Itulah sebabnya, nama “Dharmawangsa” oleh masyarakat Jawa Kuno dan Bali dinisbatkan sebagai citra era peradaban madani, sejahtera, dan berkeadilan atau merdesa. Setidak-tidaknya ada lima raja di Jawa dan Bali yang menggunakan nama “Dharmawangsa”, yakni Dharmawangsa Teguh (Jawa Timur), Dharmawangsa Airlangga (Jawa Timur), Dharmawangsa Marakata Pangkaya (Bali), Dharmawangsa Kirtisi (Bali), serta Dharmawangsa Kertawardhana (Jawa Timur).
Mandat garudamukha yang dipundaki Airlangga sebagai angkatan muda terakhir yang lolos dari mahapralaya kemudian menjadi semacam babad baru tentang apa yang disebut “harapan”. Semua arkeolog dan peneliti kepurbakalaan bersepakat, garudamukha dikembalikan Dharmawangsa Airlangga sebagaimana peruntukannya pada masa Dharmawangsa Teguh, yakni lencana resmi kenegaraan, sebagaimana terbaca pada prasasti Malenga, prasasti Banjaran, dan prasasti Kembang Putih.
Oleh Dharmawangsa Airlangga, garudamukha dijadikan dua perlambangan sekaligus, yakni simbol kekuasaan politik yang adil-menyatukan dan kebudayaan yang bersemangatkan pada spiritualitas. Garudamukha adalah perpaduan politik raja dan spiritualitas dewa pasca mahapralaya 1016 M.
Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang masih mangkrak dan terancam "unfinished work".
Unfinished work
Di masa Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka pada 1945, garudamukha dikembalikan ke tengah gelanggang politik. Garuda dicoba dijadikan identitas bersama sebagai bangsa (budaya) dan sekaligus negara (politik). Sebagaimana takdirnya, ikhtiar ini tak pernah berjalan mulus dan selamanya menjadi unfinished work.
Garudamukha dalam tafsir modern yang kita warisi hingga saat ini adalah garuda yang perdebatannya tak pernah tuntas. Misalnya, kita tak pernah punya kata sepakat siapa perancang visual garuda ini, apakah Yamin, Sultan Hamid II, Basuki Resobowo, D. Ruhl Jr, ataukah Dullah. Belum lagi soal tafsir makna atas teks yang dinisbatkan pada garuda yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila; terutama pembacaan atas teks pada sila pertama.
Memang, pada 1945, saat negara genting pasca-Proklamasi, semuanya bisa dipermaklumkan. Perdebatan yang panas bisa dicairkan. Namun justru ini menjadi api dalam sekam. Katup magma yang tidur itu kemudian membuka perlahan setelah serangkaian pemilu pertama pasca-Indonesia Merdeka yang berlangsung dari 1955 hingga 1957 selesai kita gelar yang dengan bangga kita mendaku diri sebagai negara paling demokratis pada masanya.
Indonesia pun berlayar di titian buih Demokrasi Terpimpin. Parlemen dibubarkan. Partai-partai yang dianggap cerewet atas teks Pancasila, terutama sila pertama, dibubarkan. Para penggiatnya dikejar dan dipenjarakan. Politik pun kemudian menegang di dua kutub: Komunis dan Tentara dengan buhul sentral Soekarno.
Garuda sebagai visual dan teks pada akhirnya kita dapatkan sebagai proyek kebangsaan sekaligus kenegaraan yang belum selesai, unfinished work. Penanda ketakberesan menyelesaikan proyek ini adalah meletusnya mahapralaya kedua pada 1965. Kita tahu, Nusantara, terutama Jawa dan Bali, dicekam oleh kegelapan dari pembantaian massal yang digerakkan secara masif dan sistematis oleh tentara, di mana kasusnya (lagi-lagi) tak pernah (di)selesai(kan).
Tiga puluh dua tahun setelah itu, kita dapatkan diri dikecoh habis-habisan bahwa garuda adalah proyek yang benar-benar sudah selesai. Di bawah moncong laras senapan serdadu, garuda “disuci-murnikan”. Di titimangsa ini garuda kehilangan nilai luhur keadabannya sebagaimana rancangan Dharmawangsa pada abad ke-10 M dan diberi tafsir oleh guru bangsa pada 1945 lewat frasa “Pancasila”. Garuda kita temukan sebagai dalih untuk sebuah proyek pemberangusan politik madani dan menjadi mandat kuasa untuk kaum kesatria.
Di wilayah kebudayaan inilah kita dapatkan pematung modern Nyoman Nuarta ternyata menyimpan mimpi besar, mengembalikan daya gugah garuda dalam sebuah karya monumental. Yakni, pembangunan taman kebudayaan raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali. Proyek patung Garuda Wisnu Kencana yang tingginya melebihi patung “Liberty” di New York ini boleh dibilang sebagai babak baru babad garuda. Resmi dibangun pada 1997 di Jimbaran, Bali, dengan harapan yang mengangkasa, proyek monumental ini terancam sebagai unfinished work kedua di sisi kebudayaan. Sudah hampir 17 tahun mimpi Indonesia melihat Sang Garuda berdiri kembali dengan gagah sebagai nilai keadaban bersama nyaris menjadi mimpi buruk kita sebagai bangsa.
Kita pun kemudian tahu, selama ini negara cum pemerintah sama sekali absen dalam proyek mengembalikan garuda sebagai ikon kebangsaan baru yang membanggakan dari sisi kebudayaan ini. Apalagi tahun mangkraknya proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) ini merayap makin mendekati tahun ke 1.000 ketika mahapralaya meletus pada 1016 M, yakni seribu tahun redupnya renaisans pertama Nusantara.
Muhidin M Dahlan;
Kerani di warungarsip.co
TEMPO.CO, 16 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment