Friday, July 4, 2014

Selubung Fitnah Itu Semakin Terkuak

Bagi Prabowo: "Satu musuh terlalu banyak, dan seribu teman terlalu sedikit."

Roda sejarah bergulir. Bukan secara kebetulan. Begitu juga sejarah anak manusia. Seperti sejarah sosok cerdas, pemberani, dan pecinta negeri paling romantis ini.

Telah terjungkal ia, diterjang fitnah, yang tak pernah usang di daur ulang. Dipaksa memikul dosa satu institusi, seorang sendiri. Dipojokkan. Terhina di mata anak bangsa. Terusir dari keluarga mertua. Terpisah dari istri dan ananda tercinta. Sendiri, terbuang jauh ke negeri seberang di ujung sana.

Dalam kehampaan coba ia bertahan. Mengobati raga cedera dari beragam pertempuran agung demi negeri cintanya (@Jerman). Membasuh perih luka jiwa di tanah suci, bersimpuh pada kuasa Tuhannya (@Mekkah). Sebelum akhirnya terdampar ia di istana megah karibnya (@Yordania).

Nanar dia tatap langit yang telah berganti warna. “Sekarang kamu dijadikan sasaran macam-macam. Jangan harapkan teman-teman kamu sendiri akan membantu. Orang yang berhutang budi terhadap kamu pun bakal meninggalkanmu. Tapi dalam keadaan segelap apapun, niscaya masih ada orang-orang baru yang akan membantu. Jadi harus tabah. Jangan menjadi dendam. Ini kehidupan, hadapilah!

Hormat dan ta'dhim pada ulama adalah karakter Prabowo yang tak pernah berubah.

Bekal wasiat, Soemitro, sang Ayahanda tercinta membaluri luka hatinya. Nasihat ini begitu membekas di kalbunya. Menyatu dalam pergumulan batinnya. Maka istana indah itu tak mampu silaukan, tak mampu surutkan rindunya. Rindu pada negeri yang selalu memenangi hatinya. Bahkan sejak usia belianya.

Tawaran beasiswa George Washington University yang menjanjikan kemapanan pun tak mampu menggoda setianya. Baginya, cinta diukur dari kesediaan berkorban untuk yang dicintainya. Maka baginya, jalan bakti tertinggi, terbaik dan paling romantis adalah jalan pengorbanan. Jalan para ksatria. Maka digembleng ia pada institusi negara. Merintis jalan sang Paman kebanggaannya, Subianto. Yang gugur berkorban di medan tempur perjuangan pembebasan negeri tercinta.


Bowo, jangan lupa, rakyatmu masih banyak yang miskin,” adalah pesan terakhir almarhum ibundanya, Dora Sigar, yang menyusupi relung batinnya yang terdalam. Ingin dia membelai, membasuh luka-luka di sekujur raga ibu pertiwi tercintanya. Yang terus dikoyak laku khianat segelintir anak-anak kandungnya.

Maka kepulangannya ke tanah air disambut gegap gempita. Bukan dengan kembang api atau bunga tujuh rupa. Tapi oleh ledakan dahsyat bom natal, yang kembali coba menistanya. Memang fitnah adalah bagian hidupnya. Suratan dalam romantika perjuangannya. Fitnah yang membesar setiap ia melangkah mendekati takdirnya. Memimpin kekasih hatinya, Indonesia Raya.

Kini tiba masanya, tiada selubung kan lagi mampu tutupi kilaunya. Wangi aroma gelora jiwanya membuka sumbat penciuman rakyatnya. Maka bersiaplah menjadi saksi sejarah, episode terakhir dari sang pencinta memeluk kekasih hatinya.

The best fighter is always a best lover.

Prayudhi Azwar
Perth, 18 Juni 2014
12.08 PM, disapa mentari yang menerangi hati.

No comments: