Saturday, July 5, 2014

Evolusi Cinta di Era Rekonsiliasi


Bangsa ini meraih merdeka, diatas satu cinta. Cinta agung para ksatrianya. Cinta yang mampu bebaskan raga rakyatnya dari siksa kejamnya Belanda, kerja rodinya Romusha dan kemiskinan warga berkasta kelas tiga. Cinta itu sanggupkan mereka relakan jasadnya terluka, ikhlas mereka meregang nyawa. Semata demi memberi satu kata, MERDEKA, untuk kita, penerus perjuangan bangsa.

Tapi waktu telah lupakan kita akan agungnya cinta itu. Diganti hasrat pada kilau dunia. Mematikan mata batin. Meninggikan keangkuhan. Bertemankan keserakahan. Pembenaran menutupi kebenaran. Fitnah menjarah rongga hati, merenggut bening sisa nurani. Tapi yakinlah, benih cinta itu tetap ada di sana, di palung hati setiap jiwa kita. Kita hanya lalai memeliharanya, lalai membangkitkannya.

Naluri cinta itu harmoni. Tak inginkan perpisahan apalagi perpecahan. Cinta merindukan pertemuan, cinta merindukan perpaduan dan persatuan. Cinta menutupi kekurangan, cinta juga meninggikan (menghormati) kelebihan. Lalu kenapa kita tidak meninggikan (menghormati) kelebihan setiap periode perjalanan sejarah bangsa kita?


Bukankah disaat Bung Karno memimpin kita, kita rasakan nasionalisme yang bergelora? Kebanggaan berbangsa memenuhi rongga-rongga dada kita? Bukankah saat Pak Harto memimpin kita pernah rasakan manisnya pembangunan menjangkau pelosok-pelosok negeri? Bukankah di masa reformasi kita dapatkan kebebasan bersuara, tanpa satupun media yang dibungkam mulutnya?

Tiga masa itulah yang mengantarkan kita kini menjadi 10 negara dengan kemampuan ekonomi terbesar di dunia. Kini populasi kita didominasi anak-anak muda. Inilah masa-masa emas itu. Masa dimana bangsa kita akan menjadi penentu arah percaturan dunia. Inilah masa kita merajut kembali luka-luka cinta. Menyatukan keunggulan dari setiap masa. Mengkonsolidasikan gairah berbangsa, hasrat mensejahterakan seluruh rakyat kita, sambil terus menjamin kebebasan bersuara.

Maka hembuskanlah evolusi cinta di setiap dada anak bangsa. Cinta yang merekonsiliasi perbedaan, mengkonsolidasikan kekuatan. Demi tujuan mulia, kemanusiaan. Demi mengantarkan bangsa ini ke panggung kehormatan peradaban dunia.


Maka –semestinya– tidak kita temukan lagi ruang bagi sekat-sekat itu. Tidak akan hati yang dibaluri cinta akan sanggup jumawa. Merasa lebih berjasa kepada bangsa. Tidak pula perlu sengketa. Tidak ada ruang benturan antara Orde Lama melawan Orde Baru melawan kebaruan. Tidak mungkin kita benturkan rakyat dengan pemimpinnya. Kita hasut buruh dengan majikannya. Kita pisahkan si miskin dengan temannya yang kaya.

Karena cinta kita terlalu agung. Cinta yang tak mengenal dikotomi. Tak mengenal pertentangan antar kelas antar kasta, karena itu hanya suburkan kebencian dan kekerasan. Sedangkan cinta menawarkan kedamaian, keharmonisan, dan kebahagiaan.

(Sepantasnya) senyum tawa memenuhi wajah tulus kita sebagai anak-anak bangsa yang satu. Terlahir dari rahim ibu pertiwi yang satu. Dibesarkan oleh legenda cinta bersimbah darah dari para luluhur ksatria yang selalu bersatu.

Maka hembuskan evolusi cinta ini, memenuhi bejana hati anak-anak bangsa. Karena mereka semua merindukan cinta itu. Apalagi diriku.

Prayudhi Azwar,
Perth, 3 Juli 2014 9.09PM

No comments: