Thursday, November 1, 2012

Generasi Bingung Bahasa


Seorang presenter radio terkenal, juga guru komunikasi yang andal, datang ke Rumah Perubahan beberapa hari lalu. Di sekolah komunikasinya yang banyak diminati kaum muda, juga di program radionya, ia menemukan semakin banyak anak muda yang bingung berbahasa.

Ingin berbahasa Inggris tapi kurang pas. Membuka percakapan dengan guru dalam bahasa Inggris tapi patah-patah. Bingung memilih kata, apalagi pengucapannya. Bunyinya tak jelas. Namun, begitu dilayani dalam bahasa Inggris, dijawab pakai bahasa Indonesia yang juga tak jelas. Mungkin masih lebih jelas bicara dengan saudara kita di belahan timur Indonesia yang bahasanya makin singkat.

Seperti “sapi nonton bola” yang berarti “saya pergi nonton bola” atau di paling barat saat orang Aceh mengatakan air kelapa dengan “ie u”. Tapi di mana pun mereka bersekolah, masalah yang dihadapi tetap sama: anak-anak kita sungguh lemah mengungkapkan gagasan tulisan dalam bahasa Indonesia. Sehingga berapa pun tingginya IPK akademis mereka, tetap saja sulit siap pakai untuk bekerja karena tak bisa diminta membuat laporan, proposal, atau bahkan minute of meeting sekalipun.


Bahkan banyak calon doktor yang gugur pada tahap penulisan kesimpulan disertasinya. Selain bingung bahasa juga muncul generasi alay yang gemar menggabungkan huruf dengan angka dan simbol. Meski menyulitkan, orang tuanya ternyata ikut-ikutan alay. Beruntung masalah bahasa belum menimbulkan perpecahan bangsa.

Tapi di Filipina, keretakan hampir terjadi karena bahasa anak muda yang dikenal dengan istilah jejemon cukup membuat Menaker-nya khawatir keunggulan daya saing tenaga kerja Filipina di dunia internasional akan terganggu. Pasalnya mereka hanya saling mengerti di antara mereka, sedangkan bahasa Inggris tak lagi dipahami.

Menjelang Hari Sumpah Pemuda akhir pekan ini, ada baiknya kita merenungkan kembali sumpah para pemuda pada tahun 1928 yang menyadari pentingnya bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia tengah mengalami ujian yang berat, baik melalui gempuran budaya pop, bahasa asing maupun sikap mental orang kalah yang membentuk mentalitas pecundang. Namun lebih dari itu, masih adakah tokoh yang mau mengawal persatuan melalui bahasa yang indah ini?


Menghilangnya Ahli Bahasa
Siapakah ahli bahasa Indonesia yang sekarang dapat menjadi anutan kaum muda? Bila dulu ada mendiang Anton Moeliono dan Yus Badudu, mungkin sekarang kita sulit mencari anutannya. Padahal nama-nama mereka di era TVRI dulu tidak kalah populer dengan Rhoma Irama. Namun nama-nama ahli bahasa sekarang tenggelam, tak bisa mengimbangi ahli ekonomi dan politik, apalagi musisi dangdut atau stand up commedian.

Untuk mengambil hati kaum muda, bahasa Indonesia juga butuh role model, bahkan “selebritas” yang tak kalah persuasif. Namun apakah benar pemerintah menaruh perhatian dalam membina bahasa persatuan ini? Bila untuk sila pertama Pancasila saja negara rela mengucurkan dana besar mencetak sarjana-sarjana agama, berapa besar negara mengucurkan dana untuk mencetak sarjana bahasanya sendiri?

Saya bahkan khawatir, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak lagi diberikan oleh guru-guru hebat seperti yang pernah dialami generasi saya. Padahal kini Direktorat Kebudayaan sudah berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan. Bahkan wakil menterinya sudah ada. Yang belum ada adalah insentif untuk menumbuhkan kecintaan orang muda dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Juga belum terlihat studi bahasa sebagai studi yang menarik.

Masa depan lulusan ilmu bahasa, apalagi bahasa Indonesia, belum dipikirkan dengan baik. Bidang studi ini praktis hanya bisa menerima mahasiswa yang paling sedikit, lalu fasilitasnya juga jauh dari memadai. Saya kira beasiswa yang tersedia juga tidak banyak. Kalaupun ada, ia kalah populer dengan ilmu komputer yang sedang seksi. Tidak bisakah dilakukan intervensi yang lebih menarik? Yang jelas, ilmu bahasa, terlebih bahasa persatuan, memerlukan revitalisasi yang amat serius.

Ilmuwan bahasa juga perlu menjelajahi bahkan mengawinkan ilmunya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mengembalikan kejayaan bahasa persatuan. Bagi saya bahasa adalah pemandu karakter bangsa, pemersatu sekaligus pembentuk masa depan. Hanya dengan bahasa yang baik, negeri ini mampu menghasilkan politikus-politikus yang bijak atau ilmuwan kelas dunia.


Bahasa Pecundang
Tentu saja kerancuan bahasa bukanlah semata-mata masalah bahasa dengan segala elemen yang dipelajari ilmuwan bahasa. Bahasa adalah cerminan watak dan merupakan ungkapan pikiran bangsa. Setiap kali memasuki era baru, tak dapat pula dimungkiri suatu bangsa pasti mengalami kegalauan. Di era demokrasi kita menyaksikan kegalauan-kegalauan itu dengan manusia-manusia yang beralih dari kepribadian yang terbelenggu dan pasif menjadi agresif dan bahkan lepas kendali.

Kita belum benar-benar memiliki pemimpin dengan kualitas bahasa yang mampu menghormati dirinya sendiri sekaligus respek terhadap orang lain. Manusia assertive yang harus kita bangun masih jauh panggang dari api. Maka setiap kali menyaksikan tayangan-tayangan demokrasi di televisi yang diramaikan politisi, pengamat, LSM, dan akademisi (apalagi kalau ada pengacara), masyarakat hanya bisa merasakan kegalauan dan bingung bahasa.

Bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa bangsa yang berbahagia, melainkan bahasa campuran antara kepentingan ekonomi, transaksional, kekuasaan, dan ketidakpuasan. Bahasa kemenangan yang menimbulkan rasa kebahagiaan tenggelam di antara prahara politik uang dan kekuasaan yang hanya melahirkan bahasa kaum pecundang. Ya itulah bahasa orang-orang kalah yang menurut psikolog Denis Waitley sebagai ungkapan cara berpikir orang-orang yang akan bermuara pada kekalahan.


Kaum pecundang akan selalu menyuarakan ketidakmampuan, ketiadaan sumber daya dan permodalan (constraint, not opportunity), rasa sakit yang ditonjolkan (“the pain”, notthe gain”), alasan-alasan yang dibuat (bukan solusi), ancaman dan konflik (bukan persaudaraan dan kepedulian), terkurung oleh masa lalu (bukan melihat ke depan), menyerang atau menyalahkan orang lain (bukan menunjuk dirinya sendiri sebagai sumber masalah), tahu sedikit tetapi bicaranya banyak (bukan banyak mendengar meski sudah banyak tahu), dan seterusnya.

Makanya kita lebih banyak memiliki provokator daripada pekerja sosial, lebih banyak koruptor yang tak tahu malu ketimbang pemberi kurban yang ikhlas. Kita lebih banyak melahirkan “motivator” ketimbang wirausaha sungguhan karena sudah merasa serba mengerti meski usahanya belum seberapa besar. Kita lebih banyak menemukan orang yang ingin jalan pintas dengan jurus sukses dua menit ketimbang kerja keras atau lebih memilih “cara kepepet” daripada melakukan “persiapan” yang panjang.

Bahasa adalah soal rasa, dia berinteraksi dengan aneka motivasi, kejadian, dan tuntutan zaman. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang mungkin jauh lebih penting ketimbang armada nasional, infrastruktur fisik, atau alat-alat persatuan lainnya. Yang jelas, daya tariknya harus diangkat kembali setinggi bintang-bintang di langit.

Rhenald Kasali
Ketua Program MM Universitas Indonesia
Koran SINDO, 25 Oktober 2012

No comments: