alat bukti, baik bukti tertulis ataupun bukti surat.
LHA hanya merupakan petunjuk mengenai dugaan terjadinya tindak pidana, baik berupa tindak pidana asal dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). LHA dan dokumen lain yang berasal dari PPATK harus dirahasiakan oleh pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengatur dan pengawas industri jasa keuangan dengan ancaman hukuman paling lama empat tahun penjara.
LHA ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik yang menurut Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional, dan penyidik pajak. Selanjutnya penyidik melakukan penyelidikan untuk membuat jelas apakah tindak pidana asal atau TPPU sudah terjadi atau tidak. Apakah barang bukti dan alat-alat bukti sudah cukup untuk meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dengan tersangka yang sudah bisa ditentukan atau belum.
Karikatur yang menggambarkan peranan Megawati yang mengusung Jokowi menuju tampuk kekuasaan RI-1 dalam Pilpres 2014 yang lalu.
Berdasarkan UU TPPU tersebut, KPK telah meminta beberapa LHA dari PPATK terkait kasus BG. Tampaknya KPK memerlukan waktu yang lama karena KPK melakukan penyelidikan yang hati-hati dan mendalam karena menyangkut seorang petinggi kepolisian dan kasusnya juga tidak sederhana.
Mungkin karena alasan itulah, penyelidikan kasus ini agak lama dan memakan waktu lebih dari setahun. Marilah kita tidak saling menyalahkan, tetapi berusaha selalu menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau kepentingan yang lebih luas. Kurangilah pernyataan yang tidak perlu atau sekedar mengecam.
Semoga kita mampu mencari jalan keluar terbaik terhadap masalah yang timbul sebagai akibat pencalonan BG sebagai Kepala Polri dengan secepat-cepatnya, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan negara atau kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok atau partai.
Sehingga dengan demikian, kita dapat lebih efektif memberantas korupsi dan lebih fokus untuk membangun demi terciptanya Indonesia raya yang hebat dan jaya.
Yunus Husein,
Kepala PPATK Periode 2002-2011
KORAN SINDO, 26 Januari 2015