Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar (Emiritus) Universitas Padjadjaran.
Pemberitaan pers tidak pernah setelanjang ini di negara-negara demokrasi dan penjunjung tinggi HAM mana pun. Kenyataan yang saya amati sejak kiprah KPK Jilid III terbukti bahwa pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara melanggar hukum.
Jargon pemiskinan koruptor disalahartikan bahkan disalahgunakan dengan dalih pencucian uang untuk mempermalukan dan membinasakan siapa pun yang ditetapkan sebagai koruptor oleh KPK. Siapa pun jika telah diduga atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, serta merta mereka menjadi “mayat hidup” alias zombie tanpa ada toleransi.
Bahkan melakukan reaksi atas perlakuan KPK otomatis dicap sebagai tidak antikorupsi. Bahkan sampai penasihat hukum tersangka korupsi diperlakukan sama dengan kliennya dengan dalih menghalang-halangi proses penyidikan. Berbagai cara untuk menjerakan dan memiskinkan tersangka korupsi oleh KPK telah dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa timur yang dikenal dengan keluhuran budinya sejak dulu.
Abraham Samad, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Bahkan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, sejarah mencatat ada pimpinan lembaga negara di luar konstitusi yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan antar lembaga negara.
Jika KPK sejak 2009 melakukan proses koordinasi dan supervisi dan mengambil alih kasus BG, tentu tidak harus menunggu sampai lima tahun lebih untuk menetapkannya sebagai tersangka tanpa harus berseberangan dengan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Langkah pimpinan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara-cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antar lembaga ketatanegaraan.
Terlepas dari benar dan tidaknya perolehan alat bukti yang cukup sesuai KUHAP, tetap saja dalam pandangan penulis merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat hidup bangsa Indonesia. Sehebat apa pun lembaga yang sama di negara lain, juga termasuk di Hong Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu langkah pun yang (berani) bertentangan dengan seorang gubernur Hong Kong, terutama sebelum masuk sebagai bagian dari pemerintahan China.
Langkah KPK terhadap BG merupakan langkah kedua kalinya setelah HP yang persis pada hari ulang tahun dan memasuki masa pensiun dinyatakan sebagai tersangka dan langkah kedua pula terhadap jenderal dari kepolisian. Masyarakat tentu bertanya-tanya apakah rekening gendut berdasarkan data PPATK tidak ada di kalangan pati instansi lain atau di kalangan kejaksaan dan pengadilan?
Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kapolri yang dijadikan tersangka oleh KPK.
Di sinilah dituntut kejujuran dan transparansi pimpinan PPATK dan KPK untuk secara konsisten dan konsekuen seperti terhadap institusi Polri. Jika negara tercinta ini mau dibereskan oleh PPATK dan KPK, saya dukung sepenuhnya tanpa ada tebang pilih lagi!
Hati nurani, adat istiadat, dan keluhuran budi sebagai orang Timur warisan nenek moyang kita kini sudah hancur lebur. Manusia tentu ada alpa dan ada sengaja. Itu telah menjadi fitrahnya sehingga jika kedua niat jahat tersebut dilakukan pasti ada akibat yang merugikan baik kepada individu lain, masyarakat, atau negara.
Penetapan tersangka dalam praktik yang sering dilakukan secara simbolik yang dibalut dengan hukum kini telah merupakan praktik yang menjurus kepada keharusan. Dan bukan sesuatu yang ditabukan karena cara-cara tersebut lebih populer dibandingkan dengan proses peradilan dengan prinsip “due process of law,” yang dianggap lamban.
Profil seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK secara simbolik dan kental muatan politis tersebut secara kasatmata telah dipertontonkan dan disertai arogansi. Sekalipun tersangka adalah pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan negara dibandingkan (mungkin) pengabdian pimpinan KPK itu sendiri.
Gedung KPK diselubungi spanduk besar "PILIH YANG JUJUR", saat menjelang Pemilu 2014 yang lalu.
Kini pepatah, “hilang kemarau setahun dengan hujan satu hari,” tidak terbantahkan. Pangkat, jabatan, pengalaman, dan tanda jasa seketika sirna bak dimakan api yang mengganas baik terhadap diri maupun seluruh keluarganya. Apakah memang pola penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seperti ini yang dikehendaki oleh pendiri negara ini dan khususnya pembuat/penyusun UU Tipikor dan UU KPK?
Jawabannya tidak! Jika mau merenung dan meneliti secara jernih dan obyektif seluruh UU terkait dengan apa yang saya uraikan, termasuk UU Pers, tidak ada satu ketentuan pun di dalamnya yang bertujuan “menghabisi secara lahir dan batin pelaku kejahatan termasuk koruptor dan seluruh keluarganya” atau memiskinkan koruptor. Pola itu bahkan tidak juga tercantum di dalam TAP MPR RI Nomor XI Tahun 1998 dan perubahannya.
Sebelum lima pimpinan KPK Jilid III lengser seharusnya masyarakat sipil juga mendorong agar mereka tidak tebang pilih. Jika meneliti Pasal 6 huruf a hingga e UU KPK, pertanyaan saya, apakah KPK telah melalui tahapan-tahapan sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut untuk berkoordinasi dan melakukan supervisi dalam mengambil alih kasus BG dari Polri?
Informasi rekening gendut yang diberitakan dan berasal dari mantan pimpinan PPATK dan orang lain yang terkait sejatinya merupakan pelanggaran atas larangan penyebarluasan isi dokumen yang tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU 2010, dengan ancaman empat tahun.
Penyidik Polri tanpa harus menunggu pengaduan seharusnya telah memeriksa mantan pimpinan PPATK dan pihak lain terkait pemberitaan tersebut. Apalagi kini tersebar luas dalam media sosial sejumlah rekening pati Polri.
Hukum harus ditegakkan dan berlaku sama kepada semua pihak, sekalipun langit akan runtuh!
Romli Atmasasmita,
Guru Besar (Emiritus) Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 23 Januari 2015
No comments:
Post a Comment