Setelah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dinyatakan efektif berlaku dua tahun kemudian (2010) mestinya setiap Badan Publik yang berhubungan dengan penyelenggaraan Negara sudah membuat PPID. Melalui lembaga ini semua hal yang menyangkut kerja pemerintahan dihimpun, diklasifikasikan, didokumentasikan, disimpan, dan dipublikasikan. Bahkan UU tersebut memberi amanah agar semua informasi dan dokumentasi tersebut dapat diakses oleh publik kecuali yang masuk klasifikasi “dikecualikan”.
Melalui pintu masuk PPID inilah diharapkan dapat mendorong kinerja pemerintahan yang didasarkan pada semangat keterbukaan (transparansi), akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila informasi sudah terbuka untuk publik, dengan sendirinya keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan meningkat. Dapat dipastikan tingkat kepuasan masyarakat juga semakin besar karena masyarakat merasa menjadi bagian dari Negara, tidak lagi hanya sekedar sebagai obyek kekuasaan Negara.
Komponen masyarakat (seperti LSM, Ormas, kelompok kritis, dan lain-lain) seolah mendapat jalan menjadi “hantu” yang menakutkan bagi kerja pemerintahan. Pertanyaannya adalah kalau memang tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan, mengapa mesti takut buka-bukaan? Justru saat ini momen yang baik untuk “bertaubat” memilih jalan yang benar. Kedua, PPID dianggap hanya menjadi beban kerja tambahan, sementara itu tidak ada insentif apa-apa dari bidang kerja ini.
Sebetulnya, secara fungsional lembaga-lembaga di struktur pemerintahan sudah menjalankannya. Pekerjaan menghimpun informasi, mengoleksi, menyajikan, melaporkan, dan sejenisnya itu sudah dilaksanakan. Di rumah sakit misalnya, penghimpunan dan pelaporan dokumen dilaksanakan untuk memenuhi akreditasi Rumah Sakit. Di perguruan tinggi, jauh hari sudah disibukkan untuk mengurus akreditasi BAN PT dan memenuhi sistem pelaporan ESBED Dikti.
Joko Tetuko, Ketua Komisi Informasi Jatim menyatakan bahwa pasal-pasal ancaman tersebut adalah racun, yang mengacaukan optimisme keterbukaan informasi publik. Padahal bila ditelaah, ancaman hukuman yang ada hanyalah karena dengan sengaja menghilangkan atau merusak dokumentasi publik, kemudian membuat dokumentasi publik yang menyesatkan.
Undang-Undang KIP (Keterbukaan Informasi Publik) justru mengaturnya agar kelak persoalannya tidak menjadi liar atau anarkis. Keempat, dari beberapa lokakarya dan pendampingan, saya justru menemukan gejala aneh di internal pemerintahan kota dan kabupaten, yakni bahwa di lapisan menengah ke bawah (eselon IV, SKPD, UPTD) sudah siap dan antusias menjalankan fungsi PPID, namun justru di tingkat pengambil keputusan (eselon III ke atas) yang nampaknya masih gamang (bisa juga galau).
Jadi bila kelak pengembangan institusi (institution building) sudah selesai, masih dibutuhkan lagi kerja capacity building (pelatihan dan pembelajaran) guna mengoptimalkan sistem informasi dan publikasi. Untuk itu pasti dibutuhkan sinergi dari pemerintah dengan elemen-elemen masyarakat, serta perbaikan-perbaikan yang terus-menerus secara teknis maupun sosial budaya. Maka pertanyaannya adalah, siapa sesungguhnya yang enggan untuk berubah?
Redi Panuju;
Dosen Universitas Dr Soetomo,
Narasumber Program Kinerja USAID Jawa Timur
KORAN SINDO, 1 Juli 2013
No comments:
Post a Comment