Saat dipojokkan kembali dengan isu HAM yang menderanya dan membunuh karirnya 16 tahun yang lalu, dia bisa saja memojokkan kembali dengan menjawab: “tanya kepada bu Megawati, mantan presiden yang pernah mengangkat saya sebagai Cawapres 2009.” Atau bertanya kembali, “kenapa Pak JK sendiri tidak adili saya waktu Bapak menjabat Wakil Presiden?”
Tapi tidak! Memojokkan bukan sifatnya, tidak ada dalam jernih pikirannya. Mungkin karena begitulah sifat ksatria. Sifat seorang negarawan. Maka dia hanya berkata: “tanyalah kepada atasan saya.” Atasan yang kita semua tahu persis berada justru di kubu Pak JK sendiri. Usai debat, beliau bukan hanya hangat menyambut memeluk rivalnya. Juga saat ditanya wartawan, dengan ringan dia menjawab: “saya harus mau diserang.”
Dia juga tidak keberatan pesaingnya berbangga hati menunjukkan prestasi terpilih menjadi kepala daerah. Padahal kita semua tahu bahwa dialah orang yang pertama mengusungnya.
Sejarah telah mencatat pengorbanannya untuk bangsanya. Mempertahankan keutuhan NKRI dengan darah dan nyawanya. Dan itu terjadi berulang kali. Di pertempuran di Timor-Timur, dalam mission impossible pembebasan sandera sipil di Mapenduma, penangkapan 2 agen berkulit putih tahun 1984, yang menyulut disintegrasi Papua, dan dalam berbagai operasi tempur berat lainnya. Dia tak tonjolkan semua bakti yang telah ditorehkan untuk ibu pertiwi yang dicintainya dengan sepenuh jiwa raganya itu.
Karena itulah, keteguhan kata-katanya memberi makna yang dalam bagi yang memahami bersih nuraninya. “Saya sekian tahun adalah abdi negara, yang membela HAM. Mencegah kelompok radikal mengancam hidup orang-orang yang tidak bersalah.”
Lalu dimana kita? Dimana nurani?
Tidakkah hati kita tergerak, untuk sekedar menghargai lelaki yang teguh ini?
Mudah-mudahan nurani kita pada akhirnya bisa memaknai semua ini.
Prayudhi Azwar
Perth, 10 Juni 2014
Ditulis dikeheningan winter, 1:27 AM dinihari
No comments:
Post a Comment